Kategori
Kapital Society

Kabar Duka: Kita Tidak Akan Pernah Pensiun

Seorang anak bertanya kepada ayahnya, “Apa rencana Ayah saat pensiun nanti?”
“Kau lah rencana pensiun Ayah,” jawab sang ayah.

Percakapan itu adalah sebuah kejadian yang diceritakan oleh Hasan Minhaj, seorang Indian-American komedian dalam acaranya di Netflix berjudul Patriot Act. Pada episode tersebut ia membahas tentang fenomena Silver Tsunami. Sebuah istilah yang diberikan pada keadaan di mana jumlah penduduk lansia di atas 65 tahun meningkat dengan pesat. Menurut data yang ia paparkan diperkirakan jumlah penduduk dengan usia di atas 65 tahun, meningkat dari 47 juta jiwa pada 2015 menjadi 88 juta jiwa pada 2050.
 
Kondisi ini dibarengi dengan kenyataan bahwa warga Amerika yang mencapai usia pensiun memiliki perencanaan finansial yang buruk. Diperkirakan 10 juta orang di atas usia 65 tahun masih bekerja untuk menyambung hidup. Sedangkan mereka yang sudah tidak bekerja menjalani hidup yang kurang layak karena tidak ada dana pensiun yang cukup. Padahal 48 persen orang dewasa dengan usia di atas 55 tahun tidak memiliki tabungan pensiun sama sekali.
 
Keadaan ini sangat menjadi beban bagi Baby Boomer, generasi dengan jumlah populasi terbanyak di Amerika, akan memasuki usia pensiun. Dengan tanpa memiliki tabungan yang memadai, mereka harus bersiap membayar segala biaya perawatan jangka panjang, serta menanggung segala beban keuangan, fisik, dan emosi. Keadaan ini akan mewariskan beban ke generasi berikutnya, millennial.
 
Dahulu di Amerika terdapat tiga tiang utama yang mendukung masa pensiun; jaminan sosial yang didapat dari pemerintah, tabungan pensiun, dan tunjangan pensiun yang didapat dari tempat kerja. Namun di Amerika, sejak tahun 80an tunjangan pensiunan sudah tidak wajib diterapkan secara umum oleh semua perusahaan. Sebagai penggantinya perusahaan bisa menerapkan 401(k)s, yang mana tingkat risiko finansial lebih tinggi sehingga tidak banyak diminati oleh pekerjanya. Bersamaan dengan hal tersebut, juga sangat sulit bagi kelas menengah untuk bisa mempersiapkan pensiun dengan tabungan ketika pendapatan mereka sudah habis untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga mereka hanya bergantung pada jaminan sosial, yang mana nilai yang didapat perbulan sangat kecil dan tidak dapat mencukupi seluruh kebutuhan di masa pensiun.
 
Keadaan di atas tentu terdengar familiar bagi kita sebagai warga Indonesia bukan? Nampaknya kita bahkan sudah mengalami keadaan itu sejak pada generasi-generasi sebelumnya. Lalu bagaimanakah dengan keadaan di Indonesia?
 
Di Indonesia, usia yang tergolong lanjut usia ditetapkan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah 60 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) persentase lansia di Indonesia sekarang mencapai sekitar 9,6 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, meningkat sekitar dua kali lipat dibandingkan 5 dekade terakhir. Dimana provinsi dengan jumlah penduduk lansia tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (14,50 persen).
 
Dari sekian jumlah lansia, hampir separuh di antaranya masih bekerja. Pada tahun 2019, persentasenya mencapai 49,39 persen. Jumlah ini didominasi oleh mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Sebagian besar lansia yang masih bekerja ini berpendidikan SD ke bawah, karenanya kebanyakan dari mereka bekerja di sektor pertanian yang mana tidak memerlukan ketearmpilan khusus. Malangnya, meskipun masih bekerja di usia renta, 46,22 persen dari mereka berpenghasilan kurang dari satu juta per bulan. Secara umum, sebagian besar lansia yang masih bekerja tersebut merupakan pekerja informal (84,29 persen) yang tidak memiliki perlindungan sosial, dasar hukum pekerjaan, dan imbalan hidup yang layak.
 
Mengutip dari BPS, jumlah lansia yang memiliki jaminan sosial (di Indonesia termasuk juga tunjangan pensiun) hanya sekitar 12,91 persen. Yang mana kebanyakan dari mereka berasal dari wilayah perkotaan. Sementara sekitar separuh dari lansia mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir pada saat sensus dilakukan. Kenyataan tersebut menunjukkan kebanyakan lansia membebankan biaya kebutuhan sehari-hari dan perawatan kesehatan kepada anak, cucu, atau kerabat di sekitarnya.
 
Permasalahan persiapan pensiun nampaknya hampir sama antara di Amerika dan Indonesia. Atau bahkan di negara-negara lain di dunia. Ketidaksiapan tabungan untuk menyambut masa senja menjadi masalah utama Baby Boomer kebanyakan. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan mereka bergantung pada generasi setelahnya.  Entah untuk membayar biaya perawatan saja atau bahkan sampai menyediakan waktu khusus untuk membantu melakukan kegiatan sehari-hari. Atau lebih mengenaskan lagi, masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
 
Sebagai masyarakat dengan budaya timur yang kental, membiayai dan merawat orang tua di masa senja tentu menjadi hal yang hampir bisa dikatakan wajib. Terlebih dalam ikatan norma-norma agama dan sosial. Kalau tidak mau akan dibilang durhaka. Akankah kita akan seperti itu saat tua nanti? Segala keterbatasan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari di saat usia lanjut merupakan hal yang niscaya dan tidak bisa dihindari. Namun investasi untuk menyambut masa pensiun bisa diupayakan. Karena tentu kita tidak ingin bekerja seumur hidup maupun menjadi beban di masa pensiun.
Kategori
Transportasi

Sidang Tilang dan Cara Kembali ke Masa Lalu

Seingat saya, setelah diakui dewasa oleh negara, berdasar kriteria pada UU No. 23 Tahun 2006 pasal 63 ayat 1, saya selalu berusaha untuk menjadi warga negara yang baik. Membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), tidak dengan sengaja melanggar hukum, menaati peraturan lalu lintas dll.

Namun tentu saja, seperti manusia kebanyakan, terkadang kelalaian datang. Sekitar dua minggu yang lalu, dalam perjalanan yang cukup terburu-buru dari Solo menuju Jogja, saya melewati razia lalu lintas yang dilakukan oleh Polres Klaten di sekitar Jalan Solo-Jogja. Dalam razia itu, hanya sepeda motor yang diperiksa, sedang kendaraan beroda lebih dari dua dipersilakan melanjutkan perjalanan. Karena merasa menjadi warga negara yang baik, memiliki SIM dan membawa surat-surat kendaraan bermotor yang lengkap, saya mengikuti prosedur dan tidak menghindar dari razia tersebut.

Kategori
Society

Wisuda Kampus Penyumbang Kerusakan Lingkungan

Sabtu lalu saya datang ke wisuda saudara. Sudah banyak wisuda kawan yang saya datangi, namun kali ini berbeda. Selain karena kali ini saudara saya yang akhirnya saya datangi, di kesempatan ini saya lebih “sebel” melihat wisudawan-wisudawati itu. Tak lain karena tak kunjung wisuda juga diri ini. Asu.

Oleh karenanya saya lebih tertarik untuk memerhatikan hal lain. Cuaca sangat panas, gawai saya menunjukkan suhu di kota ini mencapai 37 derajat celcius. Kesempatan yang tidak dilewatkan oleh penjaja minuman untuk mengais rezeki dari para wisudawan dan tamu wisudawan yang kepanasan.

Penjual minuman menjajakannya dengan cara yang berbeda-beda. Minuman yang dijual pun bermacam-macam. Namun terdapat kesamaan di antara semua itu, yaitu kemasannya. Sebagian besar, kalau tidak bisa dibilang semuanya, diwadahi dengan kemasan plastik. Mulai dari yang berbentuk kantong, gelas, hingga botol.

Ironi yang menarik bagi saya. Di tengah gencarnya kampanye pengurangan penggunaan single use plastic waste di media sosial oleh masyarakat so called educated, acara seremonial di institusi pendidikan menyumbangkan sampah plastik yang sangat besar. Lahir bersama dengan ribuan sarjana yang diwisuda oleh universitas.

Beberapa di antara mereka adalah para sarjana ilmu-ilmu lingkungan. Atau bahkan mungkin ada yang jadi aktivis, yang pernah mendemo pemanasan global. Saya ingin tertawa, tapi takut kualat karena saya sendiri belum wisuda. Asu meneh.

Tempat duduk tamu sangat penuh dan sumpek, saya dan saudara yang lain menyingkir ke tempat yang lebih lapang dan teduh. Saat sibuk merenung, datang seorang nenek dengan membawa karung berukuran cukup besar dan sebuah trash bag hitam.

Ngapunten nggih, Mas“, izinnya saat akan membuka tong sampah di depan saya.

Kemudian beliau membuka tempat sampah di dekat saya. Lalu perlahan mulai memilah isinya sesuai yang beliau butuhkan. Gelas, kantong, dan sebuah kardus air mineral kemasan. Tiga jenis barang yang diambil nenek ini adalah sampah limbah minuman yang dijual tadi.

“Sampah-sampah ini mau diapakan, Bu?”, saya mencoba basa-basi di tengah sibuknya beliau.

“Dijual ke tempat daur ulang, Mas”

Pahlawan.

Begitulah yang terpikir oleh saya sesaat. Saking seringnya melihat media sosial penuh dengan caci maki terhadap pengguna sampah plastik. Saya melihat seorang nenek-nenek yang langsung aksi. Menjadi garda terdepan dalam pencegahan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh masyarakat. Mungkin saja beliau paham, tidak mudah menghentikan penggunaan single use plastic karena memang sangat praktis.

Di saat kita, so called educated people, yang suka marah-marah saat makan bareng temen dan dia tidak punya sedotan stainless steel atau bambu. Ada orang yang peduli dan mengambil sampah-sampah itu untuk didaur ulang. Recycle. Terdengar sangat environment friendly sekali bukan profesi beliau?

Deg. Kemudian saya tersadar, bahwa saya terlalu lama berada di puncak menara gading. Nenek itu tentu tidak pernah tahu atau peduli tentang bahaya lingkungan atau semacamnya. Makan apa besok saja mungkin belum pasti, di sini ia hanya mencari rezeki. Diselenggarakannya acara wisuda kampus adalah kabar baik baginya, karena sampah plastik berkumpul di satu tempat.

Menarik bukan?

Kampus secara umum kini sudah tidak lagi dekat dengan rakyat miskin seperti nenek tadi. Pengabdian masyarakat yang dilakukan pun tidak terlalu substansial. Hanya dilakukan dengan cara-cara formal seperti KKN, atau pengabdian masyarakat oleh dosen, yang mungkin hanya untuk menjaga sertifikasi. Bahkan seringkali keduanya dikerjakan bersamaan, pengabdian masyarakat oleh dosen di-KKN-kan, biar praktis dan ekonomis.

Instansi pendidikan tinggi ini, hanya berfokus menjadi pabrik pencetak manusia terdidik yang dipersiapkan untuk industri sesuai bidangnya. Ah, yang penting jangan pengangguran terlalu lama, nanti jadi omongan tetangga. Apakah bermanfaat bagi masyarakat atau tidak, itu urusan belakangan. Apalagi masyarakat itu bukan tetangga.

Sampah-sampah plastik yang bertumpukan di acara seremonial ini bisa jadi satu-satunya sumbangsih terbesar sarjana-sarjana baru ini bagi rakyat miskin. Nenek tadi, penjual minuman dingin, penjaja suvenir, dan lain-lain. Setelah itu mereka akan masuk ke industri, sibuk dengan diri sendiri.

Matahari sudah di atas kepala. Suhu kurasa semakin panas saja. Saudara saya dan wisudawan lainnya tak kunjung keluar. Saya kehausan. Akhirnya, saya membeli segelas es teh dari penjaja keliling yang lewat dekat saya. Setelah bayar, es teh disajikan dengan gelas plastik lengkap dengan sedotan plastiknya.

Tidak. Saya tidak sedang merusak lingkungan. Dalam konteks ini, saya sedang membantu nenek tadi dan teman-temannya mengais rezeki. Juga bapak penjual es teh yang saya beli ini. Lagipula penjual es teh keliling ini sudah menata es dalam gelas saat dia keliling. Jadi sampah plastik yang terproduksi jumlahnya akan tetap sama, dengan atau tidak saya beli. Bukan begitu?

Ah bodo amat. Kalau memang ingin mengurangi single use plastic, ya memang harus dari hulu dan regulasi. Mari kita berserikat untuk mewujudkannya. Kalau hanya menghindari single use plastic, bukannya tambah merepotkan? Halo? tidak semua orang suka repot seperti Anda.

Huft. Daripada pusing dan pingsan, mending saya minum saja es teh yang barusan saya beli.

Kategori
Infrastruktur Society

Kesulitan Manajemen Air Baku di Oekolo

Oekolo adalah satu dari lima desa di Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam Bahasa Dawan, Oekolo berasal dari dua kata yaitu “oe” yang berarti air dan “kolo” yang berarti “burung”. Namun hal tersebut cukup jauh dari keadaan desa ini. Desa dengan luas ±13,15 km2 dan dihuni oleh 563 keluarga ini sebagian besar warganya cukup sulit dalam mengakses air bersih.

Dengan lokasi di kaki Gunung Humusu dan berbatasan langsung dengan Sungai Mena, kedalaman sumur dangkal mencapai lebih dari 10 meter di bawah tanah untuk wilayah yang jauh dari sungai. Hanya wilayah yang di sekitar sungai yang bisa mendapatkan air tanah pada kedalaman 6 meter. Karena air PDAM belum melayani wilyah ini, untuk mendapatkan air warga harus tergantung pada tiga sumber air di gunung yang masing-masing sumber melayani beberapa blok pemukiman.

Pernah ada program dari pemerintah yang memberikan bantuan dana yang dikerjakan secara swakelola oleh masyarakat untuk pemasangan pipa dan pembuatan saringan air di sumber air untuk kebutuhan air bersih masyarakat. Namun setelah jaringan pipa jadi, pengelolaan yang diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah desa tidak berjalan dengan baik.

Pemahaman masyarakat tentang penggunaan air baku masih sangat minim. Pemasangan jaringan pipa yang dibuat secara seri, yaitu sambungan pipa yang beruntun dari dusun di dekat lereng gunung ke dusun yang lebih jauh, menyebabkan distribusi air menjadi tidak adil. Masyarakat di daerah atas, sebutan untuk daerah yang lebih dekat dengan gunung, sering melakukan hal nakal dengan menyumbat air yang mengalir di pipa untuk memberi minum ternak. Hal tersebut merugikan masyarakat di daerah yang lebih bawah, terutama yang jauh dari sungai. Mereka harus berjalan jauh untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Polemik Membangun Rumah

Pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah desa juga tidak berjalan dengan baik karena kurangnya sumber daya manusia yang bertugas mengelola dan merawat jaringan air tersebut. Tidak adanya dana yang dapat dialokasikan untuk memberi gaji untuk menambah petugas menjadi alasan.

Pemerintah di tingkat yang lebih atas seharusnya turut berperan dalam mengatasi masalah ini. Untuk solusi jangka panjang dapat dilakukan dengan cara merancang embung sebagai penyedia air, terutama untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan untuk jangka pendek, dapat dilakukan dengan mengangkat petugas sebagai pengelola jaringan air.

Di daerah yang hanya menempuh waktu ±30 menit dari Oeccusse Timor Leste, masyarakat Indonesia masih kesusahan air. Padahal Desa Humusu Oekolo merupakan salah satu desa yang terletak di jalur pantai utara Pulau Timor, jalur yang menghubungkan Oeccusse dengan Dili, pusat Negara Timor Leste. Seharusnya dengan berlakunya semangat Nawacita, yang pada poin ketiga dikatakan pembangunan dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa, Desa Humusu Oekolo bisa dapat lebih maju dan berkembang.
Kategori
Transportasi

Mending Jalan Aspal atau Beton?

Menjelang Bulan Ramadhan, suasana transportasi di Indonesia akan mengalami anomali tahunan. Permintaan terhadap semua moda transportasi meningkat. Dilansir dari Kompas.com, menurut data dari Kementrian Perhubungan, jalur darat menjadi favorit pemudik pada tahun 2017. Bahkan peningkatan moda transportasi pemudik tertinggi terjadi pada mobil pribadi sebanyak 13,92 persen dibanding dengan tahun sebelumnya.

Banyaknya pengguna moda transportasi yang memanfaatkan jalan raya tentu berpengaruh pada perkerasan jalan tersebut. Perkerasan adalah lapisan yang berada di antara beban lalu lintas (kendaraan) dan tanah dasar yang bersifat konstruktif sehingga memiliki nilai struktural dan fungsional. Terdapat beberapa jenis perkerasan yang digunakan di Indonesia, secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu perkerasan lentur dan kaku serta gabungan antara keduanya.

Perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan batuan sebagai material pokok pendukung beban dan aspal sebagai material pengikat antar-butiran material pokok. Masyarakat awam lebih mengenal perkerasan ini sebagai “jalan aspal”, walaupun aspal hanya digunakan sebagai bahan pengikat yang bersifat lentur. Sedangkan pada perkerasan kaku, bahan ikat yang digunakan adalah semen, sehingga biasa disebut sebagai perkerasan beton.

Di Indonesia dua jenis perkerasan ini sering kita temui. Lalu, mengapa jenis perkerasan harus dibedakan menjadi dua?

Pada saat merancang perkerasan jalan terdapat dua parameter yang dirancang, yaitu tebal dan bahan perkerasan. Menurut Djoko Murwono, dosen bidang transportasi UGM, perancangan perkerasan yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. menjamin tercapainya tingkat layanan jalan sepanjang umur pelayanan;
2. mempunyai life cycle cost (total biaya yang dikeluarkan selama umur rencana) yang minimum;
3. mempertimbangkan kemudahan saat pelaksanaan dan pemeliharaan;
4. menggunakan material yang efisien dan memanfaatkan material lokal semaksimum mungkin;
5. mempertimbangkan faktor keselamatan pengguna jalan;
6. mempertimbangkan kelestarian lingkungan.

Berdasarkan syarat-syarat perancangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada setiap perancangan harus dilakukan secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan lalu lintas. Pada dua jenis perkerasan di atas, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang merupakan akibat dari jenis bahan yang digunakan.

Perkerasan kaku biasanya digunakan untuk jalan yang memiliki beban lalu lintas yang cukup tinggi. Karena, perkerasan kaku dapat mendistribusikan beban kendaraan secara merata sehingga tanah tidak mengalami tekanan di satu titik saja. Perkerasan jenis ini lebih mudah dikendalikan kualitasnya dalam melakukan pekerjaan pencampuran. Sehingga, cukup tepat apabila digunakan pada jalan dengan lalu lintas tinggi karena dapat mengefektifkan kekuatan rencana dengan hasil pekerjaan. Selain itu juga dapat mengurangi biaya perbaikan tanah. Untuk pemeliharaan hampir tidak terdapat biaya dan indeks pelayanan relatif stabil selama umur rencana. Contoh jalan yang biasanya menggunakan jenis perkerasan kaku adalah jalan tol.

Namun, perkerasan ini memiliki kekurangan yang cukup merepotkan yaitu apabila terjadi kerusakan biasanya terjadi secara cepat dan dalam waktu yang singkat. Kerusakan yang terjadi merambat karena konstruksi perkerasan yang utuh setiap segmen sehingga apabila terjadi kerusakan perbaikan tidak hanya dilakukan pada titik kerusakan saja. Selain itu, karena adanya sambungan antar-segmen perkerasan, maka harus ada pemeliharaan berkala di bagian ini agar tidak terjadi kerusakan yang tidak terprediksi sebelum habis umur rencana.

Perkerasan lentur dapat digunakan pada semua tingkat volume lalu lintas. Biaya investasi yang dikeluarkan relatif lebih sedikit apabila digunakan untuk lalu lintas rendah. Konstruksi dan pengerjaan perkerasan ini juga lebih murah dibandingkan dengan perkerasan kaku sehingga jenis perkerasan ini lebih mudah kita jumpai di sekitar kita. Pada perkerasan jenis ini kerusakan biasanya terjadi pada beberapa titik dan tidak merambat ke titik-titik di sekitarnya. Jadi, perbaikan jalan tidak perlu secara utuh per segmen seperti perbaikan pada perkerasan kaku.

Saat terkena beban, perkerasaan lentur cenderung akan melendut/berdeformasi. Apabila beban melebihi beban rencana, perkerasan seringkali tidak kembali ke bentuk semula. Hal tersebut dapat kita lihat pada jalanan yang perkerasannya bergelombang, maka dari itu diperlukan perawatan rutin pada perkerasan lentur dalam jangka waktu tertentu.

Perbedaan distribusi beban perkerasan kaku (rigid pavement)
dengan perkerasan lentur (flexible pavement)
Credit: Dr. Ir. Latif Budi Suprama, M.Sc.

Di Indonesia, peningkatan beban lalu lintas selalu memiliki anomali tahunan saat mudik lebaran yang tidak dapat terprediksi peningkatannya. Sehingga jalanan selalu rusak dan harus diperbaiki setiap tahun sampai terdapat julukan “proyek sepanjang masa” untuk perbaikan jalan.

Peningkatan fasilitas moda transportasi lain seperti kereta api dan pesawat dengan biaya yang terjangkau diharapkan terus diupayakan oleh pemerintah. Kesadaran masyarakat akan penggunaan moda transportasi massal dibanding pribadi adalah hal yang harus diusahakan. Jangan sampai atas dasar ego, negara menanggung beban yang seharusnya dapat dihindari. Padahal biaya yang dikeluarkan dapat dialokasikan untuk hal lain yang bermanfaat.

Kategori
Transportasi

Perlunya Edukasi Driver Transportasi Online

Perkembangan teknologi informasi di zaman modern seperti sekarang ini tidak dapat dihindari. Kemudahan yang diberikan oleh kecanggihan teknologi informasi seakan menjadi kebutuhan masyarakat yang tidak dapat ditolak. Transportasi online adalah salah satunya. Bertemunya kemudahan yang dapat dinikmati oleh konsumen dan terciptanya lapangan pekerjaan yang sangat besar menjadi penyebab cepatnya perkembangan produk ini.

Terbitnya Permenhub No. 26 Tahun 2017 dianggap menjadi penghalang keberadaan usaha transportasi online yang sudah ada. Sehingga, ada 6 orang pengemudi transportasi onlineyang mengajukan uji materiil sejumlah pasal di peraturan tersebut kepada Mahkamah Agung (MA). Hingga kemudian MA mengeluarkan putusan dengan nomor 37 P/HUM/2017 tentang Uji Materi Permenhub No. 26 Tahun 2017. Mungkin pada akhirnya di negara demokarsi ini peraturan mengenai transportasi akan kembali pada keinginan rakyat sebagai subjek demokrasi sekaligus pasar dari produk tersebut.
 
Baca juga: Gagal Paham Putusan MA, Dishub Jabar Larang Transportasi Online
 
Sementara peraturan mengenai transportasi onlineyang masih belum kunjung pasti, penyedia jasa masih terus menjalankan usahanya. Semakin hari, permintaan terhadap jasa ini terus meningkat. Meningkatnya permintaan tersebut membuat terus bertambahnya driver yang merupakan ujung tombak dari operasional layanan.
 
Namun, meningkatnya jumlah driver mungkin tidak dibarengi dengan pembekalan untuk beroperasi di lapangan. Perusahaan sepertinya hanya menekankan pelayanan terhadap konsumen untuk menjaga kesetiaan dalam menggunakan layanan. Hanya konsumen yang menjadi pengguna jasa saat itu juga yang bisa memberikan rating kepada driver untuk kemudian dievaluasi kinerjanya. Akibatnya, perilaku berkendara driversering tidak memperhatikan hak-hak pengguna jalan lainnya karena mereka tidak bisa memberi rating buruk.
 
Di dalam UU No. 22 Tahun 2017 sudah dijelaskan mengenai hak dan kewajiban setiap pengguna prasarana lalu lintas. Pada kenyataannya, banyak driver yang melanggar demi keuntungan pribadinya. Hal yang paling sering terjadi adalah penyalahgunaan trotoar, terutama di wilayah yang biasanya cukup banyak orderan, sebagai tempat menunggu dan memarkirkan motornya. Apabila ingin melihat contoh nyatanya, di wilayah sekitar kampus Universitas Gadjah Mada tepatnya di sepanjang Jalan Kaliurang, banyak orang-orang dengan jaket hijau dan hitam-oranye yang memarkirkan motornya di atas trotoar jalan.
Beberapa waktu lalu, di media sosial ramai pula pemberitaan mengenai segerombolan driver ojek online yang membawa penumpangnya melewati jalur busway. Hal itu sangat disayangkan, mengingat larangan kendaraan bermotor memasuki jalur busway telah diatur dalam Perda DKI No. 8 Tahun 2007. Sering pula driver tidak mematuhi peraturan lingkungan sebuah institusi, seperti yang terjadi di Jalan Sains dan Jalan Kesehatan UGM. Di daerah tersebut telah dipasang spanduk bahwa ojek online dilarang mangkal di sekitar kampus. Namun, tetap banyak terlihat driver yang nekat dan mengabaikan spanduk yang terpasang tersebut. Masih banyak lagi bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan driver transportasi online.
Baca juga: Pagi di Jakarta
 
Sepertinya syarat mendaftar sebagai driver yang berupa SIM, SKCK, dan STNK belum cukup menjamin ketaatan terhadap hukum. Perlu dilakukan lagi pembekalan kepada para driver mengenai perilaku mengemudi yang sesuai dengan aturan. Lebih lanjut lagi, pelaporan terhadap perilaku driverseharusnya bukan hanya menjadi hak pengguna jasa namun juga pengguna prasarana transportasi lainnya yang kerap dirugikan oleh perilaku driver dalam berkendara.
 

 

Agri Satrio Adi Nugroho
Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan UGM