Kategori
Transportasi

Biar Sukses, Tol Probolinggo-Banyuwangi Perlu Dibarengi Pengembangan Pelabuhan

Saya termasuk yang bersyukur trase Transjawa segmen Probolinggo-Banyuwangi tidak melalui Jember, tapi Situbondo. Pasalnya, sampai hari ini perkembangan Situbondo jauh tertinggal daripada Jember. Anda bisa membuktikannya dengan melakukan perjalanan menggunakan bus dari Surabaya ke Situbondo, baik siang maupun malam. Ketika hendak naik bus di terminal Purabaya Surabaya (Bungurasih), mungkin Anda akan tersenyum senang karena menemukan bus tujuan Situbondo. Kenek yang Anda tanya pun bakal bilang bus akan sampai Situbondo.

Namun, saat bus hampir sampai di terminal Probolinggo, dan bisa saja saat itu Anda sedang terlelap, kenek akan membangunkan dan memaksa Anda untuk pindah bus. Mengapa? Karena bus yang sedang Anda tumpangi akan berbelok ke selatan: Lumajang, terus ke Jember, lalu ke Banyuwangi. Anda disuruh masuk ke bus yang sudah penuh penumpang, yang daritadi mengumpulkan penumpang tujuan Situbondo (senasib dengan Anda), agar tak merugi. Kemungkinan besar Anda tak akan dapat tempat duduk. Namun, itu masih mending daripada Anda masuk bus tujuan Situbondo yang masih kosong. Sebab, itu berarti Anda harus menunggu bus itu terisi penuh! Ya seperti angkot gitulah.

Mengapa demikian? Penumpang bus yang Anda naiki tadi tujuannya lebih banyak ke Jember daripada Situbondo. Sebagai kota yang lebih maju dari segi ekonomi, pariwisata, dan pendidikan, Jember tentu lebih banyak membangkitkan perjalanan dan juga sebagai tujuan perjalanan.

Maka, jika Transjawa lewat Situbondo, ia akan memberi angin segar bagi kabupaten yg punya banyak pesantren ini. Ekonominya akan berkembang, terutama di sektor pariwisata. Dengan adanya tol, perjalanan dari Surabaya maupun Banyuwangi ke Situbondo akan lebih singkat.

Awalnya, jika naik bus, perjalanan Surabaya-Situbondo memakan waktu 4 jam. Itupun kalau di Probolinggo tak menunggu lama. Tol niscaya akan meringkasnya menjadi hanya sekitar 2 jam saja. Sehingga, pilihan wisata bagi masyarakat tidak hanya terbatas di Probolinggo dengan Gunung Bromonya yang mashur, atau Jember dengan Pantai Papumanya, tapi juga Situbondo dengan pilihan pariwisata yang tak kalah menariknya. Sebut saja Pantai Pasir Putih, Pantai Bama, hingga Savana Baluran.

Selain itu, tol juga akan mempermudah perjalanan religi ke Situbondo. Jangan salah, ketika hari-hari penting Islam, khususnya Maulid Nabi, pesantren-pesantren di Situbondo banyak dikunjungi orang untuk mendengar ceramah kiai. Adapula yang sekaligus menjenguk anaknya di pesantren. Dan yang datang bukan hanya orang Situbondo saja, tapi juga daerah-daerah lain di tapal kuda serta Madura.

Selain memanjakan para pengendara kendaraan pribadi yang ingin berwisata, perjalanan religi, atau mudik, kata pemerintah pusat tol juga akan mengefektifkan sistem logistik. Sederhananya, menurunkan biaya pengiriman barang.

Akan tetapi, jika menengok fenomena Transjawa segmen Semarang ke arah barat, truk masih lebih banyak yg lewat jalur Pantura. Kata para pengusaha truk, mereka menghindari Transjawa karena tarifnya mahal.

Pembangunan jalan tol memang membutuhkan investasi (biaya) yang besar. Misalnya, pembangunan tol Semarang-Batang yang panjangnya 7 kilometer saja, membutuhkan biaya 11,04 triliun. Hal inilah yang membuat tarif tol terpaksa dibuat tinggi untuk pengembalian investasi selama masa konsesi. Pemerintah sempat beralasan, tol hanyalah salah satu alternatif jalur perjalanan. Kalau mau cepat ya naik tol dan bayar lebih mahal, tapi kalau mau lebih murah lewat jalan biasa dengan konsekuensi perjalanan lebih lama.

Di sisi lain, menurut teman saya, Ali Akbar, kualitas logistik bukan cuma soal kecepatan angkut. Secara umum, logistik punya 3 macam sifat: butuh diangkut cepat meski sedikit, butuh diangkut banyak meski lambat, dan di tengah-tengah keduanya. Untuk truk yang mengangkut barang yang tidak dituntut cepat sampai, seperti beras, garam, gula, pastilah ogah lewat tol jika tarifnya mahal. Mending lewat jalan biasa saja, karena meski lama, lebih hemat ongkos hingga setengahnya. Untuk barang yang dituntut cepat sampai pun, kata Ali Akbar, keuntungan yang didapat jasa pengiriman selama ini tidak terlampau besar. Jadi kalau lewat tol, keuntungan tersebut akan lebih kecil lagi.

Uraian masalah di atas mestinya membuat kita insyaf bahwa tol tak menyelesaikan seluruh masalah logistik. Ada bagian-bagian yang tidak diselesaikan tol. Hal inilah yang membuat tol perlu didukung oleh infrastruktur lain, seperti pelabuhan dan kereta api.

Di tulisan ini hanya akan dibahas soal pelabuhan. Di Situbondo, ada dua pelabuhan penting, yaitu Jangkar dan Panarukan. Pelabuhan Jangkar fungsinya untuk lalu lintas penumpang dan barang-barang yang tidak dalam skala besar. Tujuan penumpang umumnya ke Pulau Madura dan pulau-pulau kecil di sebelah timurnya.

Ketika mendengar kata “Panarukan”, apa yang terlintas di benak Anda? Ya, kita sering mendengar nama ini ketika berbicara soal Jalan Raya Pos-Jalan Daendels yang terbentang dari Anyer hingga Panarukan. Di kecamatan ini ada sebuah pelabuhan yang dilengkapi dengan lapangan kontainer. Kapal yang bisa berlabuh di pelabuhan ini pun sampai 1000 DWT.

Keunggulan jalur laut dibandingkan jalan tol adalah kapasitas angkutnya berkali-kali lipat. Sebagai gambaran, truk kontainer muatannya maksimal hanya 25 ton. Sedangkan kapal 1000 DWT muatannya bisa sampai 600 ton. Bayangkan, jika sama-sama berangkat dari Panarukan ke Surabaya, kapal laut bisa mengangkut 24 kali lebih banyak daripada truk. Ya meskipun truk akan duluan sampai di Surabaya, apalagi jika ada tol, tapi untuk jenis barang yang tak perlu cepet-cepet sampai, tetap akan lebih efisien memakai kapal. Sebab, harga barangnya ketika sampai di Surabaya akan lebih murah karena dibawa dalam jumlah banyak sekaligus. Hal tersebut juga berlaku jalur sebaliknya: Surabaya ke Panarukan.

Sayangnya, pelabuhan Panarukan terlantar. Lapangan kontainer kosong. Struktur pelabuhan banyak yang rusak. Lampu penerangan cuma satu-dua yang hidup, sehingga kalau malam hari sering dipakai pacaran (entah ini efek positif atau negatif). Pembangunan yang dilakukan oleh Kemenhub tahun 2016 tetap tak mampu menggairahkan pelabuhan ini. Mentoknya cuma dipakai bersender perahu ikan.

Maka, pembenahan pelabuhan di Situbondo seiring pembangunan tol, serta mengintegrasikan keduanya, mestinya menjadi fokus pemerintah ke depan. Agar ekonomi daerah tapal kuda benar-benar tumbuh, mengejar ketertinggalan. Agar logistik benar-benar murah dan efektif. Dan tentu saja tak cukup di situ. Sistem logistik Probolinggo-Situbondo-Banyuwangi mestinya bisa ikut membantu pemerataan ekonomi di daerah timur, khusunya Nusa Tenggara. Mengingat, Situbondo lebih dekat ke sana daripada Surabaya. Dan juga biar tak menumpuk di Surabaya. Kalau perlu bisa langsung ekspor ke Australia. Karena toh, hingga kini, kargo dari Bali yang mau dibawa ke Australia masih diberangkatkan dari Surabaya.

Kategori
Transportasi

Pelan-Pelan Orang Akan Kembali ke Taksi Konvensional

Datangnya taksi online (taksol) melawan taksi konvensional (takkon) dianggap sebagai inovasi model bisnis yang menjadi disrupsi bagi dunia transportasi umum non-trayek. Harga yang pasti dan relatif lebih murah membuat taksol menjadi pilihan banyak masyarakat. Stigma terhadap harga takkon yang bisa “argo kuda” pun menjadi salah satu alasan orang banyak berpindah ke jasa taksol.

Perbedaan harga antara taksol dengan takkon dipengaruhi oleh banyak hal. Takkon harus memenuhi banyak persyaratan agar perusahaan takkon tersebut dapat diberikan izin oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub). Salah satu contohnya adalah minimal harus punya lima kendaraan, harus memiliki tempat penyimpanan kendaraan, memiliki bengkel sendiri, serta memiliki pengemudi yang memiliki izin khusus.

Selain syarat investasi yang besar di atas, perusahaan takkon harus mengurus izin yang cukup sulit dan banyak. Selain hal teknis, perusahaan juga harus mempersiapkan manajemen, layanan pelanggan, pengelolaan sumber daya manusia, pemasaran, asuransi, dan masih banyak lagi. Investasi besar ini yang kemudian membuat harga tarif takkon jadi menggelembung.

Penyedia jasa taksol kemudian mengambil celah ini, dengan sistem sharing economy (ekonomi berbagi) yang menggunakan masyarakat sebagai aset utama penyedia jasa taksol, biaya birokrasi yang sangat besar tersebut dapat dipangkas. Karena tidak perlu menyiapkan armada sendiri, perusahaan penyedia jasa taksol menjadi lebih mudah dan murah untuk mengembangkan bisnisnya.

Sistem sharing economy ini ternyata memiliki kelemahan. Walaupun pihak manajemen penyedia aplikasi sudah melakukan upaya-upaya untuk memperkecil human error pada mitra pengemudinya, masih banyak variabel yang tidak dapat dikontrol. Hal ini berkaitan dengan pelayanan dan kenyamanan penumpang.

Pertama, tidak adanya seleksi yang bersifat kemampuan dari penyedia jasa taksol. Seleksi untuk menjadi mitra pengemudi taksol lebih banyak ditekankan pada masalah administrasi seperti KTP, KK, SKCK, STNK, dan lain-lain. Tidak ada pemeriksaan kendaraan yang dilakukan oleh manajemen aplikasi taksol. Kemudian tidak ada juga tes kemampuan mitra pengemudi sehingga aplikasi taksol hanya menilai performa dari banyaknya pekerjaan yang diselesaikan bukan dari kualitas pekerjaan.

Kedua, walaupun ada sistem lapor, seringkali terjadi perbedaan kendaraan dan/atau perbedaan pengemudi. Perbedaan kendaraan dan/atau pengemudi ini sangat berisiko terhadap keamanan dan keselamatan penumpang. Walaupun model bisnis taksol ini bukan sepenuhnya sebagai angkutan umum non-trayek, tetapi penyedia jasa apapun wajib menjaga pelanggannya.

Ketiga, jumlah armada yang banyak tidak menjamin ketersediaan armada dalam memenuhi permintaan pelanggan. Sistem kerja yang tidak diatur membuat ketersediaan armada yang stand by tidak dapat dipastikan. Sering ada kejadian pada jam sibuk, ketika lalu lintas sangat padat, ketersediaan taksol malah sangat jarang, karena dipengaruhi oleh mood dari pengemudi.

Hal-hal di atas seringkali diremehkan oleh pelanggan. Padahal pelanggan mempunyai hak untuk mendapatkan kenyamanan dan keselamatan dalam bertransportasi. Hal yang dibandingkan pelanggan hanyalah masalah harga. Pelanggan mencari harga yang termurah tanpa memikirkan pelayanan yang akan mereka dapatkan.

Persaingan antara taksol dan takkon adalah masalah persepsi dalam menentukan model bisnis. Taksol menerapkan perang harga termurah dengan cara memotong pengeluaran sebesar-besarnya. Takkon menerapkan sistem value added atau penambahan nilai dengan cara memberikan pelayanan yang lebih nyaman dan lebih aman daripada taksol.

Tantangan untuk takkon adalah memberikan pelayanan yang membuat pelanggan lebih nyaman dalam menggunakan jasa takkon, seperti memberikan harga yang pasti untuk pelanggan, ketepatan waktu penjemputan, ketersediaan armada, dan pengalaman berkendara yang dapat membuat pelanggan rela mengeluarkan uang yang lebih untuk menggunakan jasa taksi konvensional.

Apabila taksi konvensional dapat menemukan formula yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut, maka pelan-pelan pelanggan taksol akan mulai berpindah kembali ke takkon. Asal pelanggan bisa disadarkan akan pentingnya keamanan, keselamatan, dan kenyamanan dalam bertransportasi.

Kategori
Beranda

Gempa Donggala Terjadi di Atas Patahan Palu-Koro

Jumat (28/9) terjadi gempa yang berpotensi tsunami di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Menurut laporan BMKG, gempa pertama terjadi pada pukul 15:00 WITA. Kekuatan gempa maksimalnya mencapai magnitude 7,7 SR pada kedalaman 10 kilometer. Pusat gempa terbesar ini terletak di titik 27 kilometer timur laut Donggala.

Berikut sebaran titik pusat gempa di Sulawesi Tengah menurut laporan USGS. Titik merah menandakan lokasi gempa 7,5 SR.

Sumber: USGS

Nilai gempa ini lebih besar daripada gempa maksimal di Lombok yang mencapai 6,9 SR. Apabila diukur dalam skala potensi kerusakan, menurut USGS (United State Geological Survey), gempa ini mencapai MMI IX. Artinya, menurut skala ini, ada potensi bangunan yang kuat mengalami kerusakan, rangka-rangka rumah menjadi tidak lurus, banyak retak-retak. Rumah tampak agak berpindah dari pondamennya. Pipa-pipa dalam rumah putus. Potensi kerusakan pada pipa-pipa perlu mendapat perhatian, karena berhubungan dengan ketersediaan air bersih.

Sebagian besar wilayah yang paling terdampak gempa, jumlah penduduknya kurang dari seribu jiwa, yaitu di Donggala, Palu, Sigi Biromaru, dan Parigi. Sedangkan Palu jumlah penduduknya besar, yaitu sekitar 280an ribu jiwa.

Baca juga: Selama Rezim Jokowi, Penghancuran Pulau Kecil Terus Berlanjut

Di daerah Donggala sampai Kota Palu diketahui terdapat sebuah patahan yang terletak di daratan yang dinamai sebagai patahan Palu-Koro. Tipe gerakan patahan ini adalah strike-slip (patahan mendatar) dengan pergerakan formasi batuan mencapai 35 sampai dengan 44 mm/tahun. Patahan Palu-Koro merupakan patahan dengan pergerakan terbesar kedua di Indonesia, setelah patahan Yapen, Kepulauan Yapen, Papua Barat, dengan pergerakan mencapai 46 mm/tahun. Dalam sejarahnya patahan ini pernah menyebabkan gempa dengan magnitude 7,9 SR.

Pergerakan patahan Palu-Koro 30/35/44 mm per tahun
Sumber: Pusgen
Indonesia dianugerahi Tuhan dengan sumber daya melimpah. Namun, balik itu semua, negara ini juga banyak diberi cobaan, salah satunya adalah patahan.
Peta patahan Indonesia
Sumber: Pusgen

 

Sejarah kejadian gempa di Sulawesi
Sumber: Pusgen

 

Titik gempa di patahan Palu-Koro
Sumber: Pusgen

Patahan muncul karena aktivitas lempeng kerak bumi yang sejatinya hanya seperti benda tipis yang mengambang di cairan kental (magma). Patahan inilah yang menyebabkan terjadinya gempa bersifat sangat merusak. Tragisnya lagi, banyak patahan besar di Indonesia terletak di daratan dengan kedalaman dangkal, tentunya ini dapat mengakibatkan getaran yang lebih dahsyat daripada patahan di lautan dalam.

Mari bersama-sama siap selamat, berdoa, dan membantu masyarakat Sulawesi Tengah.

Posko Pengungsian Gempa – Tsunami Donggala 2018

Redaksi PijakID
Kategori
Infrastruktur

Kisah Relawan Gempa Lombok

Malam sudah makin larut, jarum besar jam telah menunjuk angka 11, ketika kami yang berada di dalam bus disambut oleh gempa susulan di Lombok. Bus yang baru mancal dari Bandara Internasional Lombok ini berhenti, lalu diguncang. Saya yang awalnya sudah setengah terlelap, jadi melek lagi. Warga sekitar berlarian keluar, berteriak histeris, lampu seketika padam.

Seketika saya teringat suasana gempa Jogja dulu, di tahun 2006. Teriakan itu, kekhawatiran itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Akhirnya kalimat ini yang saya gumamkan.

Empat jam sebelumnya, saya sedang mengagumi layanan check-in online. Maklum, ini baru kali kedua saya naik pesawat. Setelah check-in online di dalam bus, tinggal menikmati kemacetan Jogja yang akan saya rindukan selama dua minggu, sembari mengingat-ingat pesan dari para pengarah di Lapangan Satu Bumi (Satub) dan Kantor Pusat Fakultas Teknik (KPFT) UGM. Beliau-beliau ini menyampaikan, dalam menghadapi bencana, harus menyiapkan diri baik-baik. Jangan sampai ikut menjadi beban bahkan korban di lokasi nanti. Persiapan mental juga penting, karena tidak semua korban dapat menerima relawan dengan mudah. Ada yang dengan senang hati menerima, ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang defensif. Respons defensif tersebut terjadi karena berbagai macam faktor, misalnya saja karena warga khawatir dan trauma terhadap tembok atau dinding. Sehingga, bantuan hunian yang masih dibangun menggunakan tembok pasangan bata, beberapa ditolak oleh warga.

Di Lombok, saya menjumpai rumah dan bangunan lainnya yang sudah rusak ringan bahkan berat. Namun, Alhamdulillah, jembatan memiliki kinerja cukup baik dalam menerima beban gempa, sehingga akses jalan dapat dilalui dengan lancar oleh warga dan relawan. Bus yang saya tumpangi pun melaju dengan nyaman.

 

Saya berangkat ke Lombok via program Puskim (Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman) Kementerian PUPR. Oleh karena itu, hari kedua di Lombok, saat hari mulai terang, saya dan teman-teman langsung menuju ke Polsek Pamenang. Di lokasi ini akan dilaksanakan pembangunan RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat) pertama di Lombok, berupa bangunan musala. Tentunya diawali dengan sosialisasi tata cara pembangunannya terlebih dahulu oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PUPR.

Foto: Dewanto AN

Hari ketiga, 21 Agustus 2018, dilaksanakan pembangunan Masjid Kecinan. Di sini, rangka masjid dibuat berbeda ukurannya dengan musala di hari kedua. Rangka masjid ini ukurannya 9×9 meter, sedangkan yang di musala 6×6 meter. Saat pembangunan masjid ini saya merasakan suasana gotong royong yang luar biasa. Masyarakat dan relawan bahu membahu menggotong panel dari truk menuju lokasi, mengaduk mortar untuk fondasi batu kali, hingga diakhiri salat berjamaah di bawah tenda dari terpal. Sinar matahari memang terasa panas, tapi saat melihat wajah warga yang kehilangan rumah bahkan saudaranya, maka saya menjadi malu pada diri sendiri. Jangan sampai panas ini menurunkan semangat saya mengembalikan lagi senyum warga Lombok.

Baca juga: Polemik Membangun Rumah

 

Hari keempat, 22 Agustus 2018, Idul Adha tiba. Kami menunaikan salat Idul Adha di lapangan alun-alun Kabupaten Lombok Utara. Saya kira tepat penggambaran mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, yang menjadi khatib kala itu. Ia menuturkan, warga Lombok tak perlu berkurban fisik seperti saudara-saudara lainnya yang menyembelih kambing atau sapi. Warga Lombok cukup mengorbankan perasaannya.

Pembangunan RISHA diputuskan libur pada momen Idul Adha. Namun, pengabdian terus berjalan bagi kami para relawan. Beberapa teman ada yang berkunjung ke lokasi lain. Ada yang memilih berbincang dengan kawan-kawan relawan lain di posko. Ada yang berbincang dengan warga yang masih di dalam tenda. Saya memilih untuk berkunjung ke posko lain, kurang lebih 5 kilometer dari posko saya. Karena saat itu belum banyak kendaraan, maka saya memutuskan untuk berjalan kaki. Bermodalkan jaket untuk menutup badan dan tas kecil, saya memulai perjalanan.

Selama perjalanan, saya mengamati rumah, ruko, kantor dan infrastruktur yang diserang gempa besar beberapa kali. Ada yang utuh, hanya retak saja aciannya. Ada yang rusak berat bahkan ambruk. Ada bangunan dari bambu yang secara struktural, sangat bagus dan bertahan.

Foto: Ridwan AN

 

Foto: Dewanto AN
Namun… ada juga bangunan yang rusak parah
Foto: Ridwan AN

 

Foto: Dewanto AN

Sesampainya di posko tujuan, saya bertemu dengan rekan saya SMA dulu. Ia menjadi salah satu relawan yang ikut membantu di posko tersebut. Di sanalah saya banyak mendengar suka duka dari relawan NGO (Non Goverment Organization). Kisahnya, saat mereka akan memberi bantuan, tidak hanya memberi, lalu sudah. Namun, mereka harus bisa mengelola dengan baik. Apa saja kebutuhan yang harus segera dipenuhi, mana saja yang perlu diprioritaskan, sampai harus merencanakan apa yang perlu dilakukan agar warga dapat mandiri saat relawan-relawan ini harus pulang ke kampung halaman.

Selesai berbincang, saya berjalan melihat suasana posko. Terlihat di beberapa titik warga sedang memasak sate khas Lombok, berwarna merah terang. Bisa terbayang banyak sekali cabai yang digunakan.

Sesampai di ujung posko, saya melihat kamar mandinya. Tercium aroma kurang sedap. Karena masih ada sedikit air seni yang belum tersiram. Mungkin saja karena air belum datang, atau karena saat membawa, kekurangan air untuk pipis di saat terakhir. Sebab belum ada jaringan pipa. Warga harus membawa air dari bak air di dekat jalan raya, dengan ember ataupun botol seadanya. Bagi laki-laki dewasa hal itu bukan masalah. Bagi ibu-ibu bahkan yang sedang menggendong anak? Tentu saja tidak.

Detik itulah saya sadar. Salah satu hal yang krusial ketika terjadi bencana seperti gempa adalah air.

Krisis air bersih pun efeknya menerpa saya. Di hari ketujuh, badan saya melemah. Dengan terpaksa akhirnya saya harus menuju ke rumah sakit lapangan yang disediakan oleh TNI. Meski ini kabar buruk, tapi saya masih menemui hikmahnya. Saya jadi merasakan atmosfer warga yang mengungsi dan merasakan sakit. Bahkan, saking berefeknya masalah air bersih, petugas pemeriksa tensi sampai hafal. “Diare ya?” ucapnya santai.

Setelah selesai dan mendapat obat, saya kembali ke tenda. Beristirahat, menikmati siang di bawah tenda. Walau begitu, di dalam sudah seperti sauna, berkeringat luar biasa.

Baca juga: Kesulitan Manajemen Air Baku di Oekolo

 

Esoknya, saya kembali bekerja. Alhamdulillah, dengan bekal pengalaman diare sebelumnya, saya lebih hati-hati. Konstruksi dilanjutkan kembali di Masjid Nurul Hidayah, Mataram. Karena ketersediaan lahan yang terbatas, fondasi harus tinggi menyesuaikan elevasi dari sungai yang ada di bawahnya agar aman.

Pada Jumat terakhir di Lombok, kami meneruskan konstruksi di Kantor Desa Sigar Penjalin. Seperti biasa, kami menuju lokasi menggunakan kendaraan Dinas PUPR. Tidak banyak hal berbeda dari yang sebelumnya, namun semua memang terasa berbeda saat kita sudah hampir selesai dari suatu hal. Kami merasa belum bisa membantu banyak, masih banyak “PR” untuk teman-teman di Lombok. Di sela-sela perjalanan, saya memotret sesuatu untuk mengingatkan saya, jangan terlalu sibuk untuk menggapai dunia.

Foto: Dewanto AN

 

Foto: Dewanto AN

Kini saya sudah kembali ke Jogja. Kembali bergulat dengan tugas-tugas akademik. Dan akhirnya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk warga NTB. Semoga diberi kekuatan pada pundaknya untuk bersabar dan ikhtiar berjuang bangkit kembali. Terima kasih kepada semua pihak, pemerintah, NGO dan semua yang membantu. Apapun bentuknya.

Dewanto Adi Nugroho
Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan UGM
Kategori
Transportasi

Menurunkan Tingkat Fatalitas Kecelakaan dengan Rolling Guard-rail Barrier

Kecelakaan di jalan raya merupakan salah satu penyebab kematian paling tinggi di Indonesia. Dalam acara penyampaian laporan akhir tahun yang dimuat di kumparan.com, Kapolri Jendral Tito Karnavian menyebutkan bahwa peristiwa kecelakaan lalu lintas sepanjang 2017 mencapai angka 98.419 kali dan menyebabkan 24.213 orang meninggal. Walaupun terjadi penurunan dari tahun sebelumnya, tingkat fatalitas (fatality rate) peristiwa kecelakaan masih terbilang cukup tinggi yakni di angka 25%. Artinya setiap 4 kejadian kecelakaan, ada 1 orang yang meninggal. Ini adalah permasalahan serius yang harus terus dicarikan solusinya agar kedepannya tidak banyak orang mati sia-sia di jalan.

Mengapa terjadi banyak kecelakaan? 

Setidaknya ada 4 permasalahan mendasar yang menyebabkan tingginya kejadian dan fatalitas kecelakaan. Pertama, buruknya desain geometrik jalan. Kedua, buruknya perilaku berkendara seseorang. Ketiga, penggunaan kendaraan yang tidak berkeselamatan. Keempat, minimnya rambu dan fasilitas pendukung jalan.

Tiga permasalahan pertama yakni geometrik jalan, perilaku berkendara, dan kondisi kendaraan mungkin akan sulit dan memakan waktu lama jika ingin mengatasinya. Mengapa?

Pertama, kondisi geografis dan geologis Indonesia sulit dibuatkan desain ideal sesuai standart. Tentunya akan menelan banyak anggaran jika ingin memaksakan membangun infrastruktur jalan yang ideal secara keseluruhan. Kedua, perilaku berkendara yang sudah menjadi kebiasaan akan sulit diubah hanya dengan hukuman tilang dan sosialisasi. Ketiga, harga kendaraan yang mempunyai fitur pelindung keselamatan sangat mahal, sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat. Adapun tingginya korban dari pengguna sepeda motor, harus dapat dikurangi dengan cara mengalihkan ke transportasi massal. Penyediaan jaringan transpotasi massal diharapkan segera dapat direalisasikan agar masyarakat bisa beralih moda yang lebih terjamin.
Satu-satunya cara yang paling realistis dari segi finansial dan waktu adalah dengan mengatasi permasalahan keempat, yaitu melengkapi seluruh jalan raya dengan rambu dan fasilitas jalan pendukung keselamatan yang mengadopsi teknologi terkini. Hal ini harus segera dilakukan agar tidak timbul banyak korban berikutnya. Mungkin inovasi yang akan dibahas berikut ini bisa menjadi salah satu solusi baik untuk mengurangi dampak kecelakaan.
Rolling Guard-rail Barrier 
Menurut Federal Highway Administration, pagar pembatas jalan yang sering kita jumpai (tipe W-Beam Guardrail) masih mempunyai kelemahan yaitu tidak bisa bekerja pada tubrukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Ukuran dan kecepatan kendaraan sangat mempengaruhi kinerja pembatas W-Beam, sehingga masih memungkinkan kendaraan untuk keluar lintasan ataupun rusak parah setelah menghantam. Artinya, tipe ini tidak sepenuhnya bisa menjamin keselamatan dan menurunkan tingkat fatalitas dari sebuah kejadian kecelakaan.
Sebuah perusahaan di bidang transportasi asal Korea Selatan yang bernama Evolution in Trafiic Innovation (ETI) sekitar tahun 2010 menjawab permasalahan itu dengan membuat sebuah produk yang dinamai Rolling Guard-rail Barrier (RGB). Sebuah produk pembatas jalan dengan tabung roller lentur yang dapat berputar dan menyerap energi tumbukan sehingga dapat menurunkan fatalitas kejadian kecelakaan.
Dari segi bentuk, teknologi ini memadukan antara pembatas jalan konvensional yang sering kita lihat tebuat dari baja tipe W-Beam dan dinding ban pelindung yang biasa kita lihat di sirkuit balapan. Perbedaan mendasar antara RGB dan pembatas jalan biasa adalah pada tabung roll kuning yang terpasang di bingkai rangka seperti yang ditunjukan pada gambar dibawah ini.
W barrier – Tire Safety Wall – Roller Guardrail Barrier

RGB atau yang bisa disebut Safety Roller Barrier mungkin baru dikenal masyarakat Indonesia melalui postingan instagram gubernur baru Jawa Barat-Ridwan Kamil yang diunggah pada tanggal 10 September lalu. Dikatakan bahwa Provinsi Jabar akan segera menerapkan teknologi ini di jalan besar antar kota yang berliku dan terdapat jurang. “Semoga solusi ini membuat jalanan kita lebih aman. Hatur nuhun.”, Begitu akhir kata dari keterangan foto unggahan tersebut. Sampai saat ini, RGB telah terinstal di beberapa negara besar seperti Australia dan Amerika.

Postingan Instagram Ridwan Kamil 

Cara kerja dan Keunggulan Rolling Barrier 

 
Secara umum, RGB terdiri dari dua bagian, yaitu bagian rangka dan komponen tabung roll elastis. Rangka disusun dari tiang tanam sebagai tempat pemasangan roll elastik dan dua pasang balok (baja tipe D-Shapes) yang ditempatkan pada sisi atas bawah roll sebagai bingkai perkuatan antar tiang. Komponen tabung roll terdiri dari mekanisme plat berbentuk ring dan tabung roll elasik terbuat dari senyawa polimer Ethylene-Vinyl Acetate (EVA) yang dilengkapi stiker reflektif terhadap sorot lampu. Senyawa EVA digunakan karena mempunyai kelenturan dan fleksibilitas yang lebih tinggi daripada senyawa polimer plastik/resin yang lain. Senyawa ini bersifat seperti karet tetapi lebih ringan, lebih elastis dan tidak mudah rusak.
Komponen RGB – [ETI]
Gambaran cara kerja RGB dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika sebuah kendaraan menyentuh pagar pembatas (RGB), tabung roll mengubah kejutan dari kendaraan menjadi energi rotasi. Bingkai atas dan bawah menyesuaikan ban kendaraan besar dan kecil untuk mencegah kehilangan arah saat sistem kemudi rusak.
Bingkai balok dan tabung roll yang bersifat elastis menyerap kejutan dari tubrukan. Permukaan halus pada bingkai dapat menyesuaikan ban kendaraan sekaligus memandunya tetap dalam arah gerak sehingga dapat mencegah tabrakan dari arah belakang (kecelakaan beruntun). Struktur tiga dimensi dari rangka berbentuk D dan tiang penyangga secara terintegrasi akan mendistribusikan sekaligus menyerap gaya kejutan sekunder, sehingga dapat menghentikan laju kendaraan secara lebih nyaman.
Gambar cara kerja RGB -[ETI]
Secara garis besar, keunggulan RGB dibandingkan dengan pembatas jalan konvensional dapat dijabarkan dalam poin-poin berikut ini.
  1. Tabung Roll yang elastis akan menyerap gaya benturan dan mengurangi dampak tubrukan.
  2. Proses penyerapan gaya benturan ini terintegrasi di tiga titik yaitu di tabung roll, balok, dan tiang penyangga.
  3. RGB dapat mengubah energi tumbukan menjadi energi rotasi. Pergerakan kendaraan bisa langsung diarahkan di sepanjang tepi jalan untuk menghindari tubrukan oleh kendaraan dibelakangnya (secondary collision).
  4. Berkemungkinan besar tetap bisa melindungi kendaraan keluar lintasan walaupun menubruk dengan kecepatan tinggi.
  5. Mempunyai visibilitas sangat tinggi di malam hari, meningkatkan kewaspadaan berkendara dalam keadaan minim pencahayaan.
  6. Pemasangan tabung roll secara individual di masing-masing tiang penyangga memberikan kemudahan dalam perbaikan dan perawatan.
  7. Menurunkan fatalitas dari sebuah kejadian kecelakaan.
Visibilitas RGB saat siang dan malam hari

 

RGB sangat cocok jika dipasang untuk jalan berliku di daerah pegunungan seperti kondisi jalanan Indonesia. Dengan kemampuannya, pembatas jalan tipe ini sangat berguna untuk melindungi kendaraan masuk jurang. Selain fungsi diatas, RGB juga bisa digunakan untuk median jalan dan pembatas tepi jalan tol, pengarah masuk mulut trowongan, hingga pembatas untuk melindungi fasilitas penting yang berada di sekitar jalan seperti tiang jembatan layang.
Walaupun begitu, RGB dinilai masih mempunyai beberapa kelemahan jika akan diterapkan di Indonesia, yaitu:
  1. Kinerja RGB tidak akan maksimal pada pengendara sepeda motor. Masih sangat besar kemungkinan pengendara bisa terlempar dari sepeda motor setelah menubruk pembatas dengan kecepatan tinggi.
  2. Biaya pengadaan awal untuk menerapkan teknologi ini relatif sangat tinggi.
  3. Harus impor dari Korea Selatan, artinya biaya masih harus ditambah dengan ongkos kirim (shipping) ke Indonesia. Belum lagi harus ada satu pihak yang harus ditunjuk untuk melaksanakan perbaikan dan pemeliharaan.
Namun jika ingin menilik kelemahan nomer dua dan tiga, kita juga harus melakukan analisis hitungan secara ekonomi teknik-BCR (Benefit Cost Ratio) serta membandingkannya dengan pembatan jalan konvensional tipe W-Beam. Bisa jadi dengan kemampuannya untuk menurunkan angka korban di jalan dan perawatannya yang mudah, RGB ini dapat memberikan faktor keuntungan yang jauh lebih tinggi daripada pembatas konvensional.
Sebagai gambaran, Gregory Industries sebuah perusahaan distributor yang akan melaksanakan pengadaan teknologi RGB ini di Amerika mematok harga $620 USD/meter ditambah dengan ongkos pemasangan $160 USD/meter. Sangat jauh dibanding dengan pembatas W-Beam yang total pengadaan dan pemasangannya hanya $130 USD/meter. Namun demikian, setelah dihitung BCR nya selama 5 dan 10 tahun dengan W-Beam sebagai pembandingnya, ternyata RGB dapat mencapai nilai BCR lebih dari 1. Artinya RGB lebih menguntungkan dari pada W-Beam. Tren nilai BCR juga semakin naik (semakin menguntungkan) jika di titik pemasangan pembatas jalan tersebut sering terjadi kecelakaan.
Nilai BCR tinggi dikarenakan selain kuat, instalasi RGB juga bersifat individual, sehingga dapat diganti di titik tertentu yang terjadi kerusakan (tidak banyak biaya pemeliharaan/pergantian pertahun). Sedangkan W-Beam butuh mengganti/memperbaiki instalasi yang rusak di sepanjang titik kejadian tubrukan. Selain itu ada faktor fatalitas yang bisa dihitung dari jumlah korban kecelakaan yang dapat diselamatkan oleh RGB, misal dari segi biaya asuransi dan pencegahan hilangnya tenaga kerja produktif di suatu negara.
Kesimpulan 
RGB merupakan teknologi di bidang keselamatan jalan yang menarik diimplementasikan ke jalanan Indonesia. Beberapa fungsi dan manfaat yang telah dijelaskan di atas bisa dijadikan dorongan para eksekutor kebijakan untuk segera menerapkan teknologi ini sebagai upaya menurunkan korban meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas yang masih tinggi. Gubernur Jawa Barat-Ridwan Kamil dapat dijadikan contoh bagaimana besarnya peran pemimpin untuk turut serta dalam mengatasi permasalahan kecelakaan pada suatu daerah. Dengan begini diharapkan terus muncul berbagai kebijakan inovatif yang dicetuskan oleh para pemimpin daerah sebagai komitmen untuk menurunkan korban kecelakaan.
Bukan sekedar menerapkan RGB, namun pemerintah juga harus senantiasa mendorong riset, penelitian dan produksi teknologi yang lebih canggih serta tepat guna dibidang keselamatan jalan. Agar negara kita tidak selalu bergantung dengan produk luar negeri yang tentunya akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan ekonomi negara.
Kecelakaan lalu-lintas tidak bisa dianggap enteng semata. WHO pada tahun 2010 mencatat bahwa kecelakaan lalu-lintas dapat menghilangkan Produk Nasional Bruto (PNB) hingga mencapai 5% di negara berkembang. Semoga dengan banyaknya inovasi dari pemerintah dan kesadaran bertransportasi dari masyarakat dapat membantu mengurangi beban ekonomi negara tercinta kita ini.
Safer road, saving lives, saving money
“Masuk, Pak Ridwan……..
Kamil”
Ridwan AN 
PijakID
Kategori
Transportasi

Pengalaman Tidak Terlupakan Naik Angkutan di Jakarta

Sejak memutuskan hijrah ke ibukota, saya memang sudah berjanji kepada diri sendiri untuk lebih sering menggunakan jasa angkutan umum. Tidak seperti di Jogja yang kalo mau ke mana-mana susah dan harus menggunakan kendaraan pribadi karena minimnya angkutan umum, di Jakarta berbagai jenis angkutan umum sudah tersedia. Ada Commuter Line/KRL, Transjakarta/busway, bus Kopaja hingga angkutan kecil seperti mikrolet yang biasanya melewati jalanan kampung. Ditambah lagi, dengan adanya angkutan online seperti Go-Jek/Grab, maka bepergian ke manapun menjadi lebih mudah.

Meskipun berbagai transportasi umum telah tersedia, tetapi saya rasa masih banyak ‘warga’ Jakarta yang enggan untuk menggunakan fasilitas ini. Beberapa orang justru memilih untuk menggunakan motor atau mobil pribadi dengan alasan lebih cepat dan nggak perlu transit. Ada juga yang bilang lebih hemat karena hanya keluar uang bensin. Padahal menurut saya, berkendara di jalanan Jakarta itu capek banget lho!

Saya pernah mengendarai motor dari Kemanggisan ke Kota Kasablanka dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Emang sih nggak sampai berjam-jam tapi males aja kalo harus berpanas-panas ria di tengah kepulan asap bus yang kurang ajar baunya. Belum lagi kalo kena macet di persimpangan jalan atau traffic light. Baru muncul lampu kuning aja, suara klakson udah pada rame ngalahin drum band. Aduh, membayangkannya saja saya udah capek duluan!

Selain lebih sering terpapar asap dan kena macet, salah satu hal yang bikin saya males mengendarai motor di Jakarta adalah persoalan jalan. Entah kenapa agak susah aja ngapalin jalanan Jakarta. Banyak yang muter sih! Belum lagi kalo masuk flyover, udah bingung deh ujungnya sampai ke mana. Ya masa tiap belok harus buka GMaps? Keburu diklaksonin orang-orang dong. Daripada ribet, mendingan naik transportasi umum kan? Toh, udah jelas rutenya. Tinggal ngecim aja mau turun atau berangkat dari titik mana.

Ngomong-ngomong, saya punya cerita konyol saat pertama kali berangkat kerja menggunakan jasa Transjakarta. Selasa (04/09) silam, saya nyoba berangkat dari kosan pukul 07.00. Niatnya sih, karena baru pertama kali berangkat naik busway jadi butuh pertimbangan estimasi waktu. Dari kosan, saya naik Go-Jek ke Halte Slipi Kemanggisan. Karena malem sebelumnya udah bisa pulang naik busway, saya pede-pede aja dong naik dari halte yang sama? Tapi ya gitu, kebiasaan sok tau dan nggak pake nanya-nanya dulu, saya malah naik dari halte sebelah barat.

Logikanya, kalo mau ke selatan, harusnya naik dari halte yang di timur. Tapi karena udah pede berbekal aplikasi Trafi yang nggak mungkin salah arah, akhirnya saya naik jalur 9/9A ke arah Pluit. Ya ampun, iya, Pluit. Padahal kan Pluit itu ke arah utara 😦

Sepanjang jalan, saya bingung banget. Ini buswaynya kok ke arah utara? Padahal jalur busnya udah sesuai sama aplikasi Trafi. Tapi, tapi, tapi karena udah bingung banget, akhirnya saya turun di Halte Grogol 2 di dekat Universitas Tarumanegara. Bayangkan, waktu itu udah hampir pukul 08.00 padahal saya masuk pukul 08.30. Perjalanan masih jauuuuh bangeeeet. Pesen Go-Jek kok enggak ada yang nyantol. Akhirnya, berkat the power of kepepet, saya deketin deh abang-abang Go-Jek minta dianterin ke Plaza Kuningan. Pake plus-plus ngebut juga karena takut banget bakalan telat. Hari pertama kerja kok udah telat sih???

Padahal kalo dihitung-hitung biayanya, naik busway pasti bakalan jauuuuh lebih murah. Cukup bayar 3.500 rupiah saja udah bisa pindah-pindah jalur selama nggak keluar halte. Sedangkan kalo naik Go-Jek/Grab bakal lebih makan biaya, yaitu 29.000 rupiah. Jauh banget kan bedanya? Itulah kenapa, saya bela-belain berangkat pagi naik busway demi menghemat uang transportasi.

Alhamdulillah, saya pun berhasil sampai kantor tanpa telat. Pas pukul 08.30. Tapi ya gitu, ngos-ngosan dulu, 30 menit kemudian baru mulai kerja. Sungguh pengalaman konyol yang tidak terlupakan. Hikmahnya adalah sebelum naik busway, pastikan sudah berada di halte yang benar dan searah ya! Jangan lupa perhitungkan estimasi waktu. Meskipun di aplikasi Trafi perjalanan tercatat 30 menit, tapi kalo kena macet ya bisa aja nyampe 45 menit bahkan sejam. Jadi, penting banget buat berangkat satu jam lebih awal. Nggak apa kepagian daripada telat.

Oya, supaya nggak bingung dengan cerita saya, berikut ini saya lampirkan rute perjalanan sama dari arah Slipi Kemanggisan–Karet Kuningan dan berlaku sebaliknya. Estimasi waktu adalah 40 menit (belum terhitung jika ada macet atau delay). Informasi ini saya ambil dari aplikasi Trafi. Kalo kepo dengan jalur lainnya, silakan download aplikasi Trafi di ponsel pintarmu!

Selain busway Transjakarta, saya juga pernah mencoba menaiki moda transportasi yang lain. Contohnya seperti Commuter Line. Waktu itu, saya lagi mau nyamperin teman saya yang kuliah di Universitas Indonesia, Depok. Seharusnya sih, saya bisa naik KRL dari Stasiun Juanda ke Stasiun Tanjung Barat. Tapi lagi-lagi karena belum tau dan sok-sokan tau, akhirnya naik KRL dari Stasiun Tanah Abang. Padahal, hmmm, tau sendiri deh Tanah Abang tuh ramenya kaya apa. Apalagi sejak PKL diperbolehkan buat berdagang lagi di situ, jadi makin semrawut!

Ongkos KRL dari Tanah Abang ke Tanjung Barat sebenernya murah banget. Cuma 3.500 rupiah doang. Tapi, yang bikin males adalah stasiunnya rame bangeeet! Begonya lagi, udah tau rame, saya kok nekat aja masuk gerbong khusus perempuan yang katanya “serem” karena sering ada insiden jambak-jambakan. Waduh! Untungnya sih, saya nggak ngalamin. Cuma harus rela desak-desakkan di pintu masuk. Gilaaaa, buibu dan emak-emak tenaganya ngalah-ngalahin kuda!

Sebagai mantan penonton Bajaj Bajuri, saya penasaran banget sama bajaj. Maklum, moda kendaraan yang satu ini cuma bisa ditemukan di Jakarta aja. Berawal dari rasa penasaran, saya pun iseng-iseng mencoba naik bajaj dari Slipi Jaya ke Kemanggisan. Kalo dalam sinetron Bajaj Bajuri, bajaj yang digambarkan itu adalah kendaraan roda tiga berwarna oranye dengan suara knalpot khasnya. Dulu, bajaj oranye ini pernah menjadi salah satu moda transportasi favorit warga Jakarta. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, transportasi ini sudah digantikan dengan kehadiran bajaj biru dengan bahan bakar gas tipe CNG atau bensin premium.

Nggak heran, dengan adanya peralihan jenis bajaj ini, bajaj oranye jadi semakin langka. Bahkan bisa saya katakan, hingga saat ini hampir semua bajaj oranye sudah tergantikan oleh kehadiran bajaj biru.

Gapapa deh. Akhirnya saya memutuskan naik bajaj biru dari Slipi Jaya ke Kemanggisan. Awalnya saya takut-takut, aman nggak ya naik bajaj, abangnya kalo nyetir ngebut nggak ya. Ternyata asyik-asyik aja tuh naik bajaj. Malahan bisa keliling jalan kampung yang nggak bisa dilewatin sama mobil. Asyiiik bangeeet!

Dari berbagai pengalaman di atas, selama di Jakarta, saya memang lebih suka ke mana-mana naik transportasi umum. Selain ongkosnya yang murah meriah, rutenya jelas, nggak perlu capek mikirin mau lewat jalan mana dan nggak bakalan kena asap bus/mikrolet yang baunya aduhai itu. Yang perlu diingat adalah bagaimana caranya untuk menghafal semua rute tersebut sekaligus mempertimbangkan estimasi waktu selama perjalanan. Ingat, ini Jakarta, perjalanan yang harusnya 5 menit aja bisa jadi 30 menit karena macet. Kalo masih nggak hafal juga, bisa kok download aplikasi mobile transportation seperti Trafi.

FYI, Trafi merupakan salah satu mitra dari Jakarta Smart City dan Transjakarta. Aplikasi ini ngasih sebanyak mungkin informasi transportasi di Jakarta secara real-time. Dengan Trafi, pengguna nggak bakal ketinggalan jadwal dan bisa milih dari sekian pilihan transportasi umum yang tersedia. Aplikasi ini udah ada versi Android dan iOSnya lho!

Selamat mencoba!

Kategori
Politik

Kita Semua Koruptor?

Kita memandang koruptor sebagai orang yang hina. Hukuman mati, memiskinkan harta, sampai penjara yang tidak boleh memiliki fasilitas yang baik menjadi tuntutan kita terhadap para koruptor yang masih didakwa maupun telah terpidana. Kita menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang dapat disandingkan dengan kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga perlu penindakan khusus terhadap pelaku korupsi.

Apa itu sebenarnya korupsi? Korupsi berarti mencuri. Lalu mengapa korupsi tidak dikenakan pasal mencuri biasa? Pada dasarnya perilaku korupsi adalah mencuri uang negara baik mengambil langsung atau melalui penyelewengan kekuasaan. Menurut KBBI, arti korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Dunia konstruksi sering dicap sebagai “lahan basah” untuk korupsi. Lahan basah berarti sangat mudah untuk mengambil keuntungan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara menyelewengkan kekuasaan. Perlu diingat, yang dimaksud dengan korupsi adalah tindakan mencuri uang negara, jadi proyek konstruksi itu pun harus yang berhubungan dengan proyek negara. Kalau proyek yang dikerjakan adalah proyek swasta, berarti ia sekadar mencuri dan menyelewengkan kekuasaan.

Kalau ternyata lahan konstruksi adalah lahan basah, lalu dari lini apa saja korupsi bisa dilakukan? Hal yang dapat dikorupsi dalam dunia konstruksi beragam, mulai dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Ada yang korupsi pengadaan, korupsi metode konstruksi, korupsi tender, dan lain-lain.

Mari kita mulai dari yang paling atas. Celah korupsi dapat terjadi pada saat proses tender. Korupsi ini berlangsung dalam proses suap menyuap antara perusahaan dan pihak pemerintah. Suap ini diperuntukkan untuk memenangkan posisi perusahaan jasa konstruksi dalam memenangkan tender, apalagi jika prosesnya berupa penunjukan langsung.

Pernah mendengar sebuah anekdot, jalan rusak itu bukan karena bus atau truk, tetapi karena mobil minibus, mobil minibus yang diberikan kepada pemerintah untuk melancarkan proses tender, sehingga nantinya spesifikasi teknis jalan akan dikurangi untuk menutupi biaya “suap” tadi.

Korupsi ini tidak berjalan sendiri, saya menyebutnya sebagai Multi Level Corruption (MLC), mengikuti analogi Multi Level Marketing (MLM). Ya benar, korupsi tidak dapat berjalan sendiri dan akan menimbulkan efek bola salju dari hulu sampai hilir. Biaya-biaya untuk korupsi tadi akan dibebankan kepada proyek itu sendiri.

Baca juga: Emisi CO2 Berkeliaran di Jalanan Jogja

Proses suap menyuap tidak hanya terjadi di level tertinggi. Di level proyek, korupsi dan suap menyuap tender dilakukan pada saat pengadaan barang. Sub-kontraktor memberikan pengurangan harga atau biaya komitmen yang akan diberikan pada manajemen tingkat menengah agar mereka memilih sub-kontraktor tersebut. Hal yang dikhawatirkan adalah sub-kontraktor tadi harus mengurangi spesifikasi demi menutup biaya komitmen untuk proses suapnya tadi, yang berimbas pada kerugian negara.

Lalu bagaimana tentang korupsi di tingkat yang paling bawah? Korupsi di tingkat paling bawah ini yang menurut saya yang paling kasihan. Korupsi yang dilakukan di tingkat bawah adalah korupsi rakyat kecil, atau biasa disebut mencuri. Apa barang yang dicuri? Korupsi pada tingkat paling bawah tidak mengenal sistem, sistem pencurian yang dilakukan adalah pencurian konvensional. Mereka mengambil barang material yang ada di proyek, lalu dijual kembali. Pencurian ini bisa dalam bentuk mengurangi spesifikasi, atau mencuri secara langsung.

Manipulasi dari pengadaan barang di lapangan bisa dilakukan dengan memberikan satuan yang tidak pasti. Contohnya saya pernah melihat Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk pembuatan jalan lokal di suatu daerah. Di sana terdapat RAB “air kerja” sebesar Rp750.000 dengan satuan unit. Awalnya saya mengira bahwa itu adalah biaya yang diberikan kepada salah satu rumah warga untuk diminta airnya. Di RAB selanjutnya “air kerja” ini dianggarkan dua unit, jadi total Rp1.500.000. Padahal panjang jalan relatif sama, jadi apakah yang dimaksud dengan “air kerja” ini?

Pada jasa konstruksi di level desa, tidak ada struktur organisasi yang rapi seperti proyek-proyek skala nasional atau provinsi, sehingga tidak ada kontrol jumlah barang yang diadakan untuk sebuah proyek. Tidak ada dokumen detail tentang perhitungan kubikasi bahan yang jelas sehingga jumlah barang yang diadakan tidak bisa dikontrol.

Pernah saya temukan di lapangan juga perbedaan yang sangat signifikan antara Standar Harga Barang dan Jasa (SHBJ) kabupaten dengan harga di lapangan. SHBJ kabupaten memberikan harga Rp80.000 per satu sak semen, sedangkan harga semen di toko bangunan saja harganya Rp62.000 saat itu. Tentu saja apabila kontraktor membeli langsung ke pabrik maka harganya akan lebih murah.

Saya kurang tahu apakah standar harga Rp.80.000 itu untuk mengakomodasi daerah tertinggal di kabupaten tersebut sehingga seluruh standar mengikuti standar yang paling tinggi. Secara legal, penyedia jasa konstruksi dapat dengan sah memberikan harga Rp.80.000 di dalam RAB sedangkan ia membeli dengan harga Rp62.000.

Mengapa saya bilang ini korupsi yang paling kasihan? Pencurian dalam bentuk barang lebih sulit untuk ditutup-tutupi. Hal yang dituduhkan jelas, barang hilang lalu dijual. Ada alat bukti yang kuat karena kehilangan barang tersebut, sehingga pada level bawah sangat mudah tertangkap. Beda dengan korupsi dalam sistem, pengurangan harga satuan susah dilacak dan dijadikan alat bukti.

Jadi, apa sih sebenarnya kerugian korupsi tadi untuk negara? Yang jelas, kerugian negara yang paling terlihat adalah kerugian secara keuangan. Semua level dari jasa konstruksi tadi memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepadanya. Hal ini diatur di dalam UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Pasal 3 dengan ancaman pidana penjara.

Kerugian selanjutnya yang dialami oleh negara adalah ketidaksesuaian harga belanja dengan spesifikasi yang didapat. Ketidaksesuaian harga belanja dengan spesifikasi ini diakibatkan oleh penurunan spesifikasi oleh pihak penyedia jasa konstruksi. Pengurangan spesifikasi ini demi mengurangi pengeluaran untuk memperkaya diri sendiri.

Baca juga: Pelikan Tak Selamanya Jawaban Untuk Difabel

Memangnya apa akibat dari kurangnya spesifikasi teknis bangunan? Ada dua kemungkinan. Pertama, akan terjadi kegagalan konstruksi. Kegagalan konstruksi adalah kegagalan pada proses konstruksi yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan metode konstruksi. Contoh dari kegagalan konstruksi adalah jatuhnya girder jembatan pada saat pemasangan.

Kedua, akan terjadi kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan adalah suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi. Jadi kalau kegagalan konstruksi terjadi pada saat konstruksi, kegagalan bangunan terjadi pada saat bangunan sudah selesai.

Pada garis besarnya, kegagalan konstruksi disebabkan oleh lalainya penyedia jasa dalam menerapkan metode konstruksi, sehingga terjadi malafungsi dari proses konstruksi tersebut. Kegagalan bangunan bisa disebabkan oleh akumulasi kegagalan konstruksi yang dibiarkan dan tidak direhabilitasi, atau terjadi kesalahan dalam penghitungan teknis oleh konsultan sehingga bangunan tidak sesuai dengan rencana layannya.

Kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan ini membuat negara mengalami kerugian. Kerugian bukan terjadi di sisi finansial, karena pihak penyedia jasa wajib mengganti segala kerusakan bangunan sesuai Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017 Pasal 63. Kerugian bisa terjadi di persoalan waktu. Pemerintah tentu saja telah menetapkan target untuk mulai menggunakan bangunan tersebut. Apabila bangunan tersebut terlambat karena kegagalan bangunan atau konstruksi, sudah pasti kerugian tersebut terakumulasi selama keterlambatan.

Mirisnya, praktik suap menyuap dan “palak memalak” tidak hanya terjadi antara penyedia jasa konstruksi dan pemerintah. Praktik korupsi ini pun terjadi pada masyarakat sekitar yang terdampak. Banyak preman-preman tidak resmi maupun preman yang berbentuk organisasi masyarakat meminta jatah kepada perusahaan jasa konstruksi dengan alasan keamanan. Uang-uang ilegal inilah yang membuat ekosistem dunia konstruksi menjadi gelap.

Jika kita membedah ulang sebuah proses korupsi di dalam sistem, maka kemudian pilihan hidup kita menjadi setidaknya dua, meninggalkan dunia konstruksi atau hanyut di dalamnya. Harus digarisbawahi, ini semua adalah perilaku oknum dan sistem yang buruk. Kita tetap bisa berkarya di dunia konstruksi asal memiliki integritas dan niat yang kuat untuk tidak tergoda.

Di dalam realita sekarang, Lembaga Permasyarakatan Sukamiskin menjadi tempat bermukim para koruptor. Padahal, kalau kita mau berpikir secara keseluruhan, mungkin di dalam atau luar Lapas Sukamiskin sebenarnya sama saja. Karena pada akhirnya, kita semua adalah koruptor?

Kategori
Infrastruktur

Pelikan Tak Selamanya Jawaban Untuk Difabel

Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Palmerah, Jakarta
Foto: @pakwali

Mengganti penyeberangan pejalan kaki tidak sebidang seperti Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) dengan penyeberangan pejalan kaki sebidang seperti penyeberangan pelikan tak harus menjadi jawaban atas komplain dari para difabel. Untuk kasus kota besar, pengubahan fasilitas penyeberangan dari tidak sebidang menjadi sebidang butuh kajian yang lebih dalam. Untuk kasus kota besar dengan volume lalu-lintas yang tinggi, saya sangat tidak setuju dengan penyeberangan pelikan.

Pada ilmu transportasi yang saya pelajari, terdapat parameter-parameter yang menentukan jenis penyeberangan apa yang akan kita pilih, sebidang maupun tidak sebidang. Parameter-parameter ini antara lain jumlah lalu lintas kendaraan, jumlah pejalan kaki yang menyeberang, serta ketersediaan lahan. Penyeberangan pelikan menggunakan zebra cross sebagai marka untuk menyeberang. Karena penyeberangan pelikan terdapat di tengah ruas jalan, maka dari itu penyeberangan pelikan dibantu menggunakan Alat Isyarat Pengatur Lalu Lintas (APILL) khusus menyeberang.

Cara kerja APILL ini adalah jika pejalan kaki ingin menyeberang, maka pejalan kaki menekan tombol agar lampu menyesuaikan menjadi hijau untuk pejalan kaki. Permasalahannya, jika jumlah penyeberang jalan tidak banyak, serta tingkat lalu lintas tinggi, maka tentu saja fasilitas penyeberangan jalan ini akan mengganggu lalu lintas.

Pernahkah kalian sedang berkendara menggunakan mobil, tiba-tiba terjadi kemacetan dan ternyata kemacetan tersebut berasal dari penyeberangan pelikan? Ternyata yang menyeberang jalan hanya sedikit orang namun dengan frekuensi yang tinggi? Itulah akibat salah memperhitungkan perbandingan antara pejalan kaki yang menyeberang dengan volume lalu lintas.

Peraturan tentang penentuan fasilitas pejalan kaki diatur dalam Direktorat Bina Marga “Tata Cara Perancangan Fasilitas Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan”. Pada peraturan tersebut dijelaskan kriteria-kriteria untuk menentukan pemilihan jenis penyebrangan pejalan kaki sebagai berikut.

PV²
Volume Penyebrangan (P) (Orang/jam)
Volume Kendaraan (V) (Kendaraan/jam)
Tipe Fasilitas
>10⁸
50-1100
300-500
Zebra Cross (ZC)
>2×10⁸
50-1100
400-750
ZC dengan pelindung
>10⁸
50-1100
>500
Pelikan
>10⁸
>1100
>300
Pelikan
>2×10⁸
50-1100
>750
Pelikan dengan pelindung
>2×10⁸
>1100
>400
Pelikan dengan pelindung
>2×10⁸
>1100
>750
Jembatan Penyebrangan

Pada data tersebut, dapat dilihat bahwa apabila volume lalu lintas dan volume pejalan kaki sangat tinggi dan melewati PV² lebih dari 2×10⁸ maka jenis penyebrangan yang cocok adalah jembatan penyeberangan. Mengapa jembatan penyeberangan bukan pelikan dengan pelindung? Pada kota besar kapasitas jalan terbilang tinggi terutama di jalan protokol sehingga saya lebih memilih jembatan penyeberangan.

Faktor lain yang mendukung pilihan jembatan penyeberangan adalah karakteristik dari pejalan kaki dan pengemudi kendaraan bermotor. Juniardi (2010) mengemukakan bahwa perilaku pengemudi yang diamati dalam hubungannya dengan penyeberang jalan adalah kecepatan pengemudi pada saat melewati fasilitas penyeberangan. Perilaku pengemudi diamati dengan mendapatkan kecepatan pengemudi pada saat penyeberang berada ditepi jalan (kerb) yaitu saat akan menyeberang serta pada saat penyeberang sedang ditengah (sedang menyeberang).

Hasil dari pengamatan inilah yang mendukung pemilihan jenis penyebrangan. Pada kota besar pengemudi banyak yang tidak patuh dan menghormati pejalan kaki yang ingin menyebrang sehingga dapat membahayakan pejalan kaki. Maka dari itu, pemilihan jembatan penyeberangan menjadi lebih diprioritaskan.

Lalu bagaimana dengan difabel? Bukankah JPO akan menjadi neraka bagi mereka yang berkebutuhan khusus (penyandang cacat, ibu hamil, lansia)? Sudah banyak JPO yang terdapat lift untuk mengakomodasi orang-orang yang berkebutuhan khusus. Jadi difabel dapat menyeberangi JPO tanpa harus bersusah payah naik.

Dengan karakteristik pengendara kendaraan bermotor yang sembarangan, penyeberangan sebidang malah lebih berbahaya. Difabel memiliki kebutuhan khusus untuk menyeberang yaitu cenderung lebih lama dan butuh fasilitas tambahan. Bayangkan saja jika ada difabel yang ingin menyeberang di saat lalu lintas padat, selain bahaya untuk orang itu sendiri, lalu lintas pun akan terganggu.

Tetapi bukankan lift pada JPO itu mahal? Apabila semua JPO dipasang lift bukankah pemborosan? Difabel mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan aksesibilitas yang memudahkan mereka. Pembuatan lift merupakan amanat dari undang-undang untuk kemudahan aksesibilitas difabel.

Surabaya mampu mempunyai JPO yang dilengkapi dengan lift dan pembangunan fasilitas tersebut dikerjakan dan dibiayai oleh swasta sebagai kompensasi pemberian izin. Lagi pula, tidak semua tempat memerlukan JPO, apabila di ruas jalan tersebut tidak ramai dan memenuhi kriteria, maka zebra cross maupun penyebrangan pelikan menjadi pilihan yang lebih tepat.

Menyediakan fasilitas untuk difabel memang rumit. Terkadang kita terkotak-kotak dalam berfikir untuk menyelesaikan masalah. Pejalan kaki harus dihormati sama dengan kita menghormati pengendara kendaraan bermotor. Apabila ada alternatif lain untuk memberi akses pada difabel dengan JPO yang dilengkapi dengan lift, kenapa harus memaksakan penyeberangan sebidang?
M. Ali Akbar
Pijak ID
Kategori
Infrastruktur

Hati-Hati Kecanduan Jalan Tol

Foto oleh Fatur (pijak.id)

Mudik merupakan tradisi tahunan warga Indonesia. Setelah sekian lama mengadu nasib di tanah rantau, mudik menjadi pelepas rasa rindu terhadap keluarga dan kampung halaman. Lebaran menjadi momen yang tepat untuk mudik. Kabar baiknya, pemerintah telah membuka banyak jalan tol baru untuk lebaran kali ini. Namun, apakah adanya jalan tol tersebut selalu berdampak positif?

Secara kasat mata, kita melihat dengan dibukanya jalan tol baru, maka waktu tempuh menuju tujuan menjadi lebih singkat. Contohnya, dengan adanya Jalan tol Solo-Kertosono, waktu tempuh Semarang-Solo yang normalnya menghabiskan 3-4 jam diklaim dapat ditempuh dalam 1 jam. Selain itu, dengan adanya jalan tol baru, perpindahan logistik menjadi semakin cepat. Harga-harga barang kemudian bisa lebih murah dan secara luas dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi di balik itu semua, pembangunan jalan tol juga memiliki dampak negatif yang tidak sedikit.

Menurut laporan Kesiapan Operasi Angkutan Lebaran 2017 yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), jumlah pemudik tahun 2017 mencapai 27,7 juta jiwa. Angka ini naik 7,4 persen dari tahun sebelumnya. Pemudik dengan kendaraan pribadi bahkan melonjak sebesar 14 persen, yakni dari 7,64 juta ke 8,71 juta jiwa. Adapun untuk tahun ini, diprediksi jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi mencapai 12,24 juta orang. Hal ini perlu mendapat perhatian. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang tidak terkontrol dapat membuat jalanan menjadi macet. Kerugian akibat kemacetan sendiri sudah banyak diteliti. Di Jakarta misal, “harga” kemacetan mencapai 150 triliun rupiah setahun. “Harga” tersebut terdiri dari biaya sosial, biaya BBM, biaya kesehatan akibat polusi, dan banyak biaya-biaya lain yang sulit untuk diukur secara langsung.

Baca juga: Layakkah Strategi Pembiayaan Infrastruktur Era Jokowi?

Lalu yang menjadi pertanyaan, apa hubungan pembangunan jalan tol baru dengan kemacetan? Bukankah dengan bertambahnya jalan baru dapat mengurai kemacetan? Pertama-tama yang perlu kita ketahui adalah penambahan jalan baru untuk mengurai kemacetan merupakan konsep jadul. Hal ini didasari pada teori ekonomi tentang permintaan dan penawaran. Meningkatnya penawaran (kapasitas jalan) juga akan mengakibatkan meningkatnya permintaan (jumlah kendaraan dalam lalu lintas). Beberapa studi menyatakan terdapat hubungan 1:1 antara keduanya. Artinya, bertambahnya kapasitas jalan sebesar 10 persen juga akan mengakibatkan bertambahnya jumlah kendaraan yang melintas sebesar 10 persen.

Kenaikan jumlah kendaraan ini dapat dijelaskan dengan konsep biaya umum (generalized cost). Biaya umum adalah total biaya gabungan yang dikeluarkan ketika melakukan perjalanan. Jadi misal ada satu keluarga yang terdiri dari empat orang ingin mudik dari Jakarta ke Jogja, mereka akan dihadapkan dengan beberapa pilihan: naik mobil pribadi, naik kereta, atau naik pesawat. Jika naik mobil, mereka akan mengeluarkan biaya untuk membeli BBM, makan di warung, hingga membayar parkir, dengan waktu tempuh yang relatif lama. Lain jika mereka naik pesawat, maka mereka hanya akan mengeluarkan biaya untuk membeli tiket dan biaya untuk menuju ke bandara. Waktu tempuh perjalanan pun lebih singkat. Mereka memutuskan moda apa yang akan dinaiki berdasarkan biaya umum yang menurut mereka paling murah. Nah, dengan pembangunan jalan tol ini, masyarakat semakin dimanja untuk menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum yang memiliki kapasitas penumpang lebih besar.

Indonesia sendiri adalah negara yang unik. Negara kita terdiri dari banyak pulau dan dibelah oleh banyak sungai. Pengembangan transportasi air menjadi hal yang wajib dilakukan. Kita ambil contoh di Kalimantan. Banyak sungai menyusuri pulau tersebut. Jenis tanah di sana kebanyakan merupakan tanah gambut yang kurang baik dalam mendukung struktur di atasnya. Pengembangan transportasi penyeberangan tentu akan lebih efektif daripada jalan tol yang akan menelan biaya yang sangat besar bila dibangun.

Tentunya pembangunan jalan tetap perlu diperlukan, namun pemerintah tidak boleh hanya bertumpu pada jalan tol. Masih banyak alternatif transportasi lain yang dapat dikembangkan, seperti transportasi penyeberangan. Angkutan penyeberangan jarak jauh seperti jalur Jakarta-Surabaya yang sudah dimulai perlu dikembangkan lebih cepat. Termasuk di gugus pulau lainnya. Sebab transportasi laut lebih minim polusi, biaya perawatan lebih sedikit, dan tentunya riwayat kecelakaannya lebih rendah daripada jalan tol. 

Baca juga: Tidak Ada Bulan Puasa di Pelabuhan Jangkar

Pembangunan transportasi umum yang baik juga harus terus dikerjakan. Agar transportasi umum diminati masyarakat, pemerintah dapat membuat generalized cost untuk transportasi umum lebih murah, bisa dengan membatasi kepemilikan kendaraan bermotor, meningkatkan pajak, menentukan tarif untuk ojek daring, dan subsidi untuk kendaraan umum. Jangan biarkan kecanduan jalan tol ini terus-terusan menjangkiti pemerintah.

Referensi:

https://www.otosia.com/berita/tol-solo-kertosono-segera-rampung-waktu-tempuh-surabaya-solo-terpangkas.html

https://kumparan.com/@kumparannews/27-7-juta-pemudik-lebaran-2017

https://www.antaranews.com/berita/557157/harga-kemacetan-jakarta-rp150-triliun-setahun

https://www.wired.com/2014/06/wuwt-traffic-induced-demand/

Iqbal Ramadhan
Kategori
Infrastruktur

Park & Ride atau Menambah Jaringan Jalan, Mending yang Mana Ya?

Kumpul Rebo edisi Ngaji Tramsportasi #2
Volume kendaraan D.I. Yogyakarta semakin meningkat terutama di Kota Yogyakarta dan Sleman yang menjadi pusat keramaian dengan banyaknya kampus, tempat perdagangan, industri dan perhotelan. Pertambahan volume kendaraan itu menyebabkan jalanan di Kota Yogyakarta dan sekitarnya semakin padat, bahkan beberapa diantaranya sudah terlampaui kapasitasnya (pada jam tertentu). Dalam acara Seminar Nasional yang diadakan oleh Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) dengan tema “Problematika Lalu Lintas di Wilayah Yogyakarta Utara” di Departeman Teknik Sipil dan Lingkungan UGM (14/5/2018), Kementrian PUPR Satker Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional DIY menawarkan beberapa solusi untuk menanggulangi padatnya lalu lintas di daerah utara DIY. Solusi jangka pendek yang akan dilakukan adalah pembangunan simpang tak sebidang di daerah Kentungan dan Gejayan, yakni simpang  Jl. Ring Road Utara-Jl. Kaliurang yang akan dimulai pengerjaannya di akhir tahun 2018 dan Jl. Ring Road Utara-Jl. Gejayan di tahun 2020. Pembangunan tersebut dimaksudkan untuk memprioritaskan jalan arteri ring road utama sehingga dapat bebas hambatan dan menghilangkan antrian kendaraan disepanjang Jl. Kaliurang dan Jl. Gejayan.
Sedangkan solusi jangka panjang yang ditawarkan adalah pembangunan Jogjakarta Outer Ring Road (JORR)  sepanjang 113,413 Km dengan detail sebagai berikut:
·         Kabupaten Sleman 65,933 Km (Sisi Utara)
           Sentolo – Minggir                             : 16,459 Km
           Minggir – Tempel                             : 14,217 Km
           Tempel – Kalasan                             : 35,257 Km
·         Kabupaten Bantul 47,48 Km (Sisi Selatan)
           Sentolo – Imogiri                              : 22,00 Km
           Imogiri – Piyungan                           : 16,325 Km
           Piyungan – Kalasan                          : 9,155 Km
            Beberapa hal yang melatarbelakangi dilakukannya perencanaan dan studi kelayakan JORR antara lain:
a)       Mengurangi kepadatan lalulintas di perkotaan dan memperlancar arus lalulintas antar kota,
b)      Merangsang pertumbuhan pusat-pusat aktivitas baru (Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman),
c)       Jalur cepat bagi transportasi menerus yang tidak berkepentingan dengan Kota Yogyakarta,
d)      Meningkatkan kapasitas jalan, kelas jalan dan perbaikan geometrik jalan.
Tentunya, solusi jangka panjang yang ditawarkan itu menimbulkan beberapa keberatan. Pertama, dengan adanya jalan baru, ditakutkan akan semakin memberikan dorongan kepada masyarakat untuk membeli kendaraan pribadi. Kemudahan akses kendaraan pribadi akibat jalan baru tersebut akan semakin menjauhkan masyarakat untuk menggunakan angkutan umum. Keadaan ini diperparah dengan tidak adanya trayek angkutan umum yang tersedia di daerah-daerah rencana pembangunan JORR tersebut. Jadi semakin diragukan, apakah pembangunan jalan tersebut akan signifikan menanggulangi kemacetan, atau malah memunculkan titik kemacetan baru di sepanjang jalan JORR.

            Kedua, pembangunan JORR tersebut semakin mengindikasikan bahwa kebijakan pembangunan di sektor transportasi  terlalu condong kepada strategi insentive, dimana biaya kontruksi hanya berasal dari suntikan APBN/APBD tanpa ada pemasukan dari operasional infrastruktur tersebut. Padahal untuk mewujudkan pembangunan transportasi berkelanjutan harus dilakukan langkah strategi disinsentive, yang memungkinkan adanya semacam subsidi silang untuk menjalankan sistem transportasi massal. Diagnosis permasalahan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Diagnosis permasalahan kemacetan
Strategi insentive dan disinsentive
Mengembangkan Park & Ride

Pada Paparan Dinas Perhubungan DIY dalam Forum SKPD Musrenbang tanggal 23 Maret 2016 juga dijelaskan beberapa alternatif strategi lain untuk menanggulangi kemacetan DIY, termasuk berbagai rencana yang akan disiapkan sebagai langkah menyambut pembangunan Bandara NYIA. Salah satu strategi yang menarik untuk dibahas adalah rencana pengembangan park and ride. Seperti yang ditunjukan pada gambar di bawah ini.

Rencana pengembangan park and ride
               Rencana ini akan berhasil hanya jika pembangunan transportasi massal sudah tersedia di dalam perkotaan Yogyakarta. Maka dari itu dalam paparan presentasi Dinas Perhubungan tersebut juga ditunjukan beberapa rencana pengembangan transportasi massal, diantaranya adalah Kereta Api Perkotaan DIY, Kereta Bandara dan Pengembangan Angkutan Feeder lengkap disertai konsep makro trayek angkutan umum DIY.

Rencana pengembangan kereta api perkotaan DIY
Pentahapan kereta api perkotaan Yogyakarta
Konektivitas kereta regional, perkotaan, dan bandara di DIY
Konsep makro angkutan umum DIY
Rencana pengembangan angkutan feeder
            Berbagai rencana pengembangan pembangunan transportasi massal dan park & ridetersebut tentunya harus disertai penerapan strategi disinsentive agar tidak terlalu membebani APBN/APBD yang sangat terbatas. Peluang masyarakat untuk menerima strategi disinsentive (pembebanan biaya kepada pemilik kendaraan pribadi) ini akan semakin besar jika fasilitas transportasi massal dapat disediakan. Dan diharapkan sebagian besar masyarakat akan segera beralih menuju transportasi massal jika pembangunannya sudah terselesaikan.
Dari berbagai solusi dan rencana pembangunan tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan yang layak dijawab dan dipaparkan untuk khalayak umum. Seperti pertanyaan, solusi mana yang sebaiknya diterapkan untuk mengatasi kemacetan Yogyakarta? Apakah dengan cara menambah jaringan jalan seperti halnya pengembangan JORR, ataukah dengan mengembangkan park and ride disertai pembangunan sistem transportasi massal yang tentunya akan membutuhkan biaya yang mahal. Atau bahkan menjalankan semuanya. Kalau ingin menjalankan keduanya, lalu bagaimana dengan prioritas pembangunan dan skema pembiayaannya? Mengingat dana belanja pemerintah untuk sektor infrastruktur ini sangat terbatas dan tidak hanya Yogyakarta saja yang berhak menikmati.
Berbagai masalah ini akan didiskusikan di acara Ngaji Transportasi yang diselenggarakan oleh Pijak ID dan Pemuda Tata Ruang (Petarung) dan didukung oleh Innovative Academy UGM. Solusi-solusi yang sudah ada juga akan didiskusikan bersama tentang kelayakan dan keefektifannya. Setelah itu, langkah konkret yang bisa dilakukan oleh masing-masing aktor transportasi (pemerintah, swasta, dan masyarakat) juga perlu dirumuskan. Semua demi transportasi kita bersama yang lebih baik dan hidup kita yang lebih bahagia.
Untuk detail acara diskusi ini, dapat dilihat di poster berikut.
Desain oleh Ridwan AN
Ridwan AN
PijakID