Kategori
Society

Lagu Aisyah Emang Lagi Viral, tapi Kenapa Harus Dibandingkan dengan Novel?

Saat sedang menulis artikel ini, saya baru saja menengok trending YouTube yang agak berbeda dari biasanya. Konten-konten berfedah seperti obrolan Pak Anies dengan Deddy Corbuzier masuk jajaran trending. Namun, dari jajaran satu sampai lima,  nggak ada tuh video dari keluarga petir ataupun video unboxing. Alhamdulillah~

Seperti biasa, saya akan nonton video yang menurut saya menarik di jajaran trending. Nggak disangka, selain berita tentang COVID-19, ternyata trending nomor satu ditempati oleh lagu Aisyah yang dicover oleh grup musik Sabyan Gambus. Mulanya, saya enak-anak aja mendengarkan suara Mbak Nisa, tapi tiba di lirik yang berbunyi “bukan persis novel mula benci jadi rindu” saya jadi agak mikir. Lha emang kenapa sih sama romansa novel? Apa penulis lagunya kehabisan ide atau emang sentimen banget sama novel?

Aisyah… sungguh manis sirah kasih cintamu
Bukan persis novel mula benci jadi rindu

Mendengarkan penggalan liriknya saja, saya malah jadi merasa terbebani. Entah kenapa seperti ada beban gitu di dalam lagunya. Meskipun terdengar sepele, saya khawatir lagu tersebut dapat menimbulkan implikasi yang tidak semestinya. Impresi yang saya tangkap dari lirik ini adalah bahwa kisah Aisyah ini termasuk dalam bagian sejarah hidup Rasulullah dan tentunya lebih unggul daripada kisah cinta romansa yang ada dalam novel, khususnya yang mengisahkan kisah benci jadi rindu.

Kalau memang benar hal itu yang ingin disampaikan oleh penulis, saya bisa bantah dengan dua hal. Yang pertama, itu novel zaman kapan sih yang ceritanya soal benci jadi rindu? Penulis lagu Aisyah ini bacanya novel apa sih? Saya penasaran deh.

Novel-novel karya sastrawan Habiburrahman El-Syirazi, NH Dini, Eka Kurniawan, dan lain-lain alurnya nggak semonoton itu deh kayanya. Malahan yang lebih sering saya lihat mula benci jadi rindu itu adanya di FTV. Itu lho, tayangan tv siang-siang yang orang miskin jatuh cinta sama orang kaya yang nggak sengaja nabrak dia, terus akhirnya jadian.

Saya curiga, penulis lagu ini nggak baca novel sebenarnya, tapi malah keseringan menonton FTV. Hanya karena merasa novel leih cocok dimasukkan ke dalam lirik, yaudah makanya dipilih lah kata novel sebagai pelengkapnya.

Bantahan kedua saya mengarah pada kalimat majemuk dalam lirik yang seolah ingin menyiratkan ide bahwa alur cerita “benci jadi rindu” itu rendahan. Atau setidaknya jauh lebih rendah dibanding kisah cinta Rasulullah dan Aisyah. Ya nggak apa-apa juga sih mau menganggap seperti itu, tapi asal tau aja nih ya, alur cerita benci jadi rindu itu amanat hadis lho! Hehehe.

Nggak percaya? Yuk dibuka kitab hadisnya. Dalam kitab Sunah At-Tirmidzi no. 1997 dijelaskan bahwa kita dianjurkan untuk mencintai dan membenci secara sewajarnya, karena bisa saja di saat yang lain perasaan kita akan berubah 180 derajat.

Cintailah orang yang engkau kasihi sekedarnya saja karena boleh jadi kelak engkau akan membencinya. Bencilah orang yang engkau benci juga sekedarnya saja karena boleh jadi kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai. (HR. Tirmidzi no. 1997, Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 1321)

Lah terus hubungannya apa sama alur cinta benci jadi rindu? Kisah-kisah roman FTV, eh novel deng, kalau kata penulis lagu Aisyah, yang benci jadi cinta itu biasanya ditandai dengan benci yang amat sangat, lalu suatu ketika jatuh cinta. Hal ini sebenarnya merupakan contoh konkret tentang bagaimana hadis yang saya paparkan di atas bekerja.

Pun amanat ceritanya juga memiliki arah yang sama seperti hadis tadi, yaitu membenci atau mencintai orang sewajarnya saja. Jadi, nggak perlu lah ya dipandang sebelah mata. Bagus juga kok amanat cerita benci jadi rindu ini.

Selain itu, saya juga ingin menyampaikan bahwa sebagai pendengar musik dan penikmat kisah-kisah sejarah, saya justru lebih ingin mendengar kisah Aisyah sebagai seorang perempuan tangguh yang pernah memimpin perang. Aisyah yang juga dikenal sebagai perempuan cerdas diriwayatkan tak kurang dari dua ribu hadis.

Sebenarnya nggak apa-apa juga mengenang kisah cinta Nabi dengan istrinya, toh bagus-bagus aja kok. Namun, menurut saya pribadi, setiap orang punya keunikan kisah romantisnya sendiri-sendiri, sehingga yang lebih penting untuk ditiru dari sosok Aisyah adalah bagaimana ia menjadi perempuan yang tangguh dan cerdas. Sayang sekali, narasi ini jarang muncul di dalam cerita sejarah, begitu pula di dalam lagu Aisyah ini.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Yang lebih penting untuk ditiru dari sosok Aisyah adalah bagaimana ia menjadi perempuan yang tangguh dan cerdas. Sayang sekali, narasi ini jarang muncul di dalam cerita sejarah, begitu pula di dalam lagu Aisyah ini.[/mks_pullquote]

Meskipun begitu, saya berterima kasih kepada siapa pun yang menciptakan lagu ini. Terima kasih juga untuk teman-teman Sabyan Gambus yang telah membawa lagu ini ke telinga saya. Meskipun saya kurang setuju dengan liriknya, tapi saya jadi punya waktu untuk mengingat bahwa dalam sejarah Islam ada perempuan-perempuan tangguh, cerdas dan mandiri seperti Aisyah dan ibunda Khadijah.

Kategori
Society

COVID-19: Masa Depan Bumi dan Kesenjangan Sosial

Dunia sedang digegerkan oleh menyebarnya SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19. Cepat menular antar-manusia, dan bisa mengakibatkan kematian. Peluasan dan percepatan penyebaran SARS-CoV-2 difasilitasi oleh kemajuan teknologi transportasi beserta infrastrukturnya yang memungkinkan manusia berpindah tempat secara cepat, dengan jarak yang jauh, untuk saling berinteraksi. Sementara itu, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi – terutama internet – memungkinkan pengetahuan dan kabar seputar virus ini juga menyebar secara cepat dan meluas. Termasuk hoaks dan berita palsu. Bukan hanya pengetahuan dan kewaspadaan yang diciptakan dan dipertukarkan, namun juga kepanikan.

Ada saatnya ketika suatu materi mikro tertentu muncul di planet bumi dan mengganggu bekerjanya organ tubuh manusia, sehingga menimbulkan penyakit yang bisa mengakibatkan kematian. Katakanlah materi mikro tersebut adalah mikroorganisme seperti bakteri atau virus (anggap saja virus sebagai organisme, meski ada yang tidak sependapat). Percepatan dan perluasan mobilitas manusia juga mempercepat dan memperluas penyebaran mikroorganisme tersebut antar-manusia. Tidak adanya tempat yang terisolasi mengakibatkan tidak ada rintangan bagi perpindahan atau penyebaran mikroorganisme tersebut ke berbagai tempat, meloncat ke semua tubuh manusia yang ada di muka bumi.

MASA DEPAN BUMI

Jika mikroorganisme yang mengakibatkan penyakit tersebut berhasil membinasakan seluruh manusia di bumi – misal karena tubuh manusia tidak bisa melawannya, atau tidak ada obat pembunuhnya – maka manusia (homo sapiens) tidak ada lagi di planet bumi. Tidak ada yang tersisa. Pada saat itu, sejarah manusia telah selesai. Apa yang mungkin terjadi kemudian?

Setelah manusia lenyap dari planet bumi, maka ekosistem di bumi mengalami perubahan atau penyesuaian. Puncak rantai makanan tidak lagi diduduki oleh manusia. Hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan akan memulai perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan tanpa ada intervensi manusia. Predator-predator dan mangsa-mangsa di bumi akan tetap ada, namun tanpa kehadiran manusia. Terjadi penyesuaian-penyesuaian baru.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Kepunahan manusia mungkin menjadi awal kemunculan kembali keragaman kehidupan organisme lain. Kiamat bagi manusia ternyata bukan kiamat bagi organisme-organisme lain di bumi.”[/mks_pullquote]

Artefak-artefak fisik hasil kebudayaan manusia, yang telah ditinggalkan oleh manusia, akan menjadi wahana bagi perkembangan kehidupan organisme-organisme non-manusia. Kapal-kapal yang karam di pantai akan menjadi terumbu karang di dasar laut. Tumbuh-tumbuhan mulai muncul di bangunan-bangunan gedung atau rumah, bandara-bandara, pelabuhan-pelabuhan, jalan-jalan, dan sebagainya. Organisme herbivora menggantungkan sumber energi pada tumbuh-tumbuhan yang beragam tersebut. Kemudian, organisme herbivora dimangsa oleh organisme carnivora dan omnivora, di dalam sebuah rantai makanan.

Saat itu, daratan, air, dan udara bersifat ideal bagi wahana kemunculan kembali berbagai tumbuhan dan hewan secara lebih beragam karena tidak ada lagi zat-zat kimia buangan atau limbah aktivitas manusia yang menjadi penghalang bagi kemunculan dan perkembangan berbagai organisme tersebut. Planet bumi seolah kembali ke keadaan sebelum manusia menempati puncak rantai makanan, sebagai predator tertinggi. Tidak ada “bencana” bagi flora dan fauna yang diakibatkan oleh manusia. Kepunahan manusia mungkin menjadi awal kemunculan kembali keragaman kehidupan organisme lain. Kiamat bagi manusia ternyata bukan kiamat bagi organisme-organisme lain di bumi. Tidak ada yang memburu hewan secara masal, tidak ada yang menghilangkan flora secara meluas.

Namun jika mikroorganisme tersebut bisa dikalahkan, disingkirkan, dibunuh, maka eksistensi manusia di planet bumi akan terus berlanjut. Mungkin mikroorganisme tersebut disingkirkan melalui usaha manusia, misal dengan penciptaan obat atau vaksin. Dengan demikian, manusia melakukan serangan balik pada mikroorganisme, dan mikroorganisme kalah.

Kemungkinan lain, mikroorganisme disingkirkan oleh sebab-sebab natural, yang bisa saja tidak pernah diduga oleh manusia. Misal, terjadinya evolusi pada tubuh manusia yang mengakibatkan tubuh manusia secara natural bisa mengalahkan atau mengendalikan mikroorganisme bersangkutan. Mungkin juga sebab natural lain, semisal perubahan cuaca atau iklim yang kemudian melenyapkan mikroorganisme tersebut. Atau sebab-sebab lainnya. Pada intinya, manusia tetap hidup, tidak punah.

Manusia akan melanjutkan sejarahnya lagi. Manusia akan tetap menempati puncak rantai makanan di planet bumi. Manusia akan kembali meneruskan eksploitasi terhadap apa yang ada di planet bumi (organik maupun anorganik) untuk kepentingan mempertahankan dan melangsungkan kehidupan manusia.

Berbagai tumbuhan dan hewan memang dibudidayakan oleh manusia. Didomestifikasi dan dipertahankan keberadaannya. Dipelihara atau ditangkarkan untuk dikonsumsi ataupun sekadar sebagai hiburan. Namun – sebagai dampak keberadaan manusia – tidak sedikit dari flora dan fauna kemudian tersingkir, punah dari planet bumi, secara disengaja (misal diburu atau dihancurkan oleh manusia) ataupun tidak disengaja (misal, habitatnya hilang karena telah dialihfungsikan oleh manusia). Kepunahan beberapa tumbuhan dan hewan tidak terelakkan. Ini adalah dampak natural dari keberadaan manusia yang selama ini telah terjadi.

EFEK YANG BERBEDA

Suatu serangan mikroorganisme – yang merusak organ vital manusia sehingga bisa mengakibatkan kematian – bisa saja tidak mengenal identitas kultural (agama, suku, bangsa, negara, dll). Menginfeksi semua manusia dengan latar belakang kultural yang beragam. Selama masih berada di dalam spesies manusia, mikroorganisme tersebut akan menyebar antar-individu. Mungkin akan ada orang-orang tertentu (misal, berdasar usia atau sejarah kepemilikan penyakit) yang akan mengalami pemburukan kesehatan saat terinfeksi mikroorganisme menular tersebut, yang itu tidak terjadi pada orang-orang “sehat” lainnya.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Masyarakat dari kelas atas maupun kelas bawah bisa saja sama-sama terinfeksi mikroorganisme penganggu. Namun, masyarakat dari kelas sosial-ekonomi bawah akan mengalami pemburukan ganda, yakni gangguan kesehatan tubuh (tubuh sakit) dan kelumpuhan kelangsungan kehidupan ekonomi.”[/mks_pullquote]

Hanya saja, semua gangguan tersebut seringkali berbeda dampaknya pada tiap-tiap manusia dengan latar belakang kelas sosial-ekonomi tertentu. Perbedaan latar kelas sosial dan penguasaan sumber daya ekonomi menyebabkan perbedaan dampak sosial-ekonomi. Suatu hierarki sosial ciptaan manusia, yang membagi-bagi kadar previlise, telah mendiskriminasikan dampak sosial-ekonomi di antara anggota masyarakat. Semua kelompok kelas-kelas bisa sama-sama terganggu secara sosial-ekonomi, namun dengan kadar yang berbeda.

Masyarakat dari kelas atas maupun kelas bawah bisa saja sama-sama terinfeksi mikroorganisme penganggu. Namun, masyarakat dari kelas sosial-ekonomi bawah akan mengalami pemburukan ganda, yakni gangguan kesehatan tubuh (tubuh sakit) dan kelumpuhan kelangsungan kehidupan ekonomi. Kelangsungan kehidupan ekonomi mudah lumpuh dikarenakan ketiadaan atau kurangnya kepemilikan sumber daya ekonomi. Kekurangan sumber daya ekonomi itu sendiri sering berada di dalam lingkaran-setan dengan kondisi kekurangan dalam hal sumber pengetahuan (pendidikan), perawatan kesehatan, pemukiman, juga previlise sosial-kultural.

Peristiwa sakitnya tubuh manusia akibat gangguan mikroorganisme adalah berada di dalam wilayah determinisme alam (sebab-akibat), berada di luar kesadaran manusia. Adalah suatu peristiwa natural ketika sebuah mikroorganisme mencari tempat untuk bisa aktif (hidup), meski kadang bisa merugikan organisme lain, termasuk tubuh manusia.

Sedangkan peristiwa kelumpuhan ekonomi seseorang dari kelas bawah sebagai dampak atas peristiwa sakitnya tubuh orang tersebut dikarenakan serangan mikroorganisme, maka hal ini tidak semata berada dalam konteks determinisme alam (jika memang dianggap demikiran), namun juga melibatkan faktor motif, dan faktor motif ini berkaitan dengan kehendak (will) manusia.

Dengan demikian, perbedaan dampak sosial-ekonomi pada setiap manusia (dikarenakan perbedaan syarat-syarat sosial-ekonomi di antara mereka) atas peristiwa sakitnya seseorang karena gangguan mikroorganisme juga merupakan peristiwa kultural, bukan semata peristiwa natural. Kesenjangan kelas-kelas sosial-ekonomi antar manusia merupakan hasil dari praktek-praktek dan gagasan-gagasan kehidupan sosial yang diciptakan manusia, digerakkan oleh motif-motif, diperintahkan oleh kehendak manusia. Justru faktor motif dan kehendak ini yang seharusnya sebelumnya dapat diketahui, diprediksi, diantisipasi, direkayasa, agar dampak buruk sosial-ekonomi (bencana sosial-ekonomi) atas suatu peristiwa natural bisa dikendalikan dan diatasi, termasuk dicegah. Motif-motif dan kehendak-kehendak sosial-ekonomi, yang menciptakan kesenjangan kelas-kelas sosial-ekonomi, yang mengakibatkan perbedaan dampak sosial-ekonomi ketika suatu bencana terjadi.

Kategori
Infrastruktur Transportasi

Manajemen Waktu Konstruksi Prasarana Perkeretaapian

Corrugated Mortar Busa Pusjatan Sebagai Solusi Perlintasan Tidak Sebidang

Perlintasan sebidang antara jalan raya dengan jalur kereta api sering kali menjadi titik konflik rawan kecelakaan. Titik konflik ini terjadi diakibatkan terdapat pengurangan kecepatan pada perlintasan sebidang sehingga terjadi penumpukan pada lokasi perlintasan. Kurangnya prasarana perlindungan perlintasan pun menjadi faktor tambahan yang membuat perlintasan sebidang menjadi rawan kecelakaan. Menurut Kementerian Perhubungan, pada tahun 2018 setidaknya terdapat 395 kasus kecelakaan kereta api pada perlintasan sebidang dengan total 245 korban.

Pada 18 April 2017 Kereta Lodaya menabrak sebuah minibus di perlintasan sebidang Jalan Perlintasan Langsung (JPL) 482, Desa Pucung Lor, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap. Minibus yang memiliki total 14 penumpang tersebut tertabrak kereta saat melintasi perlintasan sebidang untuk menuju acara pernikahan. Total korban jiwa sebanyak enam orang dan korban luka sebanyak delapan orang.

Setelah melalui proses yang panjang, pada September 2019 pemerintah melalui Kementerian Perhubungan memulai konstruksi perlintasan sebidang di JPL 482. Tipe konstruksi adalah overpass dengan menggunakan teknologi Corrugated Mortar Busa Pusjatan (CMP). Teknologi ini sudah beberapa kali digunakan antara lain Overpass Antapani di Bandung serta Overpass Manahan di Solo.

Metode konstruksi CMP membutuhkan pemasangan Corrugated Steel Plate (CSP) sebagai struktur utama overpass. CSP terdiri dari rangkaian plat baja yang disusun menjadi konstruksi pelengkung. Pemasangan pelengkung ini membutuhkan bantuan perancah sebagai pendukung agar struktur tidak jatuh pada saat proses pemasangan, perancah juga sebagai tempat mobilisasi bagi pekerja untuk melakukan pengencangan baut pada struktur CSP.

Proses konstruksi seperti ini akan sangat mudah dilakukan jika pada area kerja berupa jalan raya. Kendaraan dapat dengan mudah dialihkan dengan menggunakan sistem manajemen lalu lintas. Lain cerita apabila struktur dilakukan di atas jalan rel kereta api, kereta api tidak dapat dialihkan seperti kendaraan biasa.

Proses persiapan dan pemasangan struktur CSP memakan waktu selama 25 hari dengan rincian sepuluh hari membuat dudukan struktur dan lima belas hari melakukan perakitan. Permasalahannya, kereta api melewati area konstruksi dengan rata-rata interval 15 menit, yang mana mustahil untuk melakukan perakitan CSP di atas jalur kereta api jika hanya membandingkan antara lama konstruksi dengan ketersediaan waktu. Lalu bagaimana solusi dari permasalahan konstruksi tersebut?

Rekayasa Metode Konstruksi dan Pemanfaatan Window Time Kereta Api

Untuk dapat melakukan pemasangan CSP di atas jalur kereta api maka tidak bisa menggunakan metode pemasangan yang sama seperti di atas jalan raya. Perlu ada rekayasa metode konstruksi agar pelaksanaan dapat dilakukan dengan efisien. Pertanyaannya sekarang jika kereta api tidak bisa dialihkan maupun dihentikan operasionalnya, lalu bagaimana kita dapat memasang CSP di atas jalur kereta api? Sekarang saya perkenalkan kepada teman-teman semua sebuah konsep yang sudah lama dipakai dalam proses pembangunan, perawatan, dan peningkatan jalur kereta api, Window Time.

Window Time secara definisi merupakan jeda waktu antar kereta api yang dipergunakan untuk melakukan proses pembangunan, perawatan, dan peningkatan jalur kereta api. Perjalanan kereta api diatur dalam Grafik Perjalanan Kereta Api (Gapeka) dan penentuan Gapeka juga memasukkan Window time sebagai pertimbangan untuk pertimbangan perawatan prasarana perkeretaapian.

Window time dibagi menjadi dua karakteristik, karakteristik kereta commuter dengan karakteristik Kereta Api Jarak Jauh (KAJJ). Karakteristik kereta commuter adalah volume perjalanannya tinggi dan memiliki jarak yang rapat, namun jam operasional kereta commuter di atur tidak 24 jam, sehingga pada malam hari kereta commuter memiliki jam non operasional. Untuk KAJJ operasional dilakukan dalam waktu 24 jam namun jarak antar kereta tidak serapat kereta commuter. Misalkan kereta Commuter memiliki jarak kedatangan sebesar 5 menit maka KAJJ memiliki jarak kedatangan antara 10-150 menit.

Pelaksanaan konstruksi di JPL 482 berada di lintas KAJJ, pada lintas tersebut tidak terdapat kereta commuter, oleh karena itu karakteristik window time pada lokasi tersebut adalah tidak memiliki jam non operasional. Untuk mendapatkan waktu yang maksimal maka kita harus melihat jeda waktu terbesar pada Gapeka. Jeda waktu yang kita dapatkan dari Gapeka disebut dengan window time Gapeka.

Setelah kita mendapatkan slot waktu terbesar yang tersedia pada Gapeka, maka waktu tersebut bukanlah waktu yang menjadi acuan untuk melaksanakan kosntruksi. PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang akan menentukan berapa lama waktu yang kita miliki untuk melaksanakan kosntruksi tersebut. Waktu yang diberikan oleh operator kereta api pasti di bawah waktu yang kita dapatkan dari Gapeka dengan pertimbangan konstruksi harus selesai sebelum kereta akan melintasi area kerja. Waktu ini disebut dengan window time KAI.

Setelah kita mendapatkan window time yang kita miliki, kemudian kita melakukan rekayasa metode konstruksi sehingga kebutuhan waktu konstruksi kurang dari waktu yang kita miliki. Intinya, waktu konstruksi harus lebih kecil dari window time yang tersedia. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses konstruksi disebut dengan window time konstruksi.

Proses menentukan metode konstruksi terdiri dari dua hal utama, yaitu waktu dan sumber daya. Waktu pekerjaan harus lebih kecil dari waktu yang diberikan agar pekerjaan dapat selesai sebelum kereta selanjutnya dapat melintasi pekerjaan konstruksi. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya berupa alat dan tenaga, alat dan tenaga yang dimiliki kontraktor harus tersedia dan cukup untuk melaksanakan konstruksi tersebut.

Kesimpulannya, pekerjaan konstruksi kereta api dapat dilakukan di sela-sela perjalanan kereta api, kemudian total waktu konstruksi tersebut tidak boleh melebihi dari panjang jeda perjalanan kereta api. Manajemen sumber daya dan waktu yang baik harus diperhatikan serta diperhitungkan dengan matang agar kemungkinan terjadinya kegagalan konstruksi menjadi kecil.

Kategori
Transportasi

ODOL Sang Pembunuh Jalanan

Belum sampai sebulan lamanya, terjadi kecelakaan antara truk bermuatan kayu dengan bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) di ruas Tol Ungaran-Bawen pada tanggal 14 Februari 2020. Kecelakaan ini disebabkan oleh rantai yang menderek truk bermuatan kayu putus kemudian membuat truk bermuatan tersebut meluncur bebas ke arah Bus Sinar Jaya. Dua orang meninggal dunia dalam kejadian tersebut.

Kecelakaan juga terjadi di Tol Cipularang dengan tersangka utama dump truck yang mengalami rem blong. Setelah diselidiki oleh Traffic Accident Analysis (TAA) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terjadi pelanggaran muatan oleh dump truck sampai 300 persen dari beban yang disyaratkan. Truk tersebut melakukan pelanggaran berupa Over Dimension and Over Loading (ODOL).

ODOL sendiri merupakan istilah yang mulai terkenal di dunia transportasi. ODOL merupakan istilah yang menunjukkan sebuah kendaraan terutama barang yang memiliki beban dan dimensi angkutan melebihi persyaratan. Pada tahun 2019 total kecelakaan lalu lintas mencapai 116.395 kasus dengan sekitar 60 persen disebabkan oleh ODOL.

Fenomena ODOL merupakan permasalahan multi dimensi. Mulai dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian PUPR, Industri, Organda, Masyarakat, dan Pemerintah Daerah. Persoalan ODOL tidak hanya mencakup aspek transportasi saja namun sudah merambat pada permasalahan sosial ekonomi masyarakat.

Peristiwa ODOL mirip seperti kasus korupsi, sudah sering terjadi, banyak kasus, namun penindakan terhadap truk-truk ODOL masih kurang maksimal. Terdapat perbedaan kepentingan pula antara regulator transportasi dengan regulator industri. Industri mengeluh persoalan keuntungan perusahaan yang sempit jika harus patuh dengan aturan beban dan dimensi, sedangkan pengatur lalu lintas ingin mengurangi risiko kecelakaan akibat dimensi dan berat yang berlebihan.

Penindakan ODOL tidak boleh hanya memberikan denda kepada truk yang berat dan dimensinya berlebihan namun truk tersebut tidak diberikan izin untuk melakukan perjalanan. Tidak diberikannya izin melakukan perjalanan akan lebih memberikan efek jera terhadap perusahaan yang tidak mematuhi aturan. Respon pemerintah terhadap kendaraan ODOL pun perlu ditingkatkan.

Peningkatan yang bisa dilakukan antara lain adalah penegakan hokum oleh pemerintah serta kepatuhan oleh industri. Pengecekan kendaraan pun harus lebih teratur serta harus dilakukan penegakan hokum terhadap oknum jembatan timbang yang memberikan izin pada kendaraan ODOL.

 

Kategori
Infrastruktur

Pak Anies, Sudahlah, Buang Cepat-Cepat Air Hujan ke Laut

Jakarta dari zaman penjajahan memang sudah sering banjir. Tapi, janganlah fakta ini membuat kita menyerah untuk mencari solusinya. Sebab merugilah kaum yang hanya berpangku pasrah sambil menunggu keajaiban datang. Tidak ada keajaiban hari ini. Seluruhnya harus kita usahakan sendiri. Termasuk soal banjir.

Ide dan terobosan baru memang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah banjir. Namun ingat, ide-ide tersebut harus tetap realistis. Mengapa? Biar kita tidak mabuk khayalan. Yang kita butuhkan itu banjir teratasi, bukan hanya membayangkan.

Dan menurut saya, ide gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait penyelesaian banjir tidak realistis. Ia dan timnya punya ide untuk menyerapkan air hujan ke dalam tanah, alih-alih membuangnya cepat-cepat ke laut. Alasannya, jika air hujan dibuang cepat-cepat ke laut dengan memperlicin dinding-dinding sungai (membetonnya), maka banjir akan semakin besar daya rusaknya serta cadangan air tanah tidak terisi. Kondisi ini, menurut Pak Anies dkk., membuat Jakarta sering banjir di musim hujan dan kekurangan air tanah di musim kemarau.

Untuk mewujudkan ide tersebut, tim Anies Baswedan melaksanakan berbagai program yang diberi nama naturalisasi sungai. Mereka tidak ingin membeton dinding sungai karena menurut mereka, itu membuat sungai menjadi tidak natural. Mereka ingin sungai menjadi natural saja, kembali ke kondisi alam, yakni dengan memperbanyak tumbuh-tumbuhan di kiri-kanan sungai. Harapannya, nanti air hujan yang sudah masuk ke sungai bisa menyerap sedikit demi sedikit di samping sungai. Menurut mereka, dengan cara inilah banjir tidak meluas ke mana-mana.

Bagaimana dengan bantaran sungai yang sudah berubah menjadi hunian? Tim Anies Baswedan punya ide untuk mengubah wilayah ini menjadi perkampungan air. Maksudnya, jika musim hujan, warga diajak hidup bersama air. Rumah-rumah akan dibuat menjadi panggung. Lantai 1 memang dibiarkan tergenang. Ide ini didukung klaim bahwa daerah Jakarta dulunya memang daerah rawa. Jadi wajar jika mudah sekali tercipta genangan. Oleh karena itu, warga Jakarta sebaiknya tidak melawan genangan air, tapi hidup bersama air.

Ide ini tidak realistis karena lupa mempertimbangkan jenis tanah di Jakarta. [mks_highlight color=”#eeee22″]Sebagian besar tanah di Jakarta itu lempung. Tanah ini sangat lambat menyerap air.[/mks_highlight] Alhasil, bukannya banjir malah menyerap, tapi akan terus tergenang dalam jangka waktu yang lama. Penduduk pun akan semakin lama menderita. Akses air bersih dan makanan akan terus terganggu. Genangan air yang bertahan lama juga mudah sekali membawa penyakit. Dampak ekonomi, sosial, dan kesehatannya akan semakin mengerikan.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Ide naturalisasi dari Pak Anies Baswedan dkk. memang terlihat ramah lingkungan. Namun, cara ini tidak cocok diterapkan di Jakarta. Cocoknya di Bogor.”[/mks_pullquote]

Ajakan untuk hidup bersama air dengan mengubah konstruksi hunian menjadi rumah panggung juga tidak masuk akal. Bisa dibilang, seluruh rumah di Jakarta tidak bermodel panggung. Bagaimana mengubah bentuk rumah-rumah ini? Dananya dari mana? Dibebankan kepada warga sendiri? Taruhlah yang akan dibuat menjadi rumah panggung yang berada di bantaran sungai saja. Apakah menjadi realistis? Saya kira tidak. Selain itu, berbagai utilitas publik seperti kabel PLN, pipa air bersih, dan pipa air kotor sudah berada di bawah tanah. Apakah utilitas ini akan dibiarkan tenggelam?

Baca juga: Banjir Bukan Salah Hujan

Berdasarkan argumen-argumen di atas, maka saran saya kepada Pak Anies: sudahlah, pak, alirkan cepat-cepat air hujan ke laut. Buang secepat-cepatnya agar banjir tidak bertahan lama (kalau bisa malah gausah sampai terjadi banjir). Normalkan semua aliran sungai. Beton semua dinding-dindingnya. Ini demi hak warga mendapatkan hunian yang layak dan jaminan kesehatan. Untuk masalah cadangan air tanah, saya rasa tidak perlu dikhawatirkan. Air tanah di Jakarta jarang asat. Paling cuma kualitasnya yang memburuk (ini soal lain lagi, yaitu bagaimana mencegah pencemaran air tanah atau intrusi laut).

Ide naturalisasi dari Pak Anies Baswedan dkk. memang terlihat ramah lingkungan. Namun, cara ini tidak cocok diterapkan di Jakarta. Cocoknya di Bogor. Nah, mengingat Jakarta juga mendapatkan limpahan air yang begitu banyak dari Bogor, sebaiknya Pak Anies memberi saran kepada presiden agar memerintahkan bupati dan walikota terkait untuk melakukan pembenahan/naturalisasi kawasan Bogor. Di daerah inilah kawasan hijau mesti diperbanyak. Pembangunan villa dan hotel dimoratorium (dihentikan). Di kawasan inilah air hujan harus diresapkan ke dalam tanah sebanyak-banyaknya, bukan di Jakarta.

Kategori
Beranda Politik Society

Benarkah Agama Musuh Pancasila?

Beberapa waktu yang lalu, kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Yudian Wahyudi sempat membuat publik gempar bercampur aduk emosi. Pasalnya, beliau mengatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Pernyataan kontroversial ini menarik polemik dan menimbulkan keresahan terutama di kalangan pemuka agama. Memang, hal-hal seperti ini lumrah dan tidak menjadi delik ketika dibicarakan di dalam ruang akademik terlepas dari tingkat kebenaran yang terkandung dalam pernyataannya, karena fungsi ruang akademik sebagai tempat dimana suatu tesis akan diuji terus menerus tanpa berhenti pada suatu penghakiman mutlak. Hanya tentu saja, kata “musuh” di situ terkesan bermuatan sentimen, dan ada dorongan emosional. Sehingga, akan lumrah pula timbul reaksi yang berbeda ketika hal ini disampaikan di ruang publik. Sampai saat tulisan ini ditulis, reaksi publik dan pemuka agama masih terus bermunculan meskipun Yudian sudah memberikan klarifikasinya

Mengenai pernyataan beliau itu, hal yang paling mudah untuk mengujinya adalah melalui definisi. Definisi dari kedua entitas ini, agama dan Pancasila, sebenarnya bisa digolongkan dalam banyak bentuk tergantung kita mau mendefiniskan berdasarkan definisi apa. Selain itu, dua hal ini masing-masing memiliki banyak atribut di dalamnya. Secara umum misalkan kita bisa mengidentifikasi dua hal tersebut dalam atribut pemikiran, perilaku, dalil, ajaran, sila atau otoritas institusi yang berpegang pada dua entitas ini, atau bahkan agama apa yang ia bahas sebenarnya.

Maka, untuk saling mempertentangkan dua hal (agama dan Pancasila), ia harus dibahas dulu dalam tiap klasifikasi atribut yang sama dan spesifik. Selain itu sangat mungkin tiap atribut berhubungan dengan atribut lain, atau dengan kata lain suatu atribut akan dapat menyatakan kondisi atribut yang lain. Oleh karenanya perlu disusun secara valid dan diinduksikan secara umum dari semua klasifikasi tadi lantaran agama musuh Pancasila ini klaim kesimpulannya umum pula, tidak ada keterangan yang menunjukkan kekhususan pada atribut tertentu.

Yang harus dipahami dari mempertentangkan suatu hal dengan hal lain adalah tujuannya untuk membuktikan dua hal ini memang bertentangan, bukan membuktikan bahwa dua hal ini tidak nyambung. Bertentangan itu beda dengan tidak nyambung. Bertentangan artinya berlaku biner, dalam hal ini bermakna “agama atau Pancasila, kalau tidak Pancasila ya agama, kalau tidak agama ya Pancasila” sehingga tidak mungkin berlaku keduanya. Sementara, kalau persoalan tidak nyambung, ya bisa jadi dua hal dibahas dalam variabel domain yang berbeda, atau dalam satu variabel keduanya bisa berlaku bersamaan. Pernyataan Yudian, mendikotomi dua hal ini sehingga mengindikasikan bahwa agama dan Pancasila berlaku biner dengan kata “musuh” yang ia sematkan. Yudian bertanggungjawab untuk membuktikan secara umum berdasarkan masing-masing domainnya yang sama dan spesifik, Agama dan Pancasila memang bertentangan.

Mengamati pernyataan Yudian, saya berasumsi bahwa beliau berangkat dari domain toleransi sebagai premis. Okelah kita sederhanakan saja definisi Pancasila berdasarkan toleransi tadi sesuai dengan asumsi Yudian bahwa Pancasila itu toleransi, maka antithesis dari Pancasila adalah intoleransi, sehingga jatuh kesimpulan Yudian bahwa dalam hal ini agama yang menjadi musuh Pancasila, ini barangkali menurut Yudian.

Kemudian, Yudian memberikan fakta empiris tentang keberadaan oknum-oknum dan organisasi-organisasi keagamaan berpaham “radikal” dan intoleran, yang kemudian ia masukkan ke dalam bagian dari susunan premisnya. Yudian menitikberatkan atribut subjek agama, yakni, oknum dan organisasi tadi. Jadi ketika diformulasikan barangkali begini “ada organisasi agama yang intoleran, intoleran adalah musuh Pancasila, kesimpulannya agama adalah musuh Pancasila”. Argumen ini mungkin belum bisa dipertanggungjawabkan secara logis lantaran keterbatasan domain dari premis-premis yang disediakan di atas belum bisa mewakili semua atribut dan domain untuk bisa diinduksikan sebagai agama secara general. Apalagi menurut saya organisasi agama terlepas dari variabel agama yang lainnya, bukan merupakan ide utama yang menjelaskan apa itu agama. Akan berbeda hal barangkali ketika tiap premis di atas dapat dihubungkan dengan variabel lainnya, misalkan menghubungkan antara organisasi dengan ajaran, ajaran dengan kitab dan seterusnya sehingga terpenuhi keumumannya.

Suatu argumen dapat dikatakan logis adalah ketika tiap premisnya absah dan susunan premisnya valid. Contoh, “harimau itu menyusui, hewan menyusui itu mamalia, kesimpulannya harimau itu mamalia.” Premis harimau menyusui dan menyusui itu mamalia, dapat dikatakan absah, dengan susunan premis yang terhubung demikian adalah valid, maka kesimpulan bahwa harimau itu mamalia adalah logis. Sehingga, apabila salah satu tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan tidak logis.[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Beliau mengatakan “Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Istilah “minoritas” dalam pernyataan tersebut sebenarnya sudah mengingkari keumuman dari kesimpulannya itu sendiri[/mks_pullquote]

Sekarang misal kita menguji pernyataan yang lebih dispesifikkan, bukan lagi agama, tapi organisasi agama. Misal “organisasi agama adalah musuh Pancasila” dengan premis-premis yang sama seperti sebelumnya. “organisasi agama” yang tidak dispesifikkan pada organisasi tertentu maka akan berlaku general. General atau umum atau kebanyakan atau mayoritas artinya, memungkinkan adanya pengecualian, atau mentolerir adanya fakta yang berlainan atau berlawanan. General tidak sama dengan universal. Universal artinya keseluruhan. Untuk menyatakan keseluruhan perlu ada klaimnya, misal dengan kata “semuanya”, “setiap”, dan lain sebagainya. Maka konsekuensi dari pernyataan yang sifatnya general akan berbeda dengan yang sifatnya universal. Apabila terdapat suatu pengecualian atau kondisi tidak sesuai dengan pernyataan yang sifatnya general, maka tidak akan menggugurkan pernyataan yang general tadi selagi masih berlaku sifatnya sebagai yang umum atau kebanyakan. Tapi apabila klaimnya universal maka apabila ada satu saja pengecualian, maka pernyataan yang universal akan gugur atau batal. Contohnya, “harimau hidup di hutan” berbeda dengan “semua harimau hidup di hutan”. Fakta bahwa ada harimau yang hidup di sirkus tidak membatalkan pernyataan pertama tetapi membatalkan pernyataan kedua.

Kembali pada pernyataan bahwa organisasi agama adalah musuh Pancasila, untuk menguji keumumannya, kita perlu memverifikasi keabsahan fakta empirisnya, bahwa apakah benar secara umum atau kebanyakan organisasi agama itu musuh Pancasila, untuk memenuhi susunan premis bahwa organisasi agama itu intoleran dan yang intoleran itu musuh Pancasila, sehingga diperoleh kesimpulan logis bahwa organisasi agama itu musuh Pancasila. Saya tidak mau bersusah-susah untuk mencari data. Saya hanya ingin menguji argumen bukan membuat pernyataan sendiri. Maka saya cukup mengambil pernyataan Yudian sendiri untuk meruntuhkan argumen ini.

Beliau mengatakan “Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Istilah “minoritas” dalam pernyataan tersebut sebenarnya sudah mengingkari keumuman dari kesimpulannya itu sendiri, apalagi kalau entitasnya agama yang lebih luas domainnya dibanding organisasi agama, sehingga untuk pernyataan umum “agama musuh Pancasila” dengan keterbatasan domain dari premisnya itu, sudah gugur dengan sendirinya, oleh istilah “minoritas” yang disematkan Yudian sendiri, tanpa menafikan bahwa istilah “minoritas” itu ya emang subjek yang menganut agama.

Berdasarkan penjelasan panjang lebar saya di atas, maka dengan segala kebodohan saya dan tanpa ada dorongan emosional, saya menyatakan bahwa argumen Prof. Yudian Wahyudi tentang agama adalah musuh Pancasila adalah cacat dan sudah gugur dengan sendirinya oleh premisnya sendiri.

Kategori
Transportasi

Kebangkitan Otobus di Indonesia

Bus saat ini menjadi salah satu moda transportasi yang cukup dipertimbangkan dibandingkan dengan moda transportasi kereta api mau pun pesawat. Perusahaan Otobus (PO) mulai berlomba-lomba dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat setia pengguna bus. Ditambah lagi dengan kenaikan harga kereta api dan pesawat yang membuat masyarakat harus memilih alternatif lain dalam berpindah tempat.

Setiap bulan sepertinya ada saja model bus baru hadir untuk menambah armada angkutan bus. Bahkan, sekarang telah tersedia layanan sleeper atau kursi yang memungkinkan penumpang untuk merebahkan badannya secara full. Kondisi bus juga mulai diremajakan dengan armada terbaru agar kenyamanan penumpang dapat lebih ditingkatkan.

Dari segi harga, dapat dikatakan bahwa bus jauh lebih murah dibandingkan dengan kereta api. Dengan harga tiket ekonomi kereta api, penumpang bisa mendapatkan pelayanan eksekutif dari bus. Jangkauan bus pun lebih luas dibandingkan dengan kereta api, kereta api butuh prasarana yang rumit untuk membuka jalur baru, sedangkan bus dapat langsung menjangkau daerah tertentu dengan catatan jalan tujuan dapat dilalui bus.

Ekspansi bus untuk membuka rute baru menjadi jauh lebih fleksibel. Pembukaan rute pun tidak harus melulu tergantung oleh ketersediaan terminal. Bus bisa berhenti langsung di agen-agen yang berada di sepanjang perjalanan. Dengan catatan, pemberhentian tidak boleh mengganggu lalu lintas. Contoh saja jika kita menggunakan bus dari Jakarta menuju Yogyakarta, maka kita bisa berhenti di agen bus Kota Magelang, atau kota-kota yang dilalui bus tersebut.

Dari segi kenyamanan, bus pun lebih sunyi dibandingkan dengan kereta api. Kebanyakan di dalam bus sendiri sudah terdapat peredam suara agar suara dari luar tidak terlalu bising, dibandingkan dengan kereta api yang memiliki suara hentakan besi yang cukup mengganggu. Perjalanan bus pun lebih fleksibel untuk urusan buang air dan makan.

Di antara kelebihan-kelebihan yang sudah dijelaskan sebelumnya, tentu saja bus juga memiliki kekurangan dibandingkan dengan kereta api. Peningkatan kereta api dapat lebih besar dilakukan daripada dengan bus. Peningkatan kereta api bisa dengan membawa rangkaian lebih banyak, menambah kapasitas kursi, mau pun menambah perjalanan kereta api.

Emisi yang dihasilkan oleh kereta api pun lebih kecil dari pada bus. Seluruh rangkaian kereta api ditarik oleh sebuah lokomotif, memang jika dibandingkan dengan bus konsumsi bahan bakar lokomotif tentu akan lebih besar, namun perlu diingat bahwa satu buah lokomotif kereta api dapat membawa seluruh rangkaian kereta api. Anggap saja satu rangkaian kereta dapat membawa 500 orang penumpang sedangkan satu buah bus hanya mengangkut 40 orang, tentu saja rasio emisi perorang akan jauh lebih kecil.

Kereta api juga memiliki jalur tersendiri yang dilindungi oleh undang-undang. Undang-Undang No 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian menjelaskan bahwa pengendara motor harus mendahulukan perjalanan kereta api. Ekslusifitas ini berdampak pada ketepatan waktu perjalanan kereta api yang tidak terganggu oleh kemacetan.

Mengapa layanan bus jauh lebih murah?

Pada dasarnya, perbedaan yang membuat bus jauh lebih murah dari kereta api adalah masalah biaya. Sederhananya, biaya untuk mengoperasikan transportasi umum terbagi menjadi dua, yaitu biaya langsung dan biaya tak langsung. Biaya langsung terdiri dari komponen yang paralel dengan perjalanan seperti bahan bakar, biaya tol, biaya makan, dan biaya lainnya. Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak terkait langsung dengan perjalanan seperti modal membeli bus, bengkel, tempat pool parkir, biaya perijinan, dan lain-lain.

Pada otobus, biaya modal awal tentu saja relatif jauh lebih murah dari kereta api. Biaya satu unit bus lebih murah dari pada biaya satu kereta. Bus hanya perlu minimal memiliki lima armada sebagai persyaratan awal. Bus juga tidak perlu memiliki jalur sendiri karena bisa langsung menggunakan jalan yang sudah tersedia. Perawatan dan parkir bus pun lebih fleksibel dibandingkan dengan kereta api. Bus hanya memerlukan pusat bengkel sebagai tempat reparasi dan perawatan serta pool bus untuk memarkirkan kendaraan.

Perjalanan bus juga relatif lebih irit dari sisi manusia. Untuk satu kali perjalanan bus hanya membutuhkan supir dan pramugara, sedangkan pada kereta api komponen tambahan seperti penjaga perlintasan, persinyalan, petugas perawatan rel, dan komponen lainnya membuat biaya perjalanan menjadi semakin tinggi.

Tingginya biaya operasional kereta api disebabkan oleh kompleksnya sistem perjalanan kereta api serta membutuhkan standar keamanan yang sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan tenaga manusia dan teknologi yang terintegrasi satu sama lain agar perjalanan kereta menjadi lancar.

Mengapa waktu tempuh bus layak dipertimbangkan?

Hadirnya Tol Trans Jawa menjangkau daerah dari barat sampai timur Pulau Jawa. Sebelum hadirnya Tol Trans Jawa, bus harus melewati Jalur Pantura. Kekurangan dari Jalur Pantura adalah jalur tersebut menyatu dengan aktivitas warga dan banyak hambatan yang akan dirasakan oleh bus. Contohnya adalah pasar tumpah dan banyaknya Alat Pengatur Isyarat Lalu-Lintas (APILL).

Jalan tanpa hambatan membuat kecepatan rata-rata bus meningkat yang mana berimbas kepada terpotongnya waktu perjalanan. Banyak PO Bus yang tadinya berangkat ke Jakarta sehari sekali menjadi sehari dua kali dikarenakan terpotongnya waktu tempuh, bus jadi bisa dimanfaatkan seefisien mungkin.

Terpotongnya waktu tempuh ini sangat menjadi pertimbangan bagi pengguna jasa transportasi umum. Dulu penumpang malas naik bus karena lebih lama dari kereta, sekarang bus bisa menjadi pilihan karena tepat waktu.

Mengapa layanan bus lebih inovatif dibandingkan kereta api?

Kata kunci utama dari pelayanan bus yang lebih inovatif dibandingkan dengan moda kereta api adalah iklim persaingan yang kompetitif. Lain halnya dengan kereta api yang lebih monopoli, pelanggan relatif tidak punya pilihan selain memilih kelas sesuai kemampuan finansial. Suasana iklim kompetitif dalam dunia otobus membuat setiap PO harus memutar otak agar pelanggan menggunakan layanan mereka.

Peremajaan armada, perbaikan layanan, peningkatan kualitas kursi penumpang, ketepatan waktu, dan masih banyak lagi komponen yang terus dilombakan untuk menjadi yang terbaik. Jika dahulu kala orang tidak berani dan tidak nyaman untuk naik bus, sekarang pelan-pelan bus menjadi pilihan yang sangat dipertimbangkan.

Lalu apa yang dapat ditingkatkan agar transportasi bus dapat lebih menjadi pilihan penumpang?

Integrasi antara perusahaan otobus dengan regulator dari Kementerian Perhubungan perlu ditingkatkan dari segi Standar Pelayanan Minimum (SPM). Bukan hanya mengatur tentang sarana bus itu sendiri, namun juga mengatur tentang sistem dari hulu sampai hilir.

Penertiban terminal dari calo dan premanisme, pelayanan terminal yang lebih nyaman, regulasi untuk operator agar keselamatan dapat ditingkatkan, hingga memberikan kemudahan-kemudahan operasional agar bus dapat beroperasi dengan lebih cepat, nyaman, dan aman. Integrasi dengan transportasi lain juga perlu ditingkatkan agar keterjangkauan transportasi umum dapat meluas.

Kategori
Politik Society

Kebebasan Adalah Kamuflase, Diskursus Libertarian Omong Kosong

Menyoal tren yang cukup ramai belakangan, banyak orang yang merasa bijaksana lagi terbuka dengan pandangannya mengenai kebebasan, bebas berpendapat, bebas berkarir, bebas menentukan. Saya sih bukan mau menyalahkan atau menghalang-halangi kehendak orang sebagai bagian dari apa yang disebut manusia bebas itu, cuma sepertinya ada yang perlu kita perdebatkan perihal arti kebebasan bagi mereka yang mengklaim diri sebagai libertarian.

Apa yang saya mau coba bicarakan adalah pandangan soal otoritas tiap individu dikatakan sebagai dorongan murni dari dirinya, atas dirinya dan untuk dirinya, atau kata lainnya kehendak bebas, lah. Sehingga, pemenuhan atas dorongan tersebut adalah sah, dan bukan hanya sah, tetapi juga jalan paling sejati sebagai manusia. Pandangan ini menempatkan tanggung jawab dan hak dari pilihan bebas individu sudah selesai pada dirinya sendiri, sehingga tidaklah ada dan tidaklah boleh ada otoritas juga konsekuensi dari luar tubuh mengintervensi kehendaknya itu. Tidak ada dan tidak boleh ada itu urusannya agak beda, kita mungkin lebih membicarakan anggapan pertama bahwa tidak ada otoritas di luar individu yang mengambil alih sebagian atau keseluruhan dari kehendaknya.

[mks_pullquote align=”right” width=”350″ size=”25″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]”Otoritas jangan cuma dianggap sebagai instruksi atau larangan yang langsung, tertulis, terujar dengan jelas, melampaui itu, otoritas bisa jadi adalah sesuatu yang diam-diam dan tak terlihat sudah membentuk pikiran dan kesadaran kita, yang dari pikiran dan kesadaran itu kita mengambil pilihan-pilihan tertentu seolah-olah itu adalah kehendak bebas”[/mks_pullquote]

Pandangan yang demikian bagi saya naif saja, seolah manusia hanya berputar-putar dalam dirinya sendiri, dan sudah menjadi manusia tanpa ada rantai-rantai yang mengikat dirinya dengan keberadaan di luarnya. Otoritas jangan cuma dianggap sebagai instruksi atau larangan yang langsung, tertulis, terujar dengan jelas, melampaui itu, otoritas bisa jadi adalah sesuatu yang diam-diam dan tak terlihat sudah membentuk pikiran dan kesadaran kita, yang dari pikiran dan kesadaran itu kita mengambil pilihan-pilihan tertentu seolah-olah itu adalah kehendak bebas. Bukan tanpa sengaja otoritas bisa mengintervensi individu. Bukan tanpa sengaja artinya ada tujuannya? Ya iyalah. Bahwa yang demikian itu adalah sistem dan terstruktur? Sudah tentu begitu upaya mencapai tujuan tadi.

Ini yang kalau kulihat-lihat menyebabkan kritisisme berhenti pada klarifikasi dari orang-orang yang dianggap menggunakan pilihan bebasnya. Cukup dengan interview guna memastikan apakah seseorang mengambil satu pilihan atas dirinya benar-benar dari dirinya sendiri? Kalau tidak, aktiflah itu mode libertarian die hard cuap-cuap soal kebebasan. Tapi kalau iya, “oh, oke, good job, lanjutkan terus! Itu pilhanmu kok” lalu pergi meninggalkan situasi itu tanpa berpikir masalah apa yang ada di baliknya. Akhirnya semua masalah akan dikembalikan ke urusan individu lantaran tak tau akan adanya sistem yang mengelola situasi tadi, ini yang disebut sebagai kebutaan ontologis, bahwa ketidaktahuan akan keberadaan sistem itu, akan membawa kita pergi dari masalah inti, kemudian kembali kepada individu untuk meletakkan penilaian.

Ambil contoh kasus prostitusi. Bagi orang yang menggebu-gebu mengedepankan kehendak bebas, ia tak akan melihat masalah ketika perempuan atas kehendaknya sendiri berkenan melacurkan tubuhnya. Yang penting atas dasar kemauan sendiri. Kritiknya apa? Ya sudah jelas, prostitusi itu berangkat dari sistem yang membentuk ketimpangan kelas sosial dan gender, itu yang mendorong sebagian dari golongan terdampak untuk mengambil pilihan itu, meskipun golongan tersebut tidak punya kesadaran akan dorongan tersebut, sehingga bagi mereka, ya ini pilihan bebas. Bagi yang sadar dan punya pandangan akan hal ini, tidak jarang dianggap malah merendahkan individu si pelacur, atau menyalahkan individunya. Ini anggapan yang keliru.

Kasus lain lagi. Di kampung saya banyak orang yang masih beranggapan kalau mau sukses, katakanlah menjadi pegawai perusahaan atau jadi PNS, maka harus sekolah sampai sarjana. Ya memang, tindakannya dia ambil sendiri, tapi apa tidak naif kita menganggap itu dorongan murni? Apa iya memang fitrah-nya manusia itu bekerja? Lagi-lagi bukan merendahkan individu, tapi ya karena kurikulum sebagai suatu sistem yang bekerja dengan tujuan demikian. Lapangan perkerjaan meletakkan standard rekrutmen berdasarkan tingkat pendidikan  untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia mereka. Sementara itu, dikonstruk suatu situasi dimana manusia hanya bisa hidup atau diakui kemanusiaanya ketika dia bekerja. Tercipta rantai sistem yang bisa menggiring banyak individu ke dalam situasi itu, apa yang bisa menjalankan itu kalau bukan dikatakan otoritas?

Belum lagi kalau berbicara perihal privilese, dianggap bahwa semua orang atau institusi yang punya pencapaian besar itu atas dasar dorongan murni. Tidak, penjalasannya sama, sistem. Bagi orang yang punya keistimewaan ini, tindakan bisa saja muncul dari dorongan keluarga, kemampuan bisa berhubungan dengan kekuatan silsilahnya. Ini bukan menyalahkan takdir, tapi ya kondisi ini nyata. Bagi industri, kemenangan di pasar bebas sudah ditentukan sejak awal, dari besaran modal, kepemilikan infrastruktur dan alat produksi. Jadi omong kosong lah itu kalau istilah pasar bebas, kompetisi bebas itu menempatkan semua pihak dalam potensi yang sama.

Intinya adalah apapun yang menjadi kecenderungan gerak tubuh kita, adalah memang kita yang mengatur. Apapun pilihan yang dihadapkan pada kita, ya kita lah yang mengambil sikap. Tetapi, apa yang menjadi esensi manusia di belakangnya? Istilah kehendak bebas itu tak lantas menjadi klaim bahwa manusia bebas secara esensi. Sebab nyatanya kecenderungan kita boleh jadi berasal dari dorongan status quo atau beban tradisi, atau ada skenario lain dari luar yang meletakkan esensi pada diri kita sehingga sebagaimana contoh kasus, seolah-olah kehendak bebas kita adalah diri kita yang sejati. Kalau memang itu sebuah keniscayaan, saya tak akan menyangkal. Tapi ketika, kebebasan hanya dimaknai kehendak atau pilihan, saya rasa cukup aman untuk bilang ini omong kosong.

Kategori
Politik Society

Dulu Pelacur Punya Peran dalam Perjuangan Kemerdekaan, Kini Mereka Hanya Jadi Korban Politik

Apa yang akan kita ucapkan ketika ditanyai siapa yang berperan dalam Kemerdekaan Indonesia? Kebanyakan dari kita pasti akan menyebut Sukarno, Hatta dan tokoh-tokoh dalam struktur PPKI dan BPUPKI. Sedikit dari kita mungkin akan bercerita perjuangan tokoh lainnya yang berhasil melahirkan embrio-embrio revolusi seperti Pangeran Diponegoro, Budi Utomo, Umar Said Cokroaminoto. Tetapi untuk kali ini mari bersepakat bahwa Kemerdekaan Indonesia didapatkan karena peran dari semua warganya yang punya kemauan tulus untuk merdeka. Tak terkecuali dari seorang pelacur.

Pelacur dalam masa perjuangan kemerdekaan yang dimotori oleh Sukarno mempunyai peran sangat penting. Seperti yang telah diuraikan dalam buku autobiografi Sukarno berjudul ‘BUNG KARNO – Penyambung Lidah Rakyat’ (penulis Cindy Adams), pada awalnya Sukarno sangat kesulitan untuk menghimpun kekuatan untuk bergabung dalam PNI partai yang didirikannya pada tahun 1928. Pergerakannya sangat dibatasi dan terus-menerus diawasi oleh Belanda. Sangat sulit mengadakan pertemuan dan diskusi. Apalagi menghimpun dana untuk berbagai kegiatan partai. Disaat itulah kekuatan dahsyat dari 670 pelacur secara tulus membantu perjuangan Sukarno di Bandung.

Meski awalnya ditentang oleh rekan-rekannya karena dianggap memalukan dan tidak bermoral, Sukarno dengan tegas menentang dengan mengatakan, “Apakah Bung, pernah menanyakan alasanku untuk mengumpulkan 670 perempuan yang dianggap sampah masyarakat ini? Itu karena aku tahu bahwa aku tidak akan pernah dapat maju tanpa suatu kekuatan. Aku memerlukan sumber daya manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagiku persoalannya bukan bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang dahsyat itulah yang satu-satunya yang kuperlukan.”

Peran pelacur menurut Sukarno sangat penting, bahkan ia mengatakan, “Anggota lain dapat kutinggalkan. Tetapi meninggalkan perempuan macam mereka, tunggu dulu.” Pernyataan Sukarno bukan tak berdasar. Jika Anda pernah membaca tentang kisah Madame Pompadour, seorang pelacur yang sangat tersohor dalam sejarah. Theroigne de Merricourt pemimpin perempuan yang terkenal di Perancis. Perjuangan revolusi yang terkenal sebagai barisan roti di Versailles. Siapa yang memulai? Ya kupu-kupu malam ini.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]” Aku memerlukan sumber daya manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagiku persoalannya bukan bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang dahsyat itulah yang satu-satunya yang kuperlukan.” -Sukarno- [/mks_pullquote]

Dan memang benar, para pelacur ternyata memperlihatkan hasil yang hebat. Awalnya mereka hanya dimintai tolong untuk memberikan tempat untuk agenda pertemuan dan rapat, sekaligus sebagai pengawas. Otak siapa yang akan mengira di tempat prostitusi akan dijadikan tempat berdiskusi secara serius. Di tempat ini siapapun bisa datang, kolega-kolega partai bisa aman menyusun strategi dan ketika pergi bisa mengaku ‘cuma melampiaskan hasrat seks’ tanpa siapapun yang curiga.

Kemudian tugas pelacur mulai ditambah sebagai informan karena tidak ada satupun laki-laki anggota partai yang terhormat dan sopan itu dapat mengerjakan tugas itu. Para pelacur membuai aparat Belanda dan cecunguk-cecunguknya untuk melalaikan tugasnya. Memuaskan birahinya tetapi mengambil semua informasi dari mereka. Tentu saja sangat berhasil. Siapapun akan setuju dengan penyataan, “Jika kau memerlukan mata-mata, pelacurlah orang yang tepat. Mereka adalah mata-mata terbaik sejagat raya.” Bahkan di penjara pun para pelacur tentara Sukarno ini masih bisa menunaikan tugasnya dengan baik.

Tidak bisa dipungkiri, karena profesi mereka sebagai perempuan jalanan, seringkali mereka harus berurusan dengan hukum dan diancam dengan hukuman penjara. Suatu kali seluruh pasukan pelacur ini terjaring oleh razia. Dalam hal ini Sukarno mendorong mereka agar memilih menjalani hukuman kurungan saja. Mereka tetap patuh dan setia kepada pemimpinnya, sehingga ketika hakim meminta mereka membayar denda, mereka menolak, “Tidak, kami tidak bersedia membayar.” Lagi-lagi hal ini mempunyai alasan khusus, agar para pelacur dapat menunaikan tugas selanjutnya yaitu perang urat syaraf. Dengan menggoda aparat penjara, istri mana yang tidak menjadi gila menghadapi keadaan ini?

Kisah peran pelacur selanjutnya ada pada saat pasukan Jepang menyerbu Kota Padang. Singkat cerita, Sukarno yang direncanakan akan dilarikan kembali ke Jawa oleh Belanda dari tempat pengasingannya di Bengkulu, harus berlayar melalui Pelabuhan Padang karena saat itu Pelabuhan Palembang sudah diserbu oleh Jepang. Sialnya, setelah sampai Padang, Jepang telah memporak porandakan Kota Padang. Belanda kocar-kacir dan pasukan pengawal Sukarno kabur. Gantian pasukan Jepang yang menangkap Sukarno. Di Padang Sukarno dipekerjakan oleh Jepang sebagai kolabolator -penyambung mulut dari orang Jepang kepada pribumi- untuk memenuhi semua kebutuhan pemerintah Jepang. Sukarno dijanjikan akan diberikan kebebasan untuk menghimpun kekuatan untuk menyusun komite pelaksana kemerdekaan Indonesia dan diberikan berbagai fasilitas untuk itu. Berbagai keluhan Jepang dapat dipenuhi oleh Sukarno termasuk untuk pemenuhan paksa pasokan beras kepada Jepang. Ia memperoleh beberapa ton beras dari para petani, pengikut setianya.

Suatu hari, Jepang dengan nada mengancam, menekan Sukarno untuk mengatasi krisis yang sangat krusial. Yakni, krisis kehidupan seks prajurit Jepang. Suku Minangkabau terkenal sangat beragama. Kaum perempuan dibesarkan sangat ketat. Saat itu Sukarno memperingatkan, “Kalau anak buah Anda mencoba berbuat sesuatu dengan gadis-gadis kami, rakyat akan berontak. Anda akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatera.” Namun Sukarno juga berpikir jika masalah ini tidak terleselasikan, bangsa ini akan mengalami dihadapkan kepada persoalan yang lebih besar lagi.

Sukarno sempat berdikusi sengit dengan ulama Padang dengan kesimpulan harus melindungi gadis-gadis Padang sekaligus menjaga nama baik bangsa. Kesimpulan itu segera ditafsirkan Sukarno dengan mendatangkan 120 pelacur dari daerah sekitar Kota Padang dan menempatkan mereka pada suatu kamp di suatu daerah terpencil dengan pagar yang tinggi di sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam autobiografinya, Sukarno mengutarakan, ” Maksudku, mungkin tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu istilah untuk jenis manusia seperti itu. Tetapi ini merupakan kesulitan yang serius untuk mencegah bencana yang hebat. Karena itu aku mengatasinya dengan cara yang kutahu paling baik. Hasilnya pun sangat baik. Setiap orang merasa senang dengan rencanaku itu.”

Dengan bantuan para pelacur tersebut Sukarno diperbolehkan kembali ke Jakarta. Berjuang kembali dengan kolega-koleganya untuk membangun siasat memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia.

Itulah beberapa peran pelacur dalam perjuangan kemerdekaan yang sempat tertuliskan, dan yakinlah di berbagai penjuru bangsa masih banyak kisah heroik yang dilakukan para perempuan yang selalu dihina ini untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsa yang dicintainya. Siapa yang berharap seseorang perempuan mau menjadi pelacur, semua orang pasti tidak mau. Namun, keadaan bisa memaksa seseorang untuk tenggelam dalam pekerjaan tersebut. Mari kita buka mata kita lebih lebar lagi dan membiarkan tulisan ini lebih panjang lagi.

Awal bulan Februari tahun 2020, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan skandal penggerebekan pekerja seks yang diduga dilakukan oleh politisi Partai Gerindra, Andre Rosiade. Berlokasi salah satu hotel di Padang, sebuah daerah yang disebutkan di tulisan ini menjadi saksi bagaimana peran para pelacur sangat membatu Sukarno untuk dapat kembali ke Jakarta. Lebih tragisnya lagi, korban penggerebekan berinisial, NN, ini mengaku ia dipesan terlebih dahulu, dipesankan kamar, dibiarkan telanjang untuk ditangkap dan disorot kamera.

Sebagian orang mungkin setuju, razia pekerja seks seperti itu dikatakan sebagai “memberantas maksiat”. Tetapi semua berhak setuju, sekenario yang dilakukan oleh ‘terduga’ Andre Rosiade tersebut sangatlah tidak pantas dilakukan. Alih-alih ingin mendapatkan simpati dan keuntungan politik, yang datang hanyalah kutukan terhadap perbuatan tersebut sebagai perlakukan yang tidak manusiawi.

Bagaimanapun pelacur tetaplah manusia. Walaupun pekerjaannya dipandang hina, ia pasti masih mempunyai harga diri. Dan negara masih punya kewajiban melindunginya. Dengan model rekayasa penggerebekan seperti itu Anda tidak hanya menangkap seseorang, tapi Anda telah menghancurkan harga diri seseorang, menikam hak asasinya, dan membunuhnya. Tentu saja banyak yang berdiri bersama NN saat ini, bukan tentang ia mendukung maksiat, tetapi berdiri demi kemanusiaan.

Mari kita renungkan dan mencoba memposisikan perempuan-perempuan seperti NN ini sebagai korban. Apa dasarnya? Tidak ada satu perempuan pun yang ingin terlahir sebagai pelacur, namun keadaan bisa memaksa seseorang untuk tenggelam dalam pekerjaan tersebut. Jika ditanyai alasannya mengapa ia terpaksa menjalani pekerjaan tersebut, pasti hulunya adalah pada masalah ekonomi.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Bagaimanapun pelacur tetaplah manusia. Walaupun pekerjaannya dipandang hina, ia pasti masih mempunyai harga diri. Dan negara masih punya kewajiban melindunginya.”[/mks_pullquote]

Harusnya negara belajar dari masih banyaknya kasus prostitusi ini. Bisa jadi jaminan sosial yang selalu dijanjikan tiap kampanye hanya agenda politik semata dan tidak pernah nyata terlaksana. Bisa jadi pendidikan yang pincang tidak dapat menyaring arus globalisasi membiarkan saja rantai kapitalisme global masuk. Menjadikan warga negara hanya menjadi konsumen, tanpa ada transfer teknologi dan penyerapan tenaga kerja.  Tentu saja perempuanlah yang paling dirugikan. Lihat di TV Anda berapa menit prosentase iklan tayang dibanding acaranya. Jika dicermati sebagian besar iklan dan acara TV tersebut menyasar konsumen perempuan. Mereka menciptakan sebuah tren baru seolah-olah setiap perempuan harus mengikuti itu. Ketika semua kebutuhan dan keinginan memuncak tetapi tidak punya uang untuk membeli, akhirnya melacur dijadikan solusi.

Tidak hanya itu, perempuan-perempuan seperti NN ini juga rentan menjadi korban politik praktis. Siapapun yang ingin dapat simpati masyarakat dan mendapatkan keuntungan politik (elektabilitas) berusaha menutup semua tempat prostitusi. Apalagi sekarang ditambah lagi dengan sentimen agama bahwa mereka ini adalah orang-orang maksiat yang menyebabkan bencana.  Terkadang perlu juga kita lempar pertanyaan kepada orang ini, apakah maksiat hanya terdiri dari kegiatan pelacuran? Bagaimana dengan korupsi yang nyata-nyata menyebabkan bencana kepada semua orang? Bagaimana dengan money politics? Bagaimana dengan black campaign? yang sering memecah belah masyarakat. Tidakkah itu tindakan yang lebih terkutuk dan menjijikan?

Tragisnya lagi penutupan daerah prostitusi tersebut tidak pernah disertai penanganan lebih serius. Para pelacur kadung dicap sebagai orang tidak bermoral dan tidak pantas bekerja dimanapun.  Akhirnya mereka yang perlu uang untuk memenuhi kebutuhannya terpaksa menjalani pekerjaan itu lagi dengan menyebar menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga susah untuk dikendalikan. Beberapa kelompok mereka yang menyebar secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi lingkungan kecil mereka untuk bekerja dengan hal yang sama. Praktik pelacuran semakin parah dan penyelesaian penanganannya semakin rumit. Niat awal yang ingin memberantas maksiat, justru menambah permasalahan maksiat baru. Pelacur tetap yang disalahkan.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Disaat mereka merazia para pelacur. Hutan-hutan digunduli, gunung-gunung dijadikan komplek vila, tambang-tambang yang menyiksa warga dilanggengkan, aktivis lingkungan digebuki, dan pendirian pabrik dengan limbah membahayakan dilegalkan. Ketika ada bencana, pelacur tetap nomor satu yang dituduh menjadi biang keladinya.“[/mks_pullquote]

Pada akhirnya kita perlu menguji pernyataan politisi-politisi yang menjadikan pelacur sebagai obyek kegiatan politiknya. Mereka seringkali mengatakan, “Kita mememerangi maksiat agar tidak terjadi bencana pada bangsa.” Disaat mereka merazia para pelacur. Hutan-hutan digunduli, gunung-gunung dijadikan komplek vila, tambang-tambang yang menyiksa warga dilanggengkan, aktivis lingkungan digebuki, dan pendirian pabrik dengan limbah membahayakan dilegalkan. Ketika ada bencana, pelacur tetap nomor satu yang dituduh menjadi biang keladinya.

Tentu lucu mendengar hal demikian, namun harus kita terima bahwa itulah faktanya, politisi kita kadangkala ada yang berkata seperti itu. Apakah mereka pura-pura bodoh? Kita tidak tahu. Yang Jelas Sukarno dengan pasukan 670 pelacur di Bandung dan 120 pelacur di Padang dapat bergotong royong untuk meraih kemerdekaan.

Atau jangan-jangan intisari dari kata ‘maksiat’ yang sebenarnya adalah orang dengan rasa kemanusiaan yang hilang. Nah, kalau itu jelas akan membawa bencana.

Kategori
Politik

Istirahat Sejenak Demi Kewarasan

Mengawali tahun 2020 dengan banyaknya tragedi alam maupun kemanusiaan membuat kita berpikir, apakah dunia memang sekacau ini? Tidak hentinya kita mendengar berita tentang kejadian serius yang menimpa manusia di seluruh dunia. Awal januari saja, kita hampir terancam oleh perang dunia ketiga yang tentu saja akan membuat kehancuran yang masif.

Belum lagi berita tentang bencana alam yang terjadi di banyak negara termasuk negara kita sendiri. Banjir besar yang melanda ibukota melumpuhkan perekonomian bahkan merenggut korban jiwa. Kebakaran besar yang terjadi di Australia mengiris hati kita dengan melihat binatang-binatang yang berada di wilayah terdampak kebakaran hutan tidak dapat menyelamatkan diri.

Situasi politik di Indonesia yang kian hari kian bersaing dengan dunia komedi, dengan para jajaran pejabat sebagai comicnya. Mulai dari aturan-aturan baru yang terkesan dipaksakan, seorang politisi menjebak Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan alasan ingin memberantas prostitusi, sampai ada wacana ingin memulangkan “eks” anggota ISIS ke Indonesia.

Belum lagi millennial disibukkan dengan urusan drama dunia hiburan yang seharusnya tidak perlu menyita waktu dan perhatian kita. Waktu tersebut dapat dipergunakan untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif, main tik-tok misalnya?

Berbicara soal Tik-tok, Indonesia telah terkena penyakit mewabah yang cukup mengganggu (setidaknya mengganggu penulis artikel ini) yaitu wabah penyakit ingin terkenal. Segala acara dilakukan untuk menjadi terkenal, termasuk aktif komentar hal-hal yang dianggap mengganggu dirinya.

Setelah kita dihadapkan pada masalah-masalah serius yang terjadi di dunia ini, situasi sosial politik negeri sendiri yang semakin kacau, dan indluencer yang sok tau, masih ditambah pula dengan orang-orang yang selalu mengomentari apapun.

Saya percaya, dunia ke depan akan semakin kacau lagi. Memang di satu sisi akan ada sistem yang menuju lebih baik, tetapi kekacauan akan selalu ada. Anggap saja kita adalah sebuah laptop yang spesifikasinya tidak besar-besar amat, lalu kita buka browser dan membuka ratusan tab halaman. Tiap halaman tersebut adalah permasalahan yang sudah diuraikan di atas. Lama kelamaan diri kita sendiri akan tidak kuat lagi menahan beban kerja yang kita ciptakan sendiri.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Setelah kita dihadapkan pada masalah-masalah serius yang terjadi di dunia ini, situasi sosial politik negeri sendiri yang semakin kacau, dan indluencer yang sok tau, masih ditambah pula dengan orang-orang yang selalu mengomentari apapun.”[/mks_pullquote]

Untuk menjadi waras, kita harus mulai mengurangi halaman-halaman permasalahan yang harus kita pikirkan. Mulai tutup satu persatu halaman tersebut dan mulai fokus dengan apa yang sebenarnya benar-benar kita minati. Daripada membuka 10 halaman yang berbeda, lebih baik kita membuka 10 halaman dengan topik yang sama. Harapannya, solusi-solusi permasalahan dapat ditemukan saat kita fokus dengan satu topik.

Bayangkan jika semua orang membuka halaman yang berbeda dan semua mengurusi segala macam bentuk kejadian yang ada di dunia ini, akhirnya tidak terjadi solusi dan dunia yang kita tinggali akan menjadi semakin bising, yang mana akan menambah masalah baru lagi.