Kategori
Politik

Masuk Hari Tenang, Menimang Pilihan di TPS

Inilah fase sejarah pemilihan kepala daerah yang begitu banyak drama politiknya.

Babak demi babaknya bisa membuat hidup rakyat berada di dua pilihan, hidup susah atau hidup bahagia kelak paska coblosan pada 9 Desember 2020.

Nasib rakyat ditentukan pada pilihan sadar, ketika mencoblos di Tempat Pemungutan Suara.

Kenapa banyak drama politik? Semua tentu ingat dan paham kondisinya. Ada pandemi, ada wabah yang mematikan sedang hadir dalam kehidupan keseharian rakyat Indonesia.

Opsinya, pilkada ditunda atau terus dilangsungkan dengan beberapa prasyarat, untuk memastikan rakyat selamat. Terbebas dari penyakit menular dan penyelenggaraan pilkada harus dipastikan mematuhi protokol kesehatan.

Pemerintah sudah membuat keputusan berani, bersejarah untuk pertama kalinya pilkada diselenggarakan dalam kondisi situasi pandemi. Jelas keputusan yang menimbulkan reaksi kuat, di satu sisi menolak apapun alasan yang diajukan.

Misalnya, gugatan datang dari Busyro Muqodas dkk. Mereka mengajukan gugatan ke PTUN. Penggugat meminta majelis hakim menyatakan tindakan Mendagri, KPU dan Komisi II DPR sebagai perbuatan melanggar hukum. Tidak ada jaminan pilkada bebas dari potensi hadirkan klaster baru, penyebaran wabah.

Di sisi yang lain, Ajang pilkada oleh Mendagri Tito Karnavian bisa jadi sarana edukasi kesehatan dalam tiap kampanye paslon.

Pemerintah berikan ketegasan, proses pilkada bisa berjalan seiring mengedukasi publik untuk kesadaran pentingnya #cucitangan atau hidup bersih, #pakaimasker saat beraktivitas di luar rumah. Tentu saja #jagajarak jadi cara terbaik menjalankan pencegahan dari paparan COVID-19.

***

Pilkada 2020 merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015.

Pilkada diselenggarakan di 270 daerah itu rinciannya adalah 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Proses kampanye, sosialisasi visi dan misi paslon kini tengah bergulir dan sudah mendekati masa akhir pada 5 Desember 2020 atau hari Sabtu ini.

Di Jawa Timur, dari 19 titik kabupaten dan kotamadya yang selenggarakan pilkada, berdasarkan keterangan Bawaslu Jatim, Aang Kurniafi menjelaskan dari 42 paslon semuanya pilih metode tatap muka. Bahkan Bawaslu Jatim menyoroti ratusan pelanggaran protokol kesehatan dilakukan. Rasanya kasus sejenis jamak dan mudah ditemui di daerah lain.

Dominasi kegiatan kampanye kegiatan tatap muka. Ada pilihan lain berkampanye daring, namun opsi ini jarang sekali yang gunakan. Alasan teknisnya berkait kendala sinyal misalnya. Semua juga mahfum bahwa tidak seluruh daerah mudah akses internet, masih banyak area blankspot.

Choirul Anam, Ketua KPU Jatim berupaya meyakinkan publik agar bersama-sama mewujudkan pilkada sehat. Sebanyak 37 ribu petugas wajib menjalankan protokol kesehatan untuk pencegahan COVID-19.

Ini secara ketat dijalankan baik saat penyerahan form C-6, penyampaian pemberitahuan undangan. Saat hadir di lokasi, cuci tangan, pakai masker dan secara khusus di tiap TPS disediakan masker medis 150 pcs, cek suhu tubuh dilakukan.

Simulasi coblosan juga sudah dijalankan dengan prosedur ketat penerapan protokol kesehatan.

***

Memasuki masa tenang seiring berakhirnya masa kampanye, menjadi saat yang krusial dan penting. Inilah kesempatan yang baik untuk menimang dan memantabkan pilihan.

Mana paslon yang benar-benar pas untuk dicoblos di TPS. Rakyat punya kuasa penuh, memberikan dukungan untuk paslon yang layak jadi pemimpin atau sebaliknya.

Memutar fakta dan peristiwa drama pilkada, sudah ada paslon peserta pilkada yang positif COVID19. Ada yang berhasil sembuh ada juga yang akhirnya meninggal. Ada kabar duka dari Banggai Laut, calon wakil bupatinya jadi korban kecelakaan laut, tenggelam kala hendak berkampanye. KPK pun ikut mewarnai pilkada di sana dengan melakukan OTT kepada petahana.

Pilkada jalan terus, tinggal selangkah lagi prosesnya yaitu pemilihan langsung di TPS. Ringkas memang istilahnya tapi justru fase inilah muara beragam drama politik pilkada. Kemenangan atau kekalahan dalam politik adalah hal yang biasa.

Hanya, residu dan ekses pilkada yang perlu dikelola agar rakyat Indonesia bisa menikmati hasil pilihan, merasakan pahit dan manisnya coblosan yang dikerjakan di TPS.

Begitu nanti kotak suara mengumpulkan hasil coblosan, saat dibuka dan dibacakan satu-satu pilihan rakyat, berhamburan juga beragam harapan untuk hidup lebih sejahtera, pelayanan publik yang lebih baik, terpenuhinya hak-hak dasar rakyat, terjamin kebutuhan papan sandang pangan hingga hidup bahagia.

Selamat bersiap memilih, gunakan hak pilih, jangan salah pilih karena satu kali mencoblos, lima tahun akan dilayani. Salah mencoblos,  pemilih cuma bisa gigit jari.

Kategori
Politik

Panggung Politik, Aktor dan Narasinya

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali menyoroti soal korupsi kepala daerah, karena kebetulan memang tengah ada pilkada serentak di 270 kota/kabupaten/provinsi. Salah satunya warning kepada calon kepala daerah yang bermasalah, petahana tidak boleh bermain curang memanfaatkan jabatan yang dimiliki, juga seruan agar rakyat tidak salah pilih saat pilkada digelar nanti.

Saya secara pribadi menunggu aksi konkret KPK khusus untuk calon kepala daerah ini. Di putaran pilkada serentak sebelumnya ada aksi KPK menangkap kepala daerah yang bermasalah hukum.

Rakyatlah yang kini memiliki otoritas penuh guna memberikan dukungan atau menghukum seluruh calon kepala daerah yang bermasalah secara hukum, cacat moral, dan seterusnya.

Nah,  di sinilah akar masalahnya.

Jelang akhir masa kampanye sosialisasi visi dan misi paslon, suatu kondisi ideal bagi rakyat untuk mengetahui, membaca, menyimak, menimbang hingga akhirnya memutuskan calon mana yang pantas dipilih oleh rakyat di TPS, banyak dikaburkan, tertutupi atau tehalangi oleh lapis dan selubung informasi palsu (hoax), ujaran kebencian, fitnah dan tentu saja propaganda yang berlimpah.

Hal yang biasa saja, kala terjadi riuhnya politik, dinamika opini,  grenengan politik, glenak-glenik politik, obrolan, gosip politik, juga aneka info masalah politik berlimpah di masa pilkada. Ada pahlawan politik dan penjahat politik yang berebut tempat untuk tampil di panggung.  Menggoyang panggung politik.

Satu waktu, usai terpilihnya Presiden Joko Widodo, mantan kepala daerah di Solo kala itu tengah jadi perbincangan hangat nasional. Semua terkesima dan terpukau dengan apa saja yang dilakukan oleh mantan Walikota Solo itu.  Sosoknya sederhana, populer dan sering dikenal banyak membuat orang senang, setuju dengan apa saja yang dilakukan.

Ada banyak kisah yang bisa diceritakan sehabis bersinggungan secara langsung dengan Joko Widodo, sebelum naik panggung nasional.  Sekarang pun, masih belum semua kisah tersebut mengisi ruang publik, obrolan rakyat.

Ada banyak hal yang jadi ‘untold stories‘. Apa itu? Kisah-kisah rahasia yang bisa jadi hanya Joko Widodo dan Tuhan saja yang tahu.

Salah satu kisah yang bisa disimak dengan jenaka tentu saja soal pernyataan Pratikno, kala jadi Rektor UGM. Ini hanya humor dan guyonan di antara rektor perguruan tinggi negeri. Institut Teknologi Bandung sudah memberikan lulusan terbaiknya untuk jadi Presiden RI, Soekarno sang proklamator. Rektor dan sivitas akademika boleh berbangga soal ini.  Institut Pertanian Bogor sudah meluluskan doktor, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI.

Nah, Pratikno yang masih menjabat Rektor UGM di hadapan sivitas akademika Fakultas Kehutanan membuka kisah bagaimana Joko Widodo bisa naik panggung politik nasional.

ITB sudah menyumbangkan alumni jadi pemimpin RI, IPB memberikan alumninya jadi Presiden RI. UGM cukup sarjananya sajalah yang jadi Presiden.  Sarjana Kehutanan, bukan sarjana Fisipol yang lebih paham soal politik. Kisah soal ini, bisa disimak di sini.

Sri Sultan Hamengku Buwono X yang menjabat Ketua Alumni Gadjah Mada, KAGAMA memberi panggung kepada seorang kepala daerah, notabene adalah alumni Kagama, Joko Widodo untuk berkisah bagaimana memimpin Solo.

Sri Sultan Hamengku Buwono X berbagi panggung untuk Joko Widodo dalam rangka memberikan solusi bagi masalah kebangsaan di tanah air.

Saat memutar kembali ingatan, rekaman lawas soal polah tingkah dan isi obrolan, Joko Widodo sudah jadi bintang panggung. Jenaka, humoris dan membawa kegembiraan bagi banyak audiens. Joko Widodo benar-benar memanfaatkan panggung yang diberikan kepada dirinya untuk menyampaikan hal-hal baik yang pernah dikerjakan di Solo. Termasuk sikap rakyat Solo, merespon kebijakan pemerintah daerah.

Salah satu hal, tentu saja memindahkan pedagang pasar dengan pawai. Hal lain, tentu saja dengan gaya orang Jawa, rendah hati, orang biasa saja.  Seloroh, ajudannya sering dikira sebagai Joko Widodo, sang walikotalah yang mengundang derai tawa.

Nah, kini panggung yang sama, panggung politik nasional tengah menghadirkan aktor dan narasi berisikan drama politik kekuasaan yang mirip-mirip situasinya. Tak sepenuhnya sama tentu saja.

Saat Joko Widodo mulai naik panggung, Susilo Bambang Yudhoyono memasuki fase kedua kepemimpinan. Ada ruang kosong yang harus diisi oleh sosok baru.

Apa yang terjadi hari ini?  Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap salah satu menteri Joko Widodo. Menteri Kelautan dan Perikanan RI yang dilantik oleh Joko Widodo. Aksi penangkapan terjadi di saat sorotan terhadap KPK yang dianggap melemah, juga sikap Joko Widodo terhadap lembaga anti rasuah ini tengah dipertanyakan.

Politik adalah seni (berkuasa), berpolitik terhubung juga dengan momentum. Politik adalah aksi, politik adalah soal negosiasi.

Politik memiliki aktor, drama dan narasi. Inilah masa gelaran aneka drama dan narasi kebangsaan sebenarnya. Masa paling tepat menanamkan sikap dan pitutur untuk edukasi dan pedoman rakyat dalam memilih calon pemimpin, memilih calon kepala daerah yang benar-benar layak dipilih.

Ada banyak aktor baru, dalam masa paruh kedua Joko Widodo memimpin.  Ada drama baru yang tengah hadir, babak demi babaknya. Endingnya?  Mari simak bersama-sama.

Di salah satu group WA, yang saya ikuti, iseng saja saya bagikan pernyataan jenaka. Bukan apa-apa, sekedar mengingatkan pentingnya sarapan pagi. Meski di negeri kita, negeri yang gemah ripah loh jinawi ini sudah berlimpah bahan pangan, masih ada saja yang tidak bisa makan, tidak mampu sarapan. Kenapa sarapan pagi penting? Biar kuat ngadepi kasunyatan, biar kuat berhadapan dengan kenyataan.

Kenyataan seperti apa? Ada rasa baper, tatkala menyimak tingkah-polah para calon kepala daerah yang hadir.

Saya seperti kebanyakan rakyat calon pemilih di TPS, tengah menimbang dan menimang, mana calon terbaik yang ada untuk saya coblos.

Kotak suara di TPS, kelak akan memberikan isi dan hasil narasi beragam hal kala dibuka, usai kita, para pemilih memanfaatkan hak pilih dengan mencoblos di TPS.

Pilkada tahun 2020, tinggal menghitung hari. Tak bisa lagi klaim dukungan massa besar jadi alat gimmick politik sebab di saat yang sama pandemi hadir.

Jadi, sudahkah menetapkan pilihan?

Apakah soal komitmen anti korupsi paslon, jadi pertimbangan memilih di TPS?

Sembari sarapan, bolehlah simak lagu berbahasa Jawa yang ditembangkan Wadjinah, Kuwi opo Kui.  Siapa tahu bisa bantu, jadi mantapkan pilihan.

#ceritapinggirjalan
#isupublik
#pilkadaserentak

Kategori
Transportasi

Satu Desa Satu Bus: Layanan Transportasi dengan Semangat Kebersamaan

Salah satu tantangan terbesar penyediaan transportasi publik di pedesaan adalah minimnya jumlah penumpang. Penduduk desa relatif lebih sedikit daripada perkotaan. Jarak antar-rumah lebih renggang, bahkan berjauhan. Kebutuhan perjalanan pun jelas lebih sedikit.

Kondisi yang seperti ini membuat layanan transportasi di pedesaan sangat sulit dilayani oleh perusahaan swasta, yang kepentingan utamanya adalah profit. Di mana-mana gagal. Pendapatan dari ongkos perjalanan tidak menutupi biaya operasional.

Guru Besar Transportasi Teknik Sipil UGM, Sigit Priyanto di Tribun Jogja edisi 23 April 2018 menyatakan bahwa pemerintah daerah harus memberi subsidi untuk Angkudes (angkutan desa). Pasalnya, penumpang Angkudes tidak stabil dari sisi permintaan (demand). Bahkan, menurut Sigit, fungsi Angkudes sesungguhnya adalah mengembangkan ekonomi daerah dengan membuka akses ke daerah-daerah terisolir.

Namun demikian, kemampuan dana dari pemerintah daerah seringkali juga terbatas. Selain itu, untuk menentukan mana trayek yang lebih layak untuk dilayani oleh Angkudes yang disubsidi juga menghadapi berbagai kesulitan. Dengan jumlah armada yang terbatas, bagaimana kita menentukan bahwa wilayah tertentu dari pedesaaan layak untuk dikembangkan dengan menyediakan layanan Angkudes, sementara sebagian wilayah lain tidak?

Dengan kesulitan dan keterbatasan dana pemerintah ini, maka salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menyerahkan pengaturan trayek kepada masyarakat langsung. Cukup sediakan armadanya, tapi tidak perlu ditentukan trayeknya secara kaku melalui analisis teknik dari para insinyur transportasi. Biarkan penduduk desa, dengan panduan dari aparatur desa, yang tiap hari menentukan daerah mana yang perlu dilayani oleh armada tersebut. Model teknisnya bisa dengan meminta masyarakat melapor ke desa jika membutuhkan layanan kendaraan massal, nanti diputuskan bersama mana kebutuhan yang paling mendesak.

Ide semacam ini muncul dalam perhelatan Pilkada 2020. Calon bupati dan calon wakil bupati Jember, Faida-Vian menjanjikan pengadaan 1 desa 1 bus. Ide ini merupakan pengembangan dari program sebelumnya, yaitu 1 desa 1 ambulans yang terealisasi di periode pertama Faida menjabat.

Program kerja 1 desa 1 bus ini, seperti yang sudah diuraikan di atas, sangat cocok dengan karakter transportasi pedesaan. Permintaan perjalanan yang tidak terlalu banyak dan pola perjalanan yang sangat bervariasi antar-kelompok menuntut improvisasi trayek secara terus-menerus. Misalnya, di hari sekolah, bus ini digunakan untuk antar-jemput anak sekolah. Setelah itu, di sore hari, bus diperlukan oleh para ibu yang ingin menengok anggota PKK yang sedang sakit, seperti dalam film TILIK. Lalu, pada hari Minggu, bus digunakan oleh tim sepak bola desa yang akan melakukan pertandingan persahabatan dengan desa lain yang cukup jauh. Kebutuhan yang bermacam-macam ini tidak dapat terpenuhi jika model layanan transportasinya menerapkan trayek yang kaku.

Model ini juga lebih baik daripada layanan transportasi berbasis aplikasi yang sudah menjamur di perkotaan. Layanan yang lebih populer dengan sebutan ojek online dan taksi online ini memang beroperasi dengan trayek yang fleksibel juga. Namun, trayek atau jalur perjalanannya hanya menyesuaikan kebutuhan individu. Layanan ini sangat individualis. Ia tidak memungkinkan antar-penumpang, antar-masyarakat, saling berkoordinasi, berembug, dan bekerjasama dalam soal transportasi. Efek buruknya jelas langsung terlihat. Model layanan transportasi yang seperti ini tidak mengurangi kemacetan, bahkan bisa dibilang malah memperburuk karena semakin banyak kendaraan pribadi menyesaki jalan.

Berbeda dengan ojek dan taksi online, layanan 1 desa 1 bus sangat memberi ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam urusan transportasi. Malahan harus. Sebab, masyarakat harus menyatakan kebutuhan transportasinya secara kolektif, bersama-sama, bukan sendiri-sendiri, dan selanjutnya memutuskan secara musyawarah-mufakat kebutuhan mana yang harus lebih dulu dilayani. Bahkan, sangat memungkinkan antar-desa saling berkoordinasi untuk meminjamkan busnya kepada sebuah desa yang benar-benar sedang membutuhkan.

Praktek bertransportasi yang kolektif semacam ini akan menumbuhkan semangat kebersamaan di dalam masyarakat. Selain itu, akan terawat juga rasa saling toleransi antar-warga, karena masing-masing bisa saling memahami kebutuhan orang lain. Seperti kata para bijak-pandai, toleransi, kebersamaan, dan tenggang rasa tidak bisa hanya dipahami dan diucapkan, tapi dipraktekkan. Dan salah satu wadah berprakteknya adalah transportasi kolektif!