Kategori
Society

Kondisi Pulau Sapudi Madura Setelah Diguncang Gempa 6,4 SR

Gempa berkekuatan 6,4 SR muncul di perairan tapal kuda, tepatnya di titik 65 kilometer timur laut Kabupaten Situbondo Jawa Timur, pada hari Kamis (11/10) pukul 01:45 WIB. Kedalaman gempa 10 kilometer, tidak berpotensi tsunami.

Salah satu daerah yang terdampak gempa ialah Sapudi, sebuah pulau kecil sejauh 50 kilometer di utara pusat gempa yang hanya terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Gayam dan Nonggunong. Pulau ini secara administrasi adalah bagian Kabupaten Sumenep, Madura. Di Gayam, ada desa bernama Prambanan. Desa ini terletak di sisi timur pulau yang berupa daratan tinggi. Di desa inilah kerusakan paling parah terjadi. Hingga kini, berdasarkan catatan Puskesmas Gayam, tiga orang meninggal (dua orang laki-laki berumur 50 dan 70 tahun, serta seorang anak perempuan berumur 7 tahun). Korban luka-luka mencapai 23 orang, dan paling banyak berasal dari Prambanan.

Lokasi Desa Prambanan, Sapudi

Beberapa rumah di Desa Prambanan dan Nyamplong mengalami kerusakan, dari skala ringan hingga berat. Banyak dinding rumah yang roboh, juga atap teras. Bahkan ada rumah yang roboh sama sekali. Umumnya, struktur atap rumah di dua desa ini memakai kayu, dan penutupnya genteng. Dinding rumah dibuat dari susunan bata kapur – bukan bata merah seperti rumah-rumah di Jawa. Sebab di daratan pulau Sapudi banyak ditemui lapisan kapur. Beberapa lokasi sudah ditambang oleh masyarakat.

Rumah yang roboh di Desa Prambanan
Foto: Laili

 

Dinding rumah yang roboh d Desa Prambanan
Foto: Laili

Fasilitas jalan di Sapudi kurang menyenangkan, termasuk di Desa Prambanan. Lubang di mayoritas ruas jalan siap menggoyang kendaraan sehingga tak dapat melaju kencang. Perbaikan jalan dari tahun ke tahun dengan metode penambalan lubang saja hanya bertahan dalam hitungan bulan.

Tentu saja kondisi jalan raya amat berpengaruh terhadap proses evakuasi.

Di Sapudi, ada dua puskesmas utama, yang terletak di masing-masing pusat kecamatan. Desa Prambanan lebih dekat ke Puskesmas Gayam. Maka kini para korban di rawat di sana.

Untuk menjangkau Pulau Sapudi tak bisa dibilang mudah. Hanya tersedia empat jalur laut yang menjadi andalan sehari-harinya. Dua jalur menggunakan kapal feri, duanya lagi menggunakan perahu kayu. Yang memakai kapal feri menghubungkan Pelabuhan Tarebung (Sapudi) dengan Pelabuhan Kalianget di Sumenep Madura dan Pelabuhan Jangkar di Situbondo. Yang memakai perahu kayu menghubungkan Pelabuhan Tarebung dan Sukarame di Sapudi dan Pelabuhan Dungkek (Sumenep) dan Pelabuhan Kalbut (Situbondo). Apabila kita berangkat dari Madura, butuh 3 jam perjalanan laut untuk sampai di Sapudi. Kalau dari Situbondo 4 jam.

Cara menjangkau Pulau Sapudi.
Warna oranye jalur kapal feri.
Warna hijau jalur perahu kayu

Sayangnya, kapal feri hanya tersedia 2 kali perjalanan dalam seminggu. Untuk yang dari Madura, hanya tersedia hari Minggu dan Kamis. Sedangkan yang dari Situbondo hanya berangkat pada hari Rabu dan Sabtu. Perahu kayu memang beroperasi tiap hari. Namun kapasitas angkutnya tak seberapa dan akan cukup mendebarkan bagi yang tak biasa menyeberangi laut dengan perahu kayu yang sudah berumur.

Perahu kayu yang menghubungan masyarakat
Sapudi dengan dunia Pulau Madura.
Foto: Dandy IM

Kalau ingin tahu bagaimana kondisi pelayaran rakyat di Sapudi, bisa baca: Transportasi Laut Kepulauan Sumenep Madura Belum Berkeadilan

Akhirnya hanya moda helikopterlah yang paling bisa diandalkan. Soekarwo pun ke Sapudi pada hari Kamis (11/10) naik helikopter dan turun di lapangan SMPN 1 Gayam, tempat saya bermain bola dulu.

Gempa di Sapudi ini kemungkinan terjadi karena pergerakan dari sesar RMKS (Rembang, Madura, Kangean, Sakala) Barat. Pasalnya, pusat gempa yang baru saja terjadi ini terletak 30 kilometer di selatan garis sesar. Sesar ini, menurut Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen), pergerakannya 1,5 mm/tahun. Dengan nilai pergerakan tersebut, menurut Pusgen, potensi gempanya mencapai 7,8 SR.

Sesar RMKS di Sapudi (lihat kotak kuning)
Sumber: Pusgen

 

Sesar RMKS di Sapudi (lihat kotak kuning)
Sumber: Pusgen
Gempa telah terjadi. Kini saatnya berdoa, memberi bantuan, agar para korban dapat segera pulih. Dan tak lupa ke depannya membikin Sapudi, dan tentunya juga daerah-daerah lain yang berpotensi gempa, agar lebih siap menghadapi gempa dari segi fisik bangunan dan tata ruang, mental, dan kebudayaan.
Kategori
Infrastruktur Society

Kesulitan Manajemen Air Baku di Oekolo

Oekolo adalah satu dari lima desa di Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam Bahasa Dawan, Oekolo berasal dari dua kata yaitu “oe” yang berarti air dan “kolo” yang berarti “burung”. Namun hal tersebut cukup jauh dari keadaan desa ini. Desa dengan luas ±13,15 km2 dan dihuni oleh 563 keluarga ini sebagian besar warganya cukup sulit dalam mengakses air bersih.

Dengan lokasi di kaki Gunung Humusu dan berbatasan langsung dengan Sungai Mena, kedalaman sumur dangkal mencapai lebih dari 10 meter di bawah tanah untuk wilayah yang jauh dari sungai. Hanya wilayah yang di sekitar sungai yang bisa mendapatkan air tanah pada kedalaman 6 meter. Karena air PDAM belum melayani wilyah ini, untuk mendapatkan air warga harus tergantung pada tiga sumber air di gunung yang masing-masing sumber melayani beberapa blok pemukiman.

Pernah ada program dari pemerintah yang memberikan bantuan dana yang dikerjakan secara swakelola oleh masyarakat untuk pemasangan pipa dan pembuatan saringan air di sumber air untuk kebutuhan air bersih masyarakat. Namun setelah jaringan pipa jadi, pengelolaan yang diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah desa tidak berjalan dengan baik.

Pemahaman masyarakat tentang penggunaan air baku masih sangat minim. Pemasangan jaringan pipa yang dibuat secara seri, yaitu sambungan pipa yang beruntun dari dusun di dekat lereng gunung ke dusun yang lebih jauh, menyebabkan distribusi air menjadi tidak adil. Masyarakat di daerah atas, sebutan untuk daerah yang lebih dekat dengan gunung, sering melakukan hal nakal dengan menyumbat air yang mengalir di pipa untuk memberi minum ternak. Hal tersebut merugikan masyarakat di daerah yang lebih bawah, terutama yang jauh dari sungai. Mereka harus berjalan jauh untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Polemik Membangun Rumah

Pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah desa juga tidak berjalan dengan baik karena kurangnya sumber daya manusia yang bertugas mengelola dan merawat jaringan air tersebut. Tidak adanya dana yang dapat dialokasikan untuk memberi gaji untuk menambah petugas menjadi alasan.

Pemerintah di tingkat yang lebih atas seharusnya turut berperan dalam mengatasi masalah ini. Untuk solusi jangka panjang dapat dilakukan dengan cara merancang embung sebagai penyedia air, terutama untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan untuk jangka pendek, dapat dilakukan dengan mengangkat petugas sebagai pengelola jaringan air.

Di daerah yang hanya menempuh waktu ±30 menit dari Oeccusse Timor Leste, masyarakat Indonesia masih kesusahan air. Padahal Desa Humusu Oekolo merupakan salah satu desa yang terletak di jalur pantai utara Pulau Timor, jalur yang menghubungkan Oeccusse dengan Dili, pusat Negara Timor Leste. Seharusnya dengan berlakunya semangat Nawacita, yang pada poin ketiga dikatakan pembangunan dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa, Desa Humusu Oekolo bisa dapat lebih maju dan berkembang.
Kategori
Society

Siap Selamat Hadapi Bencana

Foto: USGS
Apa yang menyebabkan orang kaya dan miskin berkumpul dalam satu lokasi, meski berbeda pilihan politik, beda pilihan kepala desa, beda pilihan langsung pak RT? 
Di saat terjadi bencana besar, biasanya semua akan bersamaan mencari keselamatan diri. Merasa aman saat terjadi bencana, butuh latihan juga agar saat benar-benar mengalami peristiwa bencana, tiap warga negara siap selamat dan tahu langkah antisipasi, mitigasi hadapi bencana.
 
Prof Sudibiyakto (alm) dalam satu kesempatan menyampaikan catatan begini kira-kira kalimatnya. 
“Bencana gempa dan tsunami di Aceh, gempa 5,9 SR di Jogja membawa pengetahuan baru bagaimana tata laksana dan mitigasi bencana dijalankan.”
 
Di negeri dengan intensitas dan potensi kebencanaan yang ada, sudah menjadi tanggung jawab bersama kala terjadi bencana. Ada pedoman jelas, di konstitusi, ada undang-undangnya.
 

Ini kok ya pas jelang masa pengumuman calon pemimpin negeri diumumkan, pas ada bencana gempa besar, gempa utama di Lombok. Apakah alam hendak memberikan pesan khusus buat para penguasa negeri?

Hal yang pasti, pagi ini banyak keluarga di Lombok juga mereka yang berada di area terdampak bencana, sarapan pagi dengan suasana yang serba darurat. Semoga semua korban dan keluarga korban diberikan kekuatan, hak mereka sebagai warga negara terlayani baik.
Baik itu si kaya maupun si miskin wajib memahami prosedur keselamatan diri sendiri saat terjadi bencana. Siap selamat dan tangguh kala membantu sesama yang membutuhkan pertolongan.
Pak Wali
PijakID
Kategori
Society Transportasi

Mengapa Jalan Magelang Angka Kecelakaannya Tertinggi di Sleman?

Bukan di Jalan Magelang btw, cuma ilustrasi
Difoto oleh Mr. Path

Kabar mengejutkan itu datang menjelang subuh. Saya kemudian mengayuh sepeda ke rumah sakit Bethesda. Di sana sudah ada orang tua dari teman SMA saya. Teman saya itu baru saja meninggal setelah mengalami kecelakaan di Jalan Magelang-Jogja. Stang kiri motor yang ia kendarai menyenggol bak pick up yang parkir di bahu jalan.

*** 

Selasa 17 Juli 2018, teman sekampus saya, Intan Tyalita Prendanadia mempresentasikan tugas akhirnya di Teknik Sipil dan Lingkungan UGM. Ia menganalisis keselamatan jalan Jogja-Magelang KM 7 sampai 11 serta usulan perbaikannya.

Pertama Intan menyampaikan bahwa, jalan Jogja-Magelang merupakan jalan dengan tingkat kecelakaan paling tinggi di Kabupaten Sleman. Itu berdasarkan data Satlantas Polres Sleman yang dikutip oleh Febrianto dalam skripsinya yang berjudul Identifikasi Lokasi Rawan Kecelakaan (Studi Kasus: Jalan Magelang km 7 – km 16).

Dari hasil penelusuran Intan, bahu luar jalan ini hanya 50 sentimeter dan bahu dalamnya 25 sentimeter. Bahu jalan diperkeras dengan aspal, sama seperti badan jalannya. Namun, di beberapa bagian lain, bahu luar jalan lebih lebar, yaitu 100 sentimeter yang terdiri dari 25 sentimeter diperkeras dan 75 sentimeter tidak diperkeras (berupa tanah).

Bahu jalan amat penting di jalan raya. Ia memfasilitasi keadaan darurat kendaraan yang sedang melintas, misalnya ban kempes. Ia juga berfungsi sebagai tempat berhenti kendaraan. Sehingga, lebar bahu jalan haruslah cukup untuk menampung lebar kendaraan yang boleh melintas di situ. Bahu jalan yang terlalu sempit dapat membahayakan pengguna jalan.

Karena jalan ini merupakan jalan nasional arteri primer kelas II, maka menurut Permen PU Nomor 19 Tahun 2011, lebar bahu luar seharusnya 2 meter dan bahu dalam 0,5 meter. Intan menyarankan bahu luar jalan ini diperlebar menjadi 2 meter dan diperkeras rata dengan badan jalan.

Median Jalan Magelang juga tidak memenuhi persyaratan. Bangunan yang memisahkan Jalan Magelang menjadi dua jalur ini mempunyai lebar 95 sentimeter dengan konfigurasi 25 cm untuk kedua bahu dalam dan 45 cm untuk bangunan pemisahnya. Di bagian yang lain ada yang lebar bangunan pemisahnya 80 cm dengan lebar bahu dalamnya juga 25 cm. Kedua median ini mempunyai tinggi 30 sentimeter. Padahal, standar median untuk Jalan Magelang seharusnya 2 meter dengan konfigurasi 75 cm (bahu dalam) + 50 cm (bangunan pemisah) + 75 cm (bahu dalam). Median juga seharusnya dilengkapi bangunan penghalang setinggi 1,1 meter.

Median Jalan Magelang di beberapa bagian sengaja diputus sebagai tempat putar balik. Panjang fasilitas putar balik yang tersedia bervariasi antara 15 sampai 20 meter. Apabila ditinjau fasilitas putar balik yang paling pendek, yaitu 15 meter, dan median yang paling lebar yaitu 80 cm, maka mobil kecil saja yang mempunyai radius putar minimum 4,2 meter akan kesulitan melakukan putar balik. Intan menyatakan kendaraan tersebut tidak dapat melakukan manuver dari sisi paling dalam lajur ke sisi paling dalam lajur di jalur lawan. Gambar berikut mengilustrasikan hal tersebut.

Digambar oleh Intan
Anda bisa membayangkan berkendara di jalur yang bawah lalu Anda harus berhadapan dengan perilaku mobil seperti di gambar di atas…

Intan mengusulkan dua opsi. Pertama, median jalan diperlebar hingga 8 meter, agar sesuai dengan aturan Perencanaan Putaran Balik No. 06/BM/2005. Sehingga, mobil dapat melakukan putar balik dengan leluasa. Akan tetapi, memperlebar median hingga 8 meter dirasa terlalu sulit.

Opsi kedua, cukup memperlebar median sehingga lebar totalnya 2 meter, tetapi membuat lajur tambahan untuk fasilitas putar balik di jalur lawan. Intan mengusulkan panjang lajur tambahan ini 30 meter, seperti dapat dilihat pada gambar berikut.

Digambar oleh Intan
Persimpangan di Jalan Magelang ternyata juga mempunyai masalah, yakni simpang di km 10 (Lapangan Denggung) dan yang berada di km 10,5. Kedua simpang ini tidak saling tegak atau tidak 90 derajat. Akibatnya, pengendara mengalami kesulitan saat hendak berbelok dari lengan satu ke lengan lain yang memiliki sudut kurang dari 90 derajat. Belokannya terlalu tajam. Intan mengusulkan belokan yang terlalu tajam tersebut dipotong agar lebih nyaman dan berkeselamatan. Usulan Intan tersebut dapat dilihat di gambar berikut.
Simpang Denggung km 10 (digambar oleh Intan)
Simpang km 10,5 (digambar oleh Intan)
Beberapa hal lain perlu diperbaiki di Jalan Magelang ialah pohon yang menutupi jarak pandang, rambu, dan lampu merah-kuning-ijo; saluran drainase yang terisi sampah; papan iklan yang mengganggu jarak pandang; serta marka jalan yang sudah pudar.

Pembenahan geometri Jalan Magelang berguna untuk mengurangi angka kecelakaan di jalan tersebut. Setidaknya, apabila terjadi kecelakaan, pengendara tidak mendapatkan efek yang serius. Karena nyawa tak ada harganya.

Data kecelakaan pun mesti ditingkatkan lagi kualitasnya. Karena selama ini data kecelakaan hanya tersedia angkanya saja. Penyebab kecelakaannya tidak diketahui. Padahal itu berguna untuk memilih langkah pencegahan yang tepat.

Dandy IM
PijakID
Kategori
Society

Kapal Kelebihan Muatan Itu Biasa, Tapi Menyedihkan

Penumpang memadati pelabuhan Tarebung,
Sapudi, Sumenep, Madura.
Foto: Dandy IM

Agak ragu aku melanjutkan langkah. Badan orang sudah berderet bagai ikan pindang di lantai kapal. “Langkahi saja,” kata si lelaki paruh baya. Akhirnya aku melangkahi badan mereka. Kadang telapak kakiku malah mendarat tepat di samping kuping salah satunya.

Tiga setengah jam sebelumnya, mereka sudah memenuhi pelabuhan. Kebanyakan duduk di pinggir jalan. Ada juga yang lesehan di langgar dan warung makan. Ruang tunggu malah sepi. Mungkin karena di dalam sana pengap dan tidak bisa melihat orang lalu lalang.

Ratusan sepeda motor yang sudah antri dua hari sebelumnya, berderet tapi tak beraturan di jalur khusus. Namun tak semuanya bakal diangkut.

Sebetulnya memang lumayan enak kalau membawa sepeda motor. Tiket yang bakal ditukar nomor antrian kendaraan sudah termasuk tiket manusianya. Jadi tidak perlu berdesakan antri di lubang tiket yang hanya ada dua. Tapi jika memang bepergian berdua menggunakan sepeda motor, sebaiknya satu orang tetap ikut ngantri di pintu masuk. Sebab penumpang masuk duluan ke dalam kapal, lalu sepeda motor, baru kemudian mobil. Para penumpang itu akan berdesakan bahkan kadang saling dorong saat pintu masuk dibuka. Ini terpaksa mereka lakukan karena semua tiket sama, tidak ada nomor tempat duduk atau kasur. Mereka ingin cepat-cepat masuk kapal agar mendapatkan tempat dan mengklaim beberapa tempat lain untuk keluarga dan temannya. Manajemen kapal memang sengaja membiarkan kebiasaan siapa cepat, dia dapat. Walaupun seringnya tak mesti begitu. Yang cepat juga belum tentu mendapatkan tempat. Masih ada faktor lain berupa duit dan relasi. Beberapa orang yang punya kenalan awak kapal memesan terlebih dahulu tempat yang nyaman. Tentu dengan imbalan. Aku sendiri pun menikmatinya.

Ketika musim arus balik seperti ini, apalagi layanan kapal tak bertambah sehingga tetap dua kali seminggu, penumpang tentu saja tambah membeludak. Arus masuk dermaga di jalur penumpang jadi semrawut. Beberapa orang yang tak dapat tiket – karena memang sudah habis – nekat nerobos dan lolos. Jadi aku sudah tahu sebetulnya bahwa kapal bakal sesak. Tapi tetap saja, setelah memarkir kendaraan di geladak kapal lalu naik ke ruangan penumpang, aku menghentikan langkah karena ada perasaan tidak enak saat harus melangkahi badan dan kepala orang di lorong kapal.

Baca juga: Agar NYIA Tak Menimbulkan Masalah Baru

Kapal ini bukan kapal yang biasanya. Besi mengambang ini lebih besar. Namun sepertinya tenaga mesin yang digunakan tak sebanding dengan badannya. Besi yang sudah mulai tua ini akan melaju lambat. Aku bisa bilang begitu karena sudah pernah ikut mengarungi lautan bersamanya. Perjalanan laut ini, yang akan berakhir di Pelabuhan Jangkar Situbondo, bakal memakan waktu sampai enam jam. Padahal normalnya kalau kapal yang lebih kecil hanya empat jam. Baiklah, penderitaan hari ini memang tak hanya soal tempat yang menyiksa, tapi juga goyangan kapal yang lebih lama.

Tidak dibuat pesimis oleh tumpukan manusia di lantai kapal, aku tetap menuju ruang VVIP. Itu cuma namanya VVIP. Semua orang boleh masuk. Seperti yang kubilang tadi, siapa cepat, dia dapat. Walaupun VVIP, tidak semua orang tertarik masuk situ. Salah satunya karena ruangan tersebut pakai pendingin ruangan sehingga udara tak segar. Aku optimis masih ada secuil tempat di ruangan itu. Aku buka pintunya. Sejauh mata jelalatan, isinya kepala manusia. Ya, bukan lagi badan, tapi kepala. Satu tempat tidur yang harusnya dipakai satu orang karena memang sempit, diduduki tiga orang. Tempat tidur tingkat satu maupun dua, sama saja. Aku pun sama sekali tidak masuk ruangan itu, karena di lantai orang-orang sudah rebahan. Ada yang terlentang lurus, ada yang bengkok. Cara terbaik untuk mempertahankan tempat di kapal laut memang tidur. Sebab kalau duduk, orang lain akan secepat kilat duduk di sebelah kita. Hasilnya, kita tak bisa tidur sepanjang perjalanan.

Dengan alis melengkung aku tutup pintu ruang VVIP. Kemudian aku naik ke atap kapal. Di tempat ini hanya ada dua orang, laki-laki dan perempuan yang duduk berdekatan sambil berbarengan memegang sarung untuk menutupi kepala. Matahari memang sedang terik. Aku langsung menapaki lagi anak tangga yang kulewati barusan.

Aku memutuskan untuk duduk saja di daerah bokong kapal bersama penumpang lainnya yang sebagian besar punggungnya menyentuh lantai. Baru beberapa menit duduk, kapal mulai jalan. Akhirnya, waktu mulai berdetik.

Setengah jam perjalanan, nenek yang tidur bersela dua orang di sebelah kiriku memanggil-manggil cucunya. “Apa Nek? Mau kencing?” tanya sang cucu. “Sudah diempet dari tadi,” cetus si nenek.

Anak kecil seumuran SMP itu memegang erat tangan neneknya. Si nenek terlihat berusaha keras melangkahkan kakinya secara hati-hati agar tak menginjak kepala orang. Si cucu pun mesti menggenggam erat pagar kapal agar bisa menahan berat badan nenek dan dirinya sendiri. Untungnya, kapal besar ini menyediakan toilet di setiap lantainya.

Setelah aku bengong beberapa saat, nenek itu sudah siap-siap tidur kembali. Ia, bersama penumpang lain, kembali harus membawa goyangan kapal ke dalam mimpinya. Kapal mulai jauh meninggalkan pulau Sapudi. Artinya, kapal akan semakin kencang bergoyang. Pegangan erat-erat, Nek, dalam mimpimu.

Dandy IM
PijakID
Kategori
Society

Buruh Bangunan Diperlakukan Tidak Adil


Buruh bangunan sedang mengencangkan cetakan kolom sebuah proyek gedung. Mereka sering bekerja lembur sampai kelelahan. Foto: Dandy IM

Manusia yang memaksa dan dipaksa tenaganya demi keberlanjutan hidup dan obsesi penguasa.


Kesan awal yang bakal muncul saat pertama kali berkunjung ke proyek infrastruktur, tidak ada paksaan untuk para buruh mengambil jam lembur. Mereka secara suka rela ingin mendapatkan tambahan upah demi meningkatkan kualitas hidup. Namun, ketika kita melihat-lihat lebih lama, ada suatu kondisi yang membuat mereka melakukan itu.


Kondisi tersebut bisa dikategorikan menjadi tiga hal: cekikan kebutuhan hidup, keputusan manajemen, dan target proyek yang memburu.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data besaran upah nominal dan riil harian untuk buruh bangunan akhir tahun lalu. Upah nominal adalah jumlah uang yang diterima oleh buruh dari mandor per hari. Per September 2017, jumlahnya rata-rata sebesar 84.438 rupiah. Jumlah ini naik 0,02% secara bulanan dan 2,3% secara tahunan. Sedangkan upah riil adalah daya beli para buruh. Upah riil menggambarkan nilai uang sebenarnya yang bisa digunakan keluarga buruh untuk melanjutkan hidup. Per September 2017, nilainya sebesar 64.867 rupiah. Nilai ini turun 0,11% secara bulanan dan 1,37% secara tahunan.

Data ini menunjukkan, meskipun upah nominal buruh bangunan naik, tapi nilainya mengalami penurunan. Kemampuan buruh membeli kebutuhan pokok semakin lemah. Sehingga, alih-alih meningkatkan kualitas hidup, untuk mempertahankan keberlangsungan hidup saja mereka harus lebih sering mengambil jam lembur. Keputusan untuk lembur pada akhirnya tidaklah muncul dari hasrat, tapi dari keterpaksaan.

Baca juga: Helm Kuning Proyek

Keputusan kontraktor juga sering memaksa buruh lembur bahkan sampai dini hari. Kontraktor inginnya jumlah buruh sedikit mungkin untuk menekan biaya. Sebab, ada keadaan tertentu di lapangan yang memaksa pekerjaan tidak bisa dilanjutkan, seperti keterlambatan suplai material, cuaca yang tidak mendukung, atau progres yang terlalu cepat. Padahal, pihak kontraktor tetap harus membayar upah buruh yang bekerja dengan sistem harian. Dengan minimnya jumlah buruh, uang yang harus dikeluarkan pada waktu semacam ini juga berkurang. Namun, nahas bagi para buruh ketika pekerjaan sedang menumpuk. Mereka dipaksa lembur untuk mengejar target.

Buruh di proyek pelabuhan. Foto: Farizqi

Faktor terakhir yang membuat buruh lembur adalah target rampungnya proyek yang memang diburu sejak awal. Pemerintahan Joko Widodo memang mengandalkan program pembangunan yang bertajuk “percepatan infrastruktur”. Beberapa proyek strategis dikebut pengerjaannya. Sayangnya, perhatian terhadap kualitas proyek amat kurang ketimbang jumlah proyeknya. Hal ini dibuktikan dengan maraknya kecelakaan kerja di bidang konstruksi akhir-akhir ini. Salah satu yang berkontribusi pada kecelakaan itu adalah menurunnya konsentrasi para buruh akibat lembur melulu.

Negara sebetulnya sudah mengatur melalui keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 102/MEN/VI/2004 tentang waktu kerja lembur. Menurut keputusan tersebut, waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 40 jam dalam seminggu. Jika menggunakan sistem 6 hari kerja, berarti waktu kerja normalnya 7 jam. Sedangkan untuk sistem 5 hari kerja, waktu kerja normalnya 8 jam. Apabila melebihi itu, pekerjaan dianggap lembur dan perusahaan wajib membayar upah lembur.

Untuk menentukan lamanya waktu kerja lembur juga tidak sembarangan. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam sehari dan empat belas jam dalam seminggu.

Sayangnya, praktik di lapangan tidak mematuhi peraturan tersebut. Buruh bangunan bisa disuruh bekerja sampai pukul 2 pagi. Apalagi ketika ada pengecoran. Tentu saja hal tersebut sudah sangat melebihi batas waktu lembur yang ditentukan.

Baca juga: Kambing Hitam Kecelakaan Konstruksi

Satu hal lagi yang amat penting: untuk melakukan kerja lembur, harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari buruh yang bersangkutan. Harus ada daftar tertulis berisi nama-nama buruh yang akan lembur dan ditandatangani oleh mereka. Artinya, pihak kontraktor tidak bisa begitu saja memaksa para buruh untuk lembur.

Kenyataan di lapangan, pihak kontraktor langsung saja bilang ke mandor untuk meminta para buruhnya lembur. Hal ini tentu menyalahi prosedur dan buruh diperlakukan secara tidak adil. Padahal, ketika terjadi kecelakaan kerja, pihak kontraktor enteng saja menuduh para buruh lalai dalam bekerja – seperti yang terjadi pada proyek Jalan Tol Becakayu (Bekasi-Cawang-Kampung Melayu). Itu membuat ketidakadilan menjadi sangat.

Dandy IM
PijakID 
Kategori
Society

Apakah Raja-Raja Pesisir Berdagang?

Foto; afandriadya

Kira-kira begini jawaban Sultan Agung, Raja Mataram, saat mendengar tawaran dari utusan VOC, Rijckloff van Goens: saya bukan pedagang, tidak seperti Sultan Banten. Mengapa jawaban Sultan Agung sesinis itu?

Barangkali, Sultan Agung merasa, berdagang adalah aktivitas yang tak pantas bagi seorang raja. Atau, mungkin, perdagangan maritim bukanlah aktivitas ekonomi yang menjadi perhatian kerjaan Mataram Islam. Karena, sejak berdirinya, Mataram memang lebih menarik pusat kerajaan menjauhi lautan. Mataram ingin menjadi kerajaan agraris yang bertumpu pada sektor pertanian dan hasil hutan.

Lalu, apakah benar raja-raja kerajaan pesisir berdagang? Adrian B. Lapian, sejarawan, menjelaskan dengan baik perihal ini di bukunya Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17. Saya akan rangkumkan untuk Anda.

Raja-raja kerajaan pesisir memang berdagang, tapi tidak dalam pengertian sebenarnya. Mereka hanya memberikan modal kepada para pedagang atau menitipkan barang-barang untuk dijual. Pembagian labanya ditentukan dengan perjanjian menurut aturan yang berlaku di masing-masing tempat.

Tentu untuk membuat kapal dan mengisinya dengan barang dagangan sampai penuh membutuhkan modal yang tidak sedikit. Para pedagang dan pemilik kapal sering kali tidak mempunyai kemampuan finansial sebesar itu. Maka, para raja dan orang kaya di kerajaannya, memberikan modal ke para pedagang agar aktivitas perdagangan berjalan. Dengan kata lain, yang berdagang tetaplah para pedagang, raja hanya memberikan sokongan dana saja.

Menurut catatan Tome Pires, raja kerajaan Pahang, Kampar, dan Indragiri mempunyai kantor dagang di Malaka. Hal ini menunjukkan, kerajaan-kerajaan tersebut memiliki hubungan dagang yang sangar erat dengan Malaka. Namun, ternyata, para raja itu tidak memiliki kapal. Raja hanya mengirim perwakilan ke Malaka untuk mengurus saham yang ia punya dalam kapal yang berlayar. Mungkin hubungan itu bisa dibilang sebagai partnership atau dalam istilah Eropa: commenda.

Contoh lain, Sultan Muzaffar Syah (1446-1459) malah menyuruh tukang kayu di kerajaannya membuatkan kapal untuknya. Setelah jadi, para pedagang ia suruh berlayar dengan kapal itu dengan barang dagangan yang juga berasal darinya. Setelah keputusannya ini, kerajaan maritim yang dipimpinnya bergerak maju. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain yang mesti ditempuh selama beberapa Minggu bisa terjalin baik. Kebijakan tersebut memberikan banyak dampak positif.


Baca juga: Membangun Pelabuhan Pada Abad Ke-16

Akan tetapi, tidak semua modal berdagang berasal dari para raja dan pejabat tinggi lainnya. Modal juga ada yang berasal dari pedagang sendiri. Seperti yang diberitakan oleh orang Gujarat kepada orang VOC di Ambon pada tahun 1627 yang kemudian diteruskan ke Gubernur Jenderal. Dikatakannya jung-jung yang berlayar dari Makassar ke Maluku dibekali uang tunai, kain, atau barang dagangan lainnya oleh orang-orang Inggris, Denmark, Portugis dan orang Makassar sendiri untuk ditukar dengan cengkeh. Tentu saja mereka tidak memberikannya secara cuma-cuma. Karena, mereka sudah mempertaruhkan uang dan barang dagangan. Seluruh muatan cengkeh harus diserahkan kepada sang pemberi modal. Pemilik kapal diberi bayaran 200 realen van achten untuk setiap bahar cengkeh. Di sisi lain, pemilik modal harus membayar pajak pelabuhan dan dagangan kepada kerajaan.

Dari uraian ini menjadi jelas bahwa, pada abad Ke-16 sampai 17, tidak masalah bagi raja ikut andil dalam perdagangan. Asalkan ia tidak menjadi pelaksana perdagangan itu sendiri. Ia hanya ikut menggerakkan roda perdagangan dan menjaga hubungan baik dengan kerajaan lain melalui pelayaran. Ini memang tergantung visi dan kesadaran geografis raja tiap-tiap kerajaan. Apabila raja itu sudah tidak sadar dengan wilayahnya yang berupa hamparan lautan dengan taburan pulau-pulau di atasnya, ia akan memindahkan kerajaannya ke kaki gunung dan bercita-cita menjadi kerajaan agraris – sebuah cita-cita semu.


Dandy IM
PijakID
Kategori
Society

Musim Hujan: Potensi Bencana Likuifaksi

Sumber : failures.wikispaces.com
“Ah, hujan lagi, hujan lagi.” Setidaknya tiga hari ini, Sang Hujan telah memaksa saya untuk menghabiskan waktu di rumah. Melamun seharian sambil menikmati segelas kopi, ditemani irama rintik air hujan yang jatuh di genteng. Tak sengaja, mata ini tertuju pada pot bunga melati di pekarangan rumah dekat tembok yang selalu terkena tetesan air hujan dari genteng. Terlihat batang pohon melati itu telah miring menjauhi tembok, tanahnya mampat sebelah karena terguyur hujan disalah satu sisinya. Sejenak saya termenung dan teringat pada suatu kejadian yang kurang lebih tergambarkan dari pot dan pohon bunga melati tersebut, yaitu bencana likuifaksi. Akhirnya hal tersebut berhasil memotivasi saya untuk segera meninggalkan acara melamun tak produktif itu. Lalu, bergegas membuka buku serta laptop, untuk sekedar mengingat kembali peristiwa tersebut dan berusaha berbagi informasi kepada teman-teman semua tentang potensi terjadinya likuifaksi ini, khususnya di Yogyakarta. Yuk, disimak!

Hujan intensitas tinggi seperti saat ini tentu akan menimbulkan banyak dampak dan potensi bencana. Selain dampak langsung yang ditimbulkan seperti banjir bandang, genangan dan tanah longsor, hujan intensitas tinggi berkepanjangan ini juga mempunyai dampak tidak langsung seperti fenomena likuifaksi (liquefaction) yang tentunya harus kita waspadai.

Fenomena likuifaksi akan terjadi hanya jika 3 syarat ini dipenuhi, yaitu:

1. Jenis tanah adalah kepasiran (berbutir kasar)
2. Muka air tanah berada di level yang dangkal (biasanya pada saat musim hujan)
3. Terdapat getaran gempa intensitas sedang s/d tinggi dengan durasi yang relatif panjang (Lebih dari 5 Skala Richter)

Yogyakarta telah memenuhi syarat ke 1 dan ke 2, karena Yogya dianugerahi tanah kepasiran yang mudah menyerap air, sehingga otomatis muka air tanah akan menjadi tinggi (dangkal) pada saat musim hujan datang. Mari berdoa bersama semoga syarat ke 3 di atas tidak akan terjadi di saat seperti ini dan likuifaksi tidak akan terjadi di Yogya. Karena peluang terjadinya likuifaksi ini sangat dipengaruhi oleh kejadian gempa tipe sedang sampai tinggi.

Tentang Fenomena Likuifaksi

Secara sederhananya, likuifaksi dapat diartikan sebagai peristiwa perubahan sifat tanah (kepasiran) hingga menjadi seperti bubur. Secara teoritisnya, likuifaksi adalah peristiwa hilangnya kekuatan tanah akibat perubahan tekanan air pori secara spontan yang dikarenakan adanya suatu getaran. Peristiwa ini akan menyebabkan runtuhnya bangunan diatas tanah, terutama bangunan yang mempunyai beban berat seperti gedung tingkat tinggi. Daripada pusing memahami pengertiannya, silahkan simak video-video ilustrasi yang menjelaskan tentang kejadian liquifaksi dibawah ini.😊

1. Video ilustrasi terjadinya peristiwa likuifaksi. 

2. Video Ilustrasi dan analisis teoritis keruntuhan tanah akibat likuifaksi.

3. Peristiwa likuifaksi di Jepang.

4. Peristiwa likuifaksi akibat Gempa Christchurch, Selandia Baru. 

Mengenai syarat ketiga dari peristiwa likuifaksi tersebut, tentunya kita semua tidak mengharap gempa terulang lagi, apalagi jika peristiwa ini terjadi sungguhan di Yogya. Namun, sebaiknya kita harus selalu waspada dan tanggap jika gempa terjadi sewaktu-waktu, karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Yogya ini kodratnya berada di titik yang sangat berpotensi terjadi gempa. Mungkin data statistik bencana alam dari dibi.bnpb.go.id ini bisa menggambarkan kepada teman-teman semua, betapa seringnya kejadian gempa menimpa Provinsi D.I. Yogyakarta sejak tahun 2000 sampai dengan 2017.

Sumber : dibi.bnpb.go.id

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dalam rentang 17 tahun, Provinsi D.I Yogyakarta mengalami 10 kejadian gempa atau dapat diartikan bahwa Yogya mengalami gempa tiap 1,7 tahun sekali. Bukannya menakut-nakuti, tapi memang begitu adanya. Dengan tulisan ini saya hanya ingin sharing ilmu dan informasi saja, tentunya dengan harapan akan dapat menambah kewaspadaan teman-teman semua.

“Eh sebentar, Bro, gempa dahsyat tahun 2006 lalu kok ngga ada kejadian likuifaksi, ya?” Nah, gempa dahsyat tahun 2006 itu kebetulan terjadi pas musim kemarau, Bro, jadi syarat nomer duanya tidak terpenuhi. Untung, Bro.

Sekali lagi, kita semua patut berharap dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memohon agar jatuh tempo gempanya jangan terjadi di saat-saat seperti ini.

“Wah, kalo dipikir-pikir, ngapain kita takut likuifaksi, Bro, lha wong pemerintahnya aja ngga takut kok sama ancaman tsunami. Sebut saja proyek itu NYIA, Hehe”

Ridwan AN 
PijakID 

Kategori
Society

Punya Garasi Dulu, Baru Beli Mobil

Sumber: Pos Kota News
Entah dari mana kita mendapatkan hasrat untuk berlomba-lomba menguasai jalanan. Kondisi hari ini menunjukkan bahwa hasrat itu sudah kelewatan. Kita semakin tidak sadar bahwa bangunan jalan di ruang publik adalah milik bersama. Jalan adalah fasilitas publik, bukan milik perseorangan. Kecuali jalan yang dibangun sendiri oleh seseorang atau perusahaan di tanah miliknya.

Menjadi pemandangan sehari-hari bagi kita kendaraan yang parkir di badan jalan. Apalagi jika kita tinggal di wilayah yang sudah dipenuhi tembok rumah. Jalanannya menjadi sempit. Kemudian orang-orang yang punya kendaraan memarkirkan kendaraannya di jalan depan rumahnya. Akibatnya, lebar jalan menjadi semakin sempit. Terutama kalau yang parkir mobil. Setengah lebar jalan bisa hilang. Orang-orang yang lewat situ menjadi kesulitan.

Begitulah. Kehidupan semakin berubah. Ada yang bilang negara kita semakin maju. Semakin banyak orang yang mampu membeli mobil. Di daerah-daerah terpencil, punya mobil menjadi ukuran kesuksesan merantau. Ketika kita punya mobil, berarti kita sudah sukses. Mobil itu dibawa pulang ke kampung halaman untuk memancing tetangganya ikut dia merantau. Biar bisa punya mobil juga.

Tetapi kemajuan-kemajuan itu tidak dibarengi oleh keberesan dalam berpikir. Orang masih saling menindas. Orang masih terus punya hasrat menguasai yang lain. Orang masih meniru cara-cara penjajahan.

Memikirkan hal ini seperti melihat Kota Ilheus, Brasil dalam novel Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis garapan Jorge Amado. Ilheus memang berkembang. Jalanan diperpanjang. Produksi kakao meningkat. Rumah-rumah semakin bagus. Pelabuhan dikembangkan. Tetapi hasrat saling bunuh untuk melanggengkan kekuasaan, yang merupakan cara lama, masih terus berlanjut. Pembunuh bayaran masih beroperasi menyasar para pengganggu penguasa kota. Suami masih membunuh istrinya yang ketahuan selingkuh, sekaligus selingkuhannya. Para kolonel masih “memelihara” gundik. Fisik kota berubah, tapi mental warganya masih berkubang di lumpur yang sama.

Seperti kita. Jalan semakin panjang, halus, berkelok-kelok, dan terbang. Tetapi kemudian jalan itu menjadi tiada guna karena terus dipenuhi oleh kendaraan yang saling egois. Seperti kata ahli matematika dari Jerman, Dietrich Braess, “penambahan panjang jalan dan fly over di daerah perkotaan akan memacu pertumbuhan kendaraan pribadi yang akan menyebabkan bertambahnya kemacetan lalu lintas”. Intinya, pembangunan jalan itu anomali. Sebabnya, kita masih didominasi rasa egois. 

Mobil semakin bagus dan murah. Tetapi mental untuk memakai mobil dengan terhormat tidak kunjung berubah. Mobil diparkir di jalan depan rumah. Tidak peduli tetangga kita kemudian kesulitan lewat jalan tersebut. Mobil parkir seenaknya di pinggir jalan untuk mampir sebentar ke toko makanan. Tanpa kita sadar bahwa mobil tersebut telah mengambil hak orang lain untuk menggunakan jalan.

Baca juga: Sebelum Bandara Kulon Progo Berdiri

Ketika Pemerintah Daerah Jakarta kembali menegakkan aturan bahwa setiap orang yang ingin membeli mobil harus punya garasi, kita teriak itu melanggar HAM. Aturan yang sudah tertuang jelas di Pasal 140 Perda DKI No 5/2014 itu dianggap acuh terhadap hak setiap orang untuk memiliki kendaraan yang akan digunakan untuk bekerja. Jadi, begini. Wewenang negara dalam kerangka HAM ada dua tipe: pasif dan aktif. Pasif ketika hal tersebut tidak mengganggu hak orang lain. Misalnya, hak kebebasan beragama dan tidak beragama. Selama hal itu tidak mengusik orang lain, negara tidak boleh ikut campur. Tetapi ketika praktik agama seorang sudah melanggar hak orang lain dari kaca mata hukum, negara wajib aktif. Sama seperti mobil yang harus bergarasi. Seseorang boleh saja memiliki mobil sebanyak-banyaknya. Tetapi jika mobil itu dijejer di jalan depan rumahnya, maka negara wajib terlibat.

Keterlibatan pemerintah sudah diberi ruang oleh Perda tersebut. Pemerintah akan menerbitkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) jika si calon pemilik punya surat bukti kepemilikan garasi. Surat tersebut dikeluarkan oleh lurah setempat. Sehingga, para lurah punya fungsi yang sangat penting untuk menyukseskan niat baik ini.

Garasi di sini tidaklah harus ruangan tertutup. Mobil bisa diparkir depan rumah asalkan tempat tersebut bukan ruang milik jalan. Bahkan si calon pemilik bisa menyewa garasi. Sebab niat batin dalam penyusunan peraturan ini adalah nafas kepentingan bersama.

Sepanjang penelusuran saya, baru Jakarta yang punya aturan pemilik mobil harus punya garasi. Tentu saya bisa salah. Apalagi dengan kondisi media saat ini yang bicara Jakarta melulu. Namun, intinya, ini adalah aturan yang bagus. Tiap-tiap daerah perlu menerapkannya. Dan kontrol atas kebijakan itu adalah kita semua.

Dandy IM

PijakID

Kategori
Society

Izin Mendirikan Tempat Berteduh

Sumber: Yogyes

Apa yang paling enak dilakukan ketika hujan? Beberapa kawan memilih kelonan. Kawan yang lain memilih bobok. Ada juga yang lebih suka menonton film di laptop atau handphone. Tetapi, kawan saya yang paling gila bilang bahwa yang paling enak adalah berteduh. Buat apa kelonan, bobok, atau menonton film di bawah injakan kengerian kaki-kaki hujan? Itu hanya akan membuat badanmu menggigil dan gadget-mu rusak. Berteduh dulu, baru kelonan.

Maka, sebagian besar manusia butuh berteduh ketika hujan. Kecuali anak-anak yang ketagihan main bola sambil basah-basahan. Pemancing yang tahu bahwa ikan laut lebih lapar ketika hujan juga bakal rela hujan-hujanan.

Sayangnya, tidak semua manusia mendapatkan tempat berteduh yang nyaman. Sebagian orang bisa berteduh di balik dinding bata dan atap beton. Sebagian yang lain masih terkena rembesan hujan dari celah kardus. Bahkan ada yang hanya bisa memanfaatkan ruang di bawah jembatan sambil menekuk lutut.

Tentu tidak perlu menjadi pejuang HAM untuk mengatakan bahwa tempat berteduh yang layak adalah hak setiap manusia. Karena bumi ini terlanjur dibagi-bagi menjadi 196 negara, berarti pengurus negara yang punya kewajiban mewujudkan hal itu. Sayangnya, pengurus negara punya standar ganda dalam memberikan penilaian kelayakan suatu bangunan yang akan atau sudah didirikan. Menjadi ironis jika sifat tersebut juga menular pada kita. Misalnya, yang terjadi di Yogyakarta.

Kita menyesalkan banyaknya rumah yang berdiri di bibir Kali Code ketika tebing di daerah tersebut longsor. Memang, setidaknya tiga tahun terakhir, setiap tahunnya terjadi longsoran tebing di beberapa titik. Dua atau tiga titik bahkan sudah pernah diperbaiki tahun sebelumnya. Analisis Pijak menjelaskan ada yang salah dalam penanganan masalah tersebut. Kita menuding para warga yang rumahnya mepet kali adalah penyebab keruntuhan itu. Secara peraturan memang betul. Dalam aturan perizinan mendirikan bangunan Kota Yogyakarta, setiap rumah yang akan dibangun di pinggir kali atau sungai harus mendapatkan rekomendasi dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Salah satu persyaratannya, rumah harus berjarak minimal tiga meter dari kali atau sungai. Memang banyak rumah yang tak memenuhi persyaratan itu.

Tetapi kita sering kali tidak adil. Mungkin ketidakadilan itu juga dipengaruhi oleh ketidaktahuan. Padahal, runtuhnya tebing Kali Code “hanya” membahayakan bangunan di dekat situ. Rumah-rumah yang jauh dari situ tentu tidak akan terdampak. Tetapi para penghuni “rumah jauh” itu mungkin punya jiwa lingkungan yang luhung. Mereka kerap kali berkomentar bahwa orang-orang pinggir kali “mendirikan rumahnya nggak mikir-mikir”.

Baca juga: Kotak Kuning Pengatur Lalu Lintas

Padahal hotel, mall, apartemen, atau bangunan jenis lainnya yang langsung berjendela ring road sehingga menjadi penyumbang besar terhadap kemacetan tidak menjadi bahasan menarik bagi kita. Bangunan-bangunan itu punya akses langsung masuk ring road yang berkelas Jalan Nasional. Hal itu tentu melanggar hierarki jaringan jalan. Secara prinsip tata ruang ngawur. Mungkin karena kendaraan pribadi sudah mendarah-jantung, kini bangunan-bangunan di kota berlomba-lomba paling dekat ke badan jalan. Tengok saja bangunan yang berada di kanan-kiri Jalan Kaliurang yang dekat UGM. Seluruhnya menjadi penyumbang hambatan samping terbesar. Namun apakah kita pernah mengeluh, misalnya di sosial media, tentang persoalan itu? Mari kita jangan meremehkan sosial media. Pengurus negara ini juga memantau sosial media. Dan sebaiknya tidak ada yang dijadikan alasan untuk pesimis. Sebab perubahan dimulai dari hari ini.

Persoalan macet tentu saja sangat berpengaruh pada kita ketimbang runtuhnya tebing kali. Terutama bertambahnya jumlah usia kita yang habis di jalanan. Pemkot Yogyakarta dan Pemda Sleman sebetulnya juga menyaratkan bahwa semua bangunan wajib melakukan kajian dampak lalu lintas bila diperlukan (dekat dengan jalan). Tetap kenapa hal ini jarang sekali menyedot perhatian kita ketika ada yang melanggar? Apakah kita sudah menilai hal itu sebagai sesuatu yang wajar? Apakah pejuang lingkungan menganggap persoalan tersebut tidak masuk dalam ranah lingkungan?

Sesungguhnya persoalan lalu lintas sangat masuk dalam bahasan lingkungan. Sebab bidang itu juga berpengaruh pada kelanjutan hidup kita.

Dandy IM
PijakID