Kategori
Beranda

Perjalanan Udara ke Sumenep dan Kisah-kisah yang Tercecer

Foto:  Josh

Anak kecil di sampingku berteriak sambil mengayunkan kedua tangannya di atas kepalanya bersamaan dengan roda pesawat yang meninggalkan landas pacu Bandar Udara Juanda. Anak kecil itu sepupuku. Ia baru berada di jenjang kelas 1 SD. Aku sendiri kaget setan kecil itu tiba-tiba berteriak. Aku periksa sabuk pengamannya, masih terpasang. Setan bedebah, ia ternyata berteriak sambil memasang wajah semringah.

Dua kursi di depanku tapi di banjar yang lain, seorang dewasa menoleh ke belakang, tepatnya ke kursiku, saat pesawat baling-baling itu belumlah mencapai posisi stabil. Anak setan di sampingku juga masih berteriak. Dari sorot matanya, aku merasa seorang dewasa itu memendam rasa kesal dan olok-olok. Di bundaran hitam matanya, aku dan sepupuku bagaikan makhluk norak yang baru kali pertama naik pesawat. Awalnya aku merasa hina ditatap olehnya. Namun melihat sepupuku masih riang tak terkira – bangsat kau setan kecil! – aku akhirnya senyum-senyum juga.

Setelah puas cengengesan, aku sadar bahwa seperti orang dewasa itulah aku beberapa tahun belakangan. Setiap kali pulang ke Madura dan melihat tingkah orang-orangnya yang menggelikan saat menghadapi perubahan atau teknologi baru, aku mencibir. Setelah aku pikir-pikir lagi di dalam pesawat, ternyata bukan tingkah mereka yang menggelikan, tapi kesombongan diriku yang memuakkan.

Pesawat rute Surabaya-Sumenep ini bisa dibilang baru. Terhitung mulai 27 September 2017, rute ini setiap hari dilayani oleh Wings Air yang berkapasitas 70 orang. Pesawat kecil ini langsung mengambil jalan pulang pergi: pukul 12:45 WIB terbang dari Juanda dan 14:20 WIB sudah ongkang-ongkang sayap di bandara yang sama. Perjalanan tiap hari ini menandakan dimulainya layanan komersial pertama di Bandara Trunojoyo, Sumenep. Sayang, saat itu penumpang yang ikut terbang bersama diriku hanya dua puluhan orang.

Baca juga: Mending Mana, Park and Ride atau Menambah Jalan?

Sebelumnya, bandara ini baru beroperasi sebagai bandara perintis di tahun 2015, dengan dua rute, yaitu ke Jember dan Surabaya. Susi Air melayani rute ini dengan pesawat yang hanya berkapasitas 12 orang. Rute Sumenep-Jember dan sebaliknya satu kali seminggu serta Sumenep-Surabaya dan sebaliknya dua kali seminggu. Sayangnya, karena minim jumlah penumpang, penerbangan ke Jember dihentikan di tahun 2016.

Tidak biasanya aku menempuh jalur udara ke Sumenep. Jalur bus yang sering menjadi pilihan terutama karena biayanya yang murah. Hari itu aku, nyannya (tante), om, dan dua anak mereka harus bergegas pulang karena minimal sore hari harus berada di rumah. Jenazah kakek yang sudah meninggal sehari sebelumnya belum juga dimakamkan, menunggu kedatangan kami berlima. Akhirnya pesawat jadi pilihan, dengan harapan perjalanan menjadi semakin singkat.

Setelah terbang selama tiga menit, pesawat berada di atas selat Madura. Dari posisi ini aku bisa melihat jembatan Suramadu yang tampak mungil dan daratan Bangkalan, kabupaten yang paling dekat dengan Surabaya. Sebentar saja aku dibuat kaget oleh pemandangan di daratan Bangkalan yang dekat selat. Aku bagai melihat lahan tambang kapur yang begitu luas dengan selimut warna putih keabu-abuan. Sejenak kemudian aku sadar, itu tambak garam. Dalam hati aku hanya berharap tambak-tambak itu tidak lagi dikotori ampas makanan manusia. Sebab dulu aku tiap hari melakukannya di tambak garam di Sampang ketika mengunjungi kerabat yang tinggal di sana. Aku bahkan jongkok di tepian tambak itu saat siang sedang terik.

Kami mendarat di Bandara Trunojoyo pukul 13.20 WIB. Sejenak keadaan menggelitik hati. Masih ada rasa tidak percaya, sekarang bisa secepat ini memindahkan badan dari Surabaya ke Sumenep. Karena sebelumnya kita harus menumpang bus selama empat jam. Belum lagi kalau uang terbatas sehingga terpaksa naik bus yang kotor, bau, dan sesak. Dengan bantuan burung besi, ada harapan kami bisa sampai di rumah lebih cepat. Terima kasih Jokowi, tim Jokowi, dan Tuhan, yang telah mewujudkan akses yang lebih cepat ke wilayah ini. Perlu menunggu 72 tahun setelah merdeka untuk membuat bandara komersial di kabupaten yang bahkan sama sekali tidak terletak di pinggiran negara ini.

Angkot kosong yang sudah aku pesan ketika masih di Surabaya telah menunggu di parkir bandara. Kami berlima langsung naik ke angkot. Sopir angkot pun langsung memacu kendaraannya. Kami menuju pelabuhan Dungkek yang terletak agak di utara. Butuh setengah jam perjalanan darat ke sana, sehingga kami sampai di pelabuhan itu pukul 14:00 WIB.

Selama perjalanan di angkot, tanteku sempat berandai-andai. Andai dibangun jembatan antara Pulau Madura dan Pulau Sapudi. Kami bisa lebih cepat lagi sampai di rumah. Menurutnya, tidak susah membangun jembatan itu. Dananya kan ada. Menurutnya, cukup alokasikan semua dana desa di Sapudi untuk membiayai pembangunan jembatan. Toh, jembatan itu untuk kepentingan orang-orang Sapudi juga.

Masalahnya, aku menanggapi angan-angan tanteku, jembatan itu akan melewati perairan yang butuh tiga sampai empat jam perjalanan laut. Sedangkan laut di bawah Jembatan Suramadu saja hanya butuh satu jam perjalanan kapal untuk melintasinya. Berarti biayanya akan beberapa kali lipat lebih besar daripada Suramadu. Dan, berapa orang saja yang akan dilayani?

Tentu saja tanggapanku terlalu serius untuk ide tanteku yang hanya berupa angan-angan yang muncul dari perjalanan yang tergesa-gesa. Tentu saja tanteku bercanda. Tapi aku pikir angan-angan itu diakibatkan oleh permasalahan yang serius. Mengapa orang-orang kepulauan kini juga keranjingan memimpikan jembatan yang menghubungkan pulau? Mengapa orang kepulauan sendiri kini lupa bahwa kapal dan perahu bisa dijadikan andalan penyeberangan? Sebab, tidak hanya tanteku saja, belakangan kerap aku dengar angan-angan serupa.

Baca juga: Kenapa Pembangunan Infrastruktur Diperlukan?

Aku menduga, angan-angan ini muncul dari rasa muak yang menerpa orang-orang kepulauan selama ini. Apa yang akan kau pikirkan saat melihat ibumu mati di tengah laut karena terlambat mencapai daratan di seberang? Kau harus membawa ibumu ke daratan itu karena di pulau yang kau huni, tenaga dan perkakas medisnya tidak memadai. Cerita tentang kematian seseorang di tengah lautan semacam ini kerap menjadi perbincangan di Pulau Sapudi. Kembali ke pertanyaan tadi, apa yang akan kau pikirkan? Mungkin mengumpat, mungkin juga mengelus-elus dada agar bersabar. Tapi mungkin juga terpikirkan pertanyaan, kenapa tidak ada jembatan yang nangkring di perairan ini? Kenapa puskesmas di dekat rumah begitu menyedihkan?

Setahun yang lalu, aku asik menonton tetanggaku di Sapudi sedang membuat rangka perahu. Panjangnya kira-kira tujuh meter dan lebarnya dua meter. Nantinya, rangka perahu ini dijadikan cetakan adonan fiber. Bahan ini dipilih agar nantinya perahu ringan, sampai-sampai bisa digotong oleh hanya satu orang. Perahu seringan ini tentu akan melaju kencang apalagi jika menggunakan mesin bertenaga tinggi.

Perancang perahu ini bukanlah lulusan perguruan tinggi. Ia hanya lulusan SMP. Ia dibantu temannya yang sehari-hari mengurusi bengkel di dekat rumah dan tower sinyal operator. Ia sempat berkelakar, perahu ini akan sangat berguna di saat-saat darurat. Misalnya, seperti kami yang diburu waktu untuk mengejar pemakaman. Selain itu, untuk membawa orang sakit yang butuh penanganan khusus di pulau seberang. Lagi-lagi ini sebuah angan-angan, yang muncul dari seseorang yang pernah merantau ke Batam. Ternyata, ia mempelajari cara pembuatan perahu semacam itu di perantauan.

Tidak hanya keadaan darurat semacam ini yang menjadi permasalahan transportasi kepulauan. Ketika waktu-waktu tertentu, arus mudik lebaran misalnya, layanan kapal feri tetap mengandalkan satu kapal mungil untuk melayani penumpang di pelabuhan Kalianget Sumenep, Pulau Sapudi, Pulau Raas, dan Pelabuhan Jangkar Situbondo sekaligus. Hanya satu kapal! Seperti hari-hari biasa. Penumpang jadi berdesak-desakan. Jadwal berubah-ubah karena menyesuaikan jumlah penumpang. Dan, yang menyedihkan, kapal naas itu jadi makin sering rusak.

Dua kondisi ini sudah cukup membuat angan-angan orang kepulauan, seperti tanteku, menanggalkan harapan kepada kapal atau perahu yang menyiksa dan beralih ke jembatan. Angan-angan itu, dari pemantauanku, semakin kuat. Pengurus negara maritim ini hendaknya mulai mengambil langkah untuk menyelamatkan pelayaran kepulauan. Sebab teror pola pikir lebih menyakitkan.

Dalam debat publik calon gubernur Jawa Timur awal Mei lalu, kedua pasangan calon saling menawarkan janji untuk membenahi dan memajukan transportasi laut di kepulauan Sumenep. Cerita dariku ini mungkin bisa menjadi sedikit sumbangan pemikiran apabila janji itu memang serius.

Sebab, bagi orang-orang kepulauan Sumenep, layanan penerbangan Surabaya-Sumenep tak banyak membantu apabila transportasi laut masih nggak keruan.

Dandy IM
PijakID
Kategori
Beranda

Angkudes dan Bus Kota Sekarat! Selametin Nggak Ya…?

Bus Kota Jogja yang Makin Sekarat
Foto: Jogja Wisata Hitz
Tribun Jogja edisi 23 April 2018 melaporkan sekaratnya angkutan desa (Angkudes) Jogja di halaman pertamanya. Laporan itu bahkan diberi judul Angkudes Cuma Bawa Satu Penumpang.

Untuk mengetahui seberapa sekarat Angkudes di Jogja, ada dua parameter yang bisa dibandingkan untuk jangka waktu tertentu, yaitu jumlah armada dan trayek. Untuk daerah Sleman, awalnya ada 289 armada Angkudes. Namun, kini yang tersisa hanya 111 armada. Dari jumlah ini pun, yang beroperasi hanya 41 armada. Dengan berkurangnya armada yang signifikan bahkan lebih dari setengahnya ini, jumlah trayek di Sleman pun berkurang. Dari semula 16 rute trayek, kini tersisa 9 trayek. Bahkan yang benar-benar aktif pun hanya 7 trayek.
Di Kabupaten Bantul juga terjadi hal serupa. Pada 2012, masih ada 37 Angkudes yang beroperasi. Sejumlah armada ini melayani trayek berikut (data Dinas Perhubungan Bantul):

1. Pasar Bantul – Pasar Imogiri, dilayani 10 armada.

2. Pasar Bantul – Tugu Genthong, dilayani 3 armada.

3. Pasar Bantul – Pundong.

4. Pasar Bantul – Kretek.

5. Pasar Imogiri – Dlingo (lewat Munthuk).

6. Pasar Imogiri – Dlingo (lewat Seropan), dilayani 4 armada.

7. Pasar Bantul – Pleret.

8. Pasar Bantul – Krebet.

9. Dlingo – Rejoinangun, dilayani 16 armada.

10. Pajangan – Bantul – Pajangan, dilayani 4 armada.

Kini, tahun 2018, jumlah tersebut menurun drastis. Hanya tersisa 17 armada dengan trayek sebagai berikut:

1. Pasar Imogiri – Pencil – Seropan – Dlingo, dilayani 4 armada PP.

2. Pasar Bantul – Pasar Niten – Kasongan – Karangjati – Bangunjiwo – Sribitan – Tugu Genthong, , hanya dilayani 3 armada PP.

3. Pasar Bantul – Gose – RSUD Panembahan Senopati – Manding – Jetis – Barongan – Imogiri, dilayani 10 armada PP.

Kemudian, berdasarkan data Dishub Kulonprogo yang dikutip Tribun Jogja, jumlah Angkudes yang tersisi di Kabupaten Kulonprogo hanyalah sekitar 50-an armada. Jumlah ini berkurang lebih dari 50 persen, karena sebelumnya jumlah armada mencapai ratusan. Jumlah trayeknya pun berkurang sampai 60 persen, yaitu dari 33 trayek menjadi hanya 13 trayek aktif yang tersisa.

Menanggapi isu ini, Guru Besar Transportasi Teknik Sipil UGM, Sigit Priyanto menyatakan bahwa pemerintah daerah harus memberi subsidi untuk Angkudes. Pasalnya, kebijakan untuk Angkudes tidak bisa diperdiksi berdasarkan demand atau kebutuhannya. Sebab, fungsi Angkudes sebetulnya adalah mengembangkan ekonomi daerah dengan membuka akses ke daerah yang terisolir. Kebijakan pemerintah melepas pengusaha Angkudes mencari pemasukan hanya dari tarif penumpang adalah langkah yang tak bijak.

Pemberian subsidi kepada Angkudes, menurut Sigit, bukannya tidak mendatangkan manfaat. Sigit menyebut hidupnya Angkudes akan menghidupkan perekonomian suatu daerah dan wilayah tersebut akan maju. Proyek-proyek perumahan akan tumbuh di wilayah yang dilalui Angkudes. Hal ini akan berdampak pada naiknya harga tanah dan Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang ujung-ujungnya meningkatkan pendapatan daerah.

Organisasi Angkutan Darat (Organda) mengusulkan Angkudes diberdayakan menjadi angkutan di lajur wisata setiap daerah/kabupaten. Angkudes diharapkan dapat mengambil peran di jalur-jalur wisata yang medannya sulit dan kerap terjadi kecelakaan. Misalnya, wisata daerah Menoreh Kulon Progo dan Gunung Kidul. Namun, ide ini perlu dukungan dari pemerintah dengan kebijakannya, misal bus besar pariwisata diatur tidak perlu naik ke lokasi wisata, tapi hanya sampai area parkir saja. Selanjutnya, wisatawan atau rombongan melanjutkan perjalanan menggunakan Angkudes.

Kondisi bus kota pun tidak kalah menyedihkannya. Jumlah armada yang semula sekitar 590, pada tahun 2015 hanya tersisa sekitar 190-an. Mungkin tahun ini jumlahnya lebih sedikit lagi.

Beberapa kalangan menilai, nyaris matinya Angkudes dan bus kota disebabkan oleh kemudahan masyarakat mendapatkan kendaraan pribadi. Kemudahan akses kendaraan pribadi di jalan juga menambah pemicu rendahnya minat masyarakat naik angkutan umum. Jumlah angkutan pribadi pun membeludak.

Sebetulnya, Dishub DIY sudah punya konsep makro angkutan umum di D.I. Yogyakarta. Dalam konsep tersebut telah dicantumkan peran Angkudes dan Bus Kota atau Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP). Konsep tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut.

Konsep Dasar Transportasi Umum DIY
Sumber: Dishub DIY
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa Angkudes punya peran sebagai pengumpul penumpang di kawasan pedesaan. Angkudes juga direncanakan dapat menjadi penghubung di daerah-daerah yang tidak bersinggungan dengan trayek angkutan perkotaan.

Sementara itu, AKDP difungsikan sebagai angkutan pengumpan (feeder). Ia sebagai penghubung penumpang yang sudah dikumpulkan Angkudes di titik-titik kumpul dengan daerah kota. Selanjutnya, setelah penumpang masuk daerah kota, ada Trans Jogja yang siap melayaninya.

Lebih jauh, Dishub DIY sudah merencanakan secara detail rencana pengembangan angkutan feeder. Trayek yang awalnya sebanyak 40 akan dilebur menjadi hanya 12 trayek saja. Sistemnya juga diharapkan terintegrasi dengan menerapkan konsep buy the service. Detail rencana tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut.

Rencana Pengembangan Angkutan Feeder
Sumber: Dishub DIY
Maksud dari sistem buy the service ialah pemerintah menggandeng pihak swasta untuk memberikan pelayanan angkutan massal. Pemerintah membeli pelayanan yang disediakan oleh pihak swasta tersebut. Pembelian dilakukan dengan menghitung biaya pokok yang akan menghasilkan nilai rupiah per kilometer. Pihak swasta akan dibayar tetap berdasarkan perhitungan tersebut. Sistem ini disebut efektif untuk mengganti sistem setoran yang sudah lama menjerat aturan main angkutan massal.

Berbagai masalah ini akan didiskusikan di acara Ngaji Transportasi yang diselenggarakan oleh Pijak ID dan Pemuda Tata Ruang (Petarung) dan didukung oleh Innovative Academy UGM. Solusi-solusi yang sudah ada juga akan didiskusikan bersama tentang kelayakan dan keefektifannya. Setelah itu, langkah konkret yang bisa dilakukan oleh masing-masing aktor transportasi (pemerintah, swasta, dan masyarakat) juga perlu dirumuskan. Semua demi transportasi kita bersama yang lebih baik dan hidup kita yang lebih bahagia.

Untuk detail acara diskusi ini, dapat dilihat di poster berikut.
Desain oleh Ridwan AN

Dandy IM
PijakID
Kategori
Beranda

Mencegah Banjir Sejak Dari Rumah

Sumber: Dustymars

Perubahan wajah kota seharusnyalah diiringi perubahan cara pandang kita terhadap air. Dulu kita berpikir untuk secepat-cepatnya membuang air hujan yang menggenang di halaman rumah agar tidak mengganggu aktivitas. Itu adalah pilihan tepat ketika rumah masih jarang, sehingga air mudah meresap. Sungai masih remaja dan berfungsi optimal. Bahkan aliran air hujan kala itu sudah hilang ditelan tanah sebelum mencapai bibir sungai.

Tetapi kota berubah. Air tidak lagi leluasa menyelusup ke pori-pori tanah. Ia tertahan lapisan beton atau aspal. Sehingga kita perlu merevisi sikap kita terhadap anugerah hujan yang diberikan Sang Pencipta.

Beberapa dekade terakhir muncul istilah drainase pro-air. Maksudnya, kita tidak bisa lagi melihat air sebagai musuh yang perlu dilempar jauh-jauh dari pekarangan rumah. Kita perlu bersahabat dengan air. Istilah populernya: memanen air. Secara praktis, gerakan ini mengajak kita untuk menerapkan konsep zero run off. Tujuan utama dari konsep ini adalah memastikan bahwa tidak ada air yang keluar dari rumah kita. Semua air yang jatuh di atap, halaman, dan taman rumah tidak kita biarkan mengalir ke saluran pembuangan. Kita bertanggung jawab pada setiap tetesan air yang jatuh di rumah kita.

Konsep ini tentu mengubah cara pandang sebelumnya yang berupa drainase anti-air. Konsep anti-air memandu manusia untuk membuang air hujan ke sungai dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Penerapan dari konsep ini adalah pembangunan drainase secara masif agar bisa menampung aliran air hujan, agar tidak terjadi genangan yang mengganggu.

Banyak efek yang kemudian muncul dari penerapan cara pandang semacam ini. Karena saat musim hujan kita membuang-buang air hujan, maka kita kekurangan air di musim kemarau. Sebaliknya, kita berhadapan dengan banjir di musim hujan.

Baca juga: Kesalahan Paradigma Transportasi

Kita bisa mengambil pelajaran penting dari efek yang merugikan ini. Kita perlu mengurangi keluhan terhadap fungsi drainase yang tidak maksimal sehingga menyebabkan genangan. Lebih bijak bila kita menengok rumah sendiri terlebih dahulu. Apakah rumah kita juga menjadi penyumbang aliran air?

Beragam cara untuk menahan air agar tidak keluar dari rumah sudah ditawarkan. Salah satunya adalah sumur resapan. Sunjoto mendedikasikan waktunya untuk mengembangkan berbagai bentuk sumur resapan yang bisa diterapkan. Ia menawarkan berbagai rumus desain sumur resapan yang tidak akan saya jelaskan di sini, karena tulisan ini akan menjadi naskah kuliah. Tetapi, sebagai gambaran, untuk rumah sederhana satu lantai dengan luas atap 100 meter persegi, dibutuhkan satu sumur resapan kedap air (dinding dicor) dengan lebar lubang 60 sentimeter dan dalamnya 2 meter. Apabila kita lebih suka membuat sumur yang porus (dinding tidak dicor, sehingga air bisa meresap ke samping), dengan lebar lubang yang sama, maka kedalaman yang dibutuhkan hanya sekitar 1 meter. Sebuah pekerjaan yang tidak sulit.

Meskipun, berbagai studi belakangan menunjukkan bahwa taman resapan lebih efektif daripada sumur resapan. Ia lebih efektif menyerap air. Cara membuatnya lebih mudah. Cukup dengan membuat sepetak tanah berumput yang sisinya ditinggikan agar air menggenang di lahan tersebut. Misalnya, kita membiarkan halaman yang luasnya 20 meter persegi (seluas parkiran mobil) tetap berupa tanah yang berumput dan meninggikan sisinya sebesar 10 sentimeter. Maka, air yang dapat ditampung sebanyak 2 meter kubik. Bandingkan dengan satu sumur resapan sedalam 2 meter yang hanya bisa menampung setengah meter kubik.

Tentu saja hitung-hitungan ini adalah penyederhanaan. Sebab belum mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti kecepatan resapan air. Tetapi, setidaknya, kita bisa mengerti satu hal. Bahwa membuat sepetak tanah kecil berumput di rumah kita lebih bijak daripada membetonnya. Apalagi jika halaman kita yang berbeton itu kemiringannya diarahkan ke jalan. Tindakan itu membuat kita juga ikut berpartisipasi sebagai penyumbang banjir.

Konsep pro-air ini tidak hanya membantu kita untuk mengamankan persediaan air. Ada hal positif lain yang mengikutinya. Pertama, tindakan meresapkan air di sekitar rumah membuat pencemaran air tanah di daerah tersebut menurun. Zat-zat berbahaya menjadi encer karena pasokan air bersih bertambah. Efeknya, manusia di daerah itu menjadi lebih sehat. Kedua, tanah tidak gampang ambles. Apabila air dibuang begitu saja sehingga tidak meresap ke dalam tanah, air tanah semakin menipis. Akibatnya, rongga tanah semakin membesar. Lama-kelamaan, tanah runtuh. Hal ini akan akan sangat merugikan jika di atas tanah tersebut berdiri sebuah bangunan, jalan misalnya. Atau bahkan bangunan itu adalah rumah kita sendiri.

Perubahan tindakan dari anti-air menjadi pro-air ini memang memerlukan waktu. Sebab ini bukan hanya soal tidak pedulinya pemerintah pada persoalan krusial semacam ini. Tetapi ini juga merupakan masalah perilaku dan cara pandang kita. Singkatnya, masalah kebudayaan.

Tetapi harapan perubahan tetaplah ada, meskipun secara perlahan. Daripada tidak ada perubahan sama sekali. Masih ada harapan untuk hari esok yang lebih baik.

Dandy IM
PijakID 
Kategori
Beranda

Jogja, Ilheus, Makassar, dan Imajinasi Negeri Maritim

Ucapan ngarsa dalem itu sudah sebulan lamanya. Kala itu serasa biasa saja. Tetapi pekan ini, kalimat itu menggetarkan kembali gendang telinga saya. “Jogja sekarang pintunya menghadap ke Selatan. Dalam arti, memprioritaskan Samudera Indonesia. Samudera Hindia bisa menjadi kekuatan baru bagi masyarakat Jogja,” kata Sultan HB X usai dilantik jadi gubernur.

Getaran di telinga itu malah membuat saya ingat Ilheus. Sebuah kota yang sedang bergairah – ketika ceritanya ditulis. Tapi kemajuannya terhalangi oleh gundukan pasir di pelabuhannya yang sekarat. Mungkin, gara-gara baru selesai menulis tentang Gabriela, saya kemudian teringat Ilheus setelah membaca lagi ucapan sang Sultan. Perempuan tak tahu diri itu bukan saja mengacaukan perpolitikan di Ilheus, tapi juga pikiran saya. Ia bahkan mengalahkan Marlina Si Pembunuh.

Pelabuhan Ilheus punya masalah sedimentasi yang terlampau parah. Jogja sama. Pelabuhan Adikarto yang mulai dibangun tahun 2004, sampai sekarang hanya terlihat seperti kuburan. Yang bersandar hanyalah sampan-sampan kecil kosong muatan. Padahal, harapannya, pelabuhan ini bisa menjadi pusat perikanan terbesar di perlintasan Selatan.

Ilheus dibangun di atas ceceran darah yang tertimbun. Lahan tak bertuan itu diperebutkan para berandalan untuk berkebun kakao. Siapa yang kuat, ia yang menguasai lahan. Akibatnya, pemimpin kota itu adalah seorang yang beringas di masa mudanya, Ramiro Bastos. Ia punya kebun kakao berhektar-hektar. Kisah versi Jorge Amado, wali kota Ilheus adalah anaknya, dengan kendali penuh dari dirinya. Keputusan-keputusan tetap berasal dari anggukannya. Anaknya hanya boneka.

Sementara Jogja adalah hasil perjanjian. Kini dipimpin generasi kesepuluh, darah yang sama.

Tentu saja Jogja tidak persis sama dengan Ilheus. Kota kecil di pinggiran Brazil itu gairah kemajuannya dibawa oleh seorang pengekspor kakao yang datang dari Rio de Janeiro. Ramiro menyebutnya “orang asing”. Ia tak percaya ide si “asing” yang akan mendatangkan seorang insinyur untuk menyelesaikan masalah gundukan pasir. Ia tak yakin gundukan itu dapat diberantas. Sehingga, selama ini ia acuh pada pelabuhan itu. Ia hanya tertarik membangun hotel, apartemen, taman, dan segala bangunan yang membuat kota gemerlap, juga sesak.

Akibatnya, kakao mesti tetap dikirim ke pelabuhan provinsi di Bahia, untuk diekspor. Jalan aspal dibangun. Kalau perlu dibuat bertingkat, agar kendaraan semakin kilat mencapai Bahia.

Sedangkan di Jogja, kesadaran beranjak ke lautan digagas oleh sang pemimpin. Gagasan itu, suka tidak suka, lebih bergaung saat diucapkan di ibu kota. Sebuah gagasan yang sukses melambungkan popularitas orang yang melantiknya: kebudayaan maritim. Sebuah kebudayaan yang dijadikan pintu rindu kejayaan leluhur. Sebab katanya, kakek kita adalah seorang pelaut. Walaupun, kakek saya, saat berada di tengah lautan, menengadahkan tangannya, berdoa semoga anak cucunya tidak jadi pelaut. Karena laut berisi kepahitan dan ketidakpastian hidup. Ancaman maut datang bersama gelombang yang bertabrakan. Suara terhalang angin laut ketika hendak minta tolong. Tak ada penolong. Yang ada hanyalah mantra-mantra pelindung badan yang semoga tak hilang dibawa arus.

Seperti kata orang Madura dalam syair-syair lagunya, pelaut berbantal ombak dan berselimut angin. Maut menjadi teman beraktivitas, selama berbulan-bulan.

Baca juga: Sebelum Bandara Kulon Progo Berdiri

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan DIY, Sigit Sapto Raharjo, meyakini Adikarto bakal menjadi pusat perikanan terbesar dan menyedot kapal-kapal ikan besar di sekitarnya. Jarak yang dekat dengan calon Bandara Kulon Progo juga menguntungkan. Rencananya, pengiriman ikan diintegrasikan dengan pesawat.

Ini rencana yang bagus. Ciri kebudayaan maritim yang dicita-citakan oleh Sultan adalah kerja sama yang mendarah-jantung. Lautan yang penuh ketidakpastian menuntut kerja sama yang tak putus-putus antarawak kapal. Butuh perorganisasian yang mapan. Pembagian kerja harus berdasarkan kebutuhan.

Namun, kemudian saya ingat bagaimana Makassar menjadi kota pelabuhan internasional pada masa kejayaannya. Dimulai dengan kesepakatan sembilan negeri di muara Sungai Jeneberang dan Tallo yang membentuk kerajaan besar bernama Gowa. Negeri-negeri kecil itu tidak terpenjara egonya. Mereka menekan ambisi kelompok untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Hasilnya, Makassar menjadi salah satu kerajaan maritim kuat setelah dua ratus tahun keruntuhan Majapahit. Makassar terkenal, pada masanya, ke berbagai penjuru negeri melalui hubungan perdagangan.

Hari ini, untuk mengintegrasikan Bandara Internasional Adi Soemarmo yang berada di Solo dengan aktivitas perekonomian dan wisata di Jogja saja susah. Pemerintah Jogja tidak terlihat berniat membangun transportasi penghubung yang handal antara bandara itu dengan kota Jogja. Pemerintah Jogja ingin juga punya bandara internasional sendiri. Meskipun rencana itu lebih terlihat sebagai sebuah ekspansi kapital.

Mungkin ini disebabkan oleh ego yang berbeda. Sehingga dua wilayah ini melangkah sendiri-sendiri.

Bukanlah alasan bahwa dua wilayah ini masih terkungkung feodalisme. Sembilan negeri di Sulawesi selatan itu juga dikuasai pemerintahan feodal. Meskipun, Soekarno berujar, ada dua tipe feodalisme. Pertama, feodalisme yang sedang berkembang, akan hamil, dan kemudian melahirkan kebudayaan modern dengan caranya sendiri. Tetapi pada akhirnya janin itu digugurkan oleh VOC. Kedua, feodalisme sakit-sakitan. Feodalisme yang sudah tidak punya lagi semangat kemandirian hidup dan lebih suka menjilat pantat VOC. Feodalisme yang suka menginjak kepala rakyatnya sendiri untuk bertahan di singgasananya.

Kebudayaan maritim memang bukan soal membangun lebih banyak pelabuhan daripada jalan layang. Ia soal cara pandang. Soal gairah memahami pengetahuan kelautan dan tetek bengeknya. Ia tentang cara hidup yang mengedepankan kerja sama dan pembagian kerja yang sesuai kebutuhan. Seperti halnya kerja sama dan pembagian kerja awal kapal.

Kebudayaan maritim bukan sekadar mimpi sang penguasa. Gerak memunggungi laut selama ini bukanlah disebabkan oleh master plan yang salah arah. Tetapi karena ketidakmampuan kita mendengarkan melodi-melodi kecil dan merajutnya menjadi simfoni. Menetapkan pembangunan pelabuhan, bandara, dan infrastruktur lain, tidak bisa hanya mendengar imajinasi pembangunan di ibu kota sana. Ia perlu mendengar dentum kegelisahan di pinggiran negeri, semacam kabupaten kecil Kulon Progo.

Dandy IM
PijakID 
Kategori
Beranda

Menyelamatkan Polisi di Perempatan

Sumber: ANTARA

Pagi hari, di simpang empat Kentungan, Sleman, empat polisi lalu lintas berjaga di empat lengan jalan. Ketika lampu hijau masih menyala untuk arus lengan Selatan (arah dari UGM), polisi menghentikan laju kendaraan. Kemudian, polisi yang berada di lengan Timur (arah dari UPN “Veteran”) menginstruksikan kendaraan untuk segara melaju. Padahal, lampu merah di lengan tersebut masih menyala. Polisi melakukan hal ini karena lengan Barat (arah dari Jombor) sudah macet panjang. Dengan mempercepat giliran, harapannya, kemacetan di ruas Barat dapat segera terurai. Volume kendaraan dari arah Barat memang besar di pagi hari.

Dari kasus ini muncul pertanyaan, apakah pengaturan waktu lampu lalu lintas perempatan tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan?

Untuk menentukan pembagian lama waktu lampu lalu lintas, para insinyur mula-mula mengambil data jumlah, jenis, dan kecepatan kendaraan yang lewat di masing-masing lengan suatu simpang. Lebar jalan yang menuju simpang juga diukur, sebagai salah satu parameter kapasitas jalan tersebut. Jumlah bangunan dan jenisnya di sekitar jalan juga menjadi catatan. Sebab, ia punya potensi mengganggu kinerja simpang. Para insinyur menyebutnya dengan istilah hambatan samping.

Perilaku pengendara juga menjadi data yang sangat penting dalam proses manajemen simpang. Aksi para pengendara sepeda motor yang gigih mencari celah di antara mobil sebetulnya adalah hal positif di satu sisi. Mereka membuat kinerja jalan tersebut menjadi efektif. Jadi, antrean kendaraan tidak terlalu panjang. Beda dengan mobil yang tidak bisa digunakan selincah itu. Walaupun, tentu saja keputusan terlalu nekat menerobos celah sempit lalu menyenggol spion mobil juga perlu kita kurangi. Setidaknya, bila suatu ketika kita sedang khilaf menyenggol spion mobil orang, menolehlah dan berikan tanda permohonan maaf.

Baca juga: Punya Garasi Dulu, Baru Beli Mobil 

Keputusan para pengemudi yang nekat menerobos lampu kuning, bahkan lampu merah yang baru nyala, secara teknis juga menambah keberkahan. Kenekatan kita membuat performa jalan tersebut meningkat. Jalan itu bisa lebih banyak meloloskan kendaraan tiap satu siklus lampu hijau. Meskipun keselamatan seharusnya tetap menjadi perhatian utama.

Setelah semua data terkumpul dan terkoreksi, para insinyur mensimulasikan data tersebut menggunakan software. Analisis dari software tersebut menghasilkan pembagian lamanya lampu hijau, kuning, dan merah untuk tiap-tiap lengan simpang. Jadi, apabila kita sedikit kesal, mengapa lengan Timur simpang MM UGM (dari arah Lembah UGM) lampu hijaunya singkat sekali? Itu berasal dari pertimbangan teknis. Lengan tersebut lebih lebar dari tiga lengan lainnya. Sehingga, lebih banyak kendaraan yang lolos dari simpang untuk waktu yang sama dibandingkan lengan yang lain. Selain itu, apabila lampu hijau di lengan Timur itu terlalu lama, maka antrean kendaraan di lengan Selatan (arah dari Mirota Kampus) dan lengan Utara (arah dari Kaliurang) menjadi terlalu panjang. Jadi, pembagian waktu tunggu tersebut sudah diusahakan adil. Maka, marilah lebih bersabar jika berkendara di jalan tersebut. Berilah jalan bagi pengendara yang ingin belok kiri langsung. Jangan diserobot.

Agar tulisan ini nyambung dengan judulnya, mari kita kembali ke pembahasan mengenai polisi. Keputusan polisi menyuruh pengendara dari lengan Timur melaju sebelum waktunya memang berasal dari insting yang subjektif. Polisi menganggap antrean kendaraan di lengan Barat sudah terlalu panjang. Namun, hal itu menunjukkan pembagian waktu lampu lalu lintas di simpang tersebut tidak efektif saat pagi hari. Sehingga, para insinyur perlu mempertimbangkan variasi arus lalu lintas setiap harinya. Tentunya, jumlah kendaraan saat pagi hari, siang, dan malam berbeda-beda. Pembagian waktu lampu lalu lintas perlu mempertimbangkan fenomena tersebut. Tidak dipukul rata sama semua. Agar pak polisi tidak kelayapan saat jam-jam sibuk dan menghisap lebih banyak asap pekat.

Di zaman yang sudah modern ini, pengaturan lalu lintas mestinya mengurangi keterlibatan manusia di lapangan. Ketika dahulu perempatan jalan pertama kali dibuat, manusia memang menjadi andalan. Ia berdiri di tengah-tengah simpang dengan memegang bendera dan peluit untuk mengatur giliran laju kendaraan. Maka, apabila kita melewati simpang dan masih ada pak polisi mengayun-ayunkan tangan sambil meniup peluit, kita mengalami kemunduran beberapa abad.

Dandy IM
PijakID