Kategori
Kapital Society

Basic Income dan Upaya Menyelamatkan Masyarakat Rentan Selama Pandemi

Selama terjadinya pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) pengemudi ojek daring, pekerja outsourcing, buruh lepas, dan segala pekerja berupah harian lainnya menjadi golongan yang sangat dirugikan dari keadaan ini. Sementara kaum berprivilese bisa menikmati nikmatnya work from home, bagi mereka tinggal di rumah berarti tudung saji yang kosong. Golongan ini juga lebih malang dari  para pegawai tetap, karena jobdesk-nya yang tidak bisa dikerjakan dari rumah. Tidak ada jaminan kesehatan bagi mereka, padahal harus bertaruh nyawa untuk mempertahankan hidup. Pertaruhan ini bahkan bukan hanya bagi mereka sendiri. Keluarga mereka di rumah pun dipertaruhkan kesehatannya. Seperti yang kita tahu, virus ini dapat menyebar bahkan oleh orang yang tidak sakit sekalipun.

Kategori
Kapital

Apa yang Tersisa Bagi Pekerja?

Seingat saya, sejak SMA sudah ada peringatan dari dunia kerja agar para siswa tidak hanya mengasah kemampuan kognitif (menghitung, membaca, menghafal), tapi juga harus mengembangkan softskill (kemampuan berorganisasi, komunikasi, memecahkan masalah kompleks, dll). Peringatan ini semakin kencang saat masa-masa kuliah. Mahasiswa tentu saja lebih memperhatikan peringatan ini, karena sebentar lagi ia akan memasuki dunia kerja.

Peringatan tersebut masuk akal. Semakin banyak pekerjaan kognitif yang bisa diganti oleh teknologi. Tanpa saya memberi contoh pun pembaca tentu akan setuju. Narasi tentang banyaknya profesi yang hilang sudah sangat sering diulang-ulang oleh para pengusaha, pegawai negara, dan guru serta dosen.

Namun demikian, sebaiknya kita tidak bersenang diri dan terlena jika sudah mempunyai softskill yang mumpuni dan laku di pasar tenaga kerja. Orang-orang di sekeliling Anda mungkin akan bilang bahwa dengan mempunyai softskill, Anda akan terus mendapatkan pekerjaan. “Dunia kerja akan terus membutuhkan manusia, selama manusia tersebut meningkatkan softskill yang dimilikinya,” kata orang-orang itu. Mungkin Anda akan senang dan merasa aman mendengarnya. Anda merasa diri Anda kreatif, sehingga tidak akan tergilas oleh teknologi. Kemudian, mungkin Anda bersimpati dengan orang-orang yang bekerja di pabrik, wisudawan baru nihil softskill, dan para pemuda yang tak mampu kuliah, karena bidang pekerjaan mereka tak lama lagi akan musnah.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Namun demikian, sebaiknya kita tidak bersenang diri dan terlena jika sudah mempunyai softskill yang mumpuni dan laku di pasar tenaga kerja.”[/mks_pullquote]

Kesalahan terbesar dari cara berpikir yang demikian ialah membedakan  pekerjaan kreatif dengan nonkreatif. Secara umum, saat ini kita menganggap kerja kreatif adalah aktivitas produksi yang tidak bisa dilakukan oleh mesin. Sebaliknya, kerja nonkreatif sudah bisa atau sebentar lagi akan bisa dikerjakan oleh teknologi secara otomatis. Karena campur tangan pemerintah saja pekerjaan nonkreatif ini tetap ada demi ketersediaan lapangan pekerjaan. Ini adalah cara pandang yang mengabaikan sejarah perjalanan teknologi di dunia kerja.

Para pemintal benang di Inggris pada awal abad ke-18 adalah orang-orang kreatif. Mereka membuat kain di rumah masing-masing dan mampu menjualnya dengan harga tinggi. Mereka berkuasa atas proses produksi dan pemasaran produk mereka sendiri. Selama proses ini berlangsung, ada orang-orang yang memodelkan cara kerja para pemintal benang tersebut, dengan motivasi mengefisienkan kerja. Sampai akhirnya ditemukanlah model mesin yang sesuai dengan cara kerja para pemintal.

Penemuan mesin tersebut memicu hasrat manusia untuk memproduksi kain dalam jumlah yang banyak dalam waktu singkat. Impiannya tentu saja peningkatan laba yang signifikan. Namun, untuk mewujudkan hal ini, perlu dibangun sebuah tempat yang dapat menampung mesin dan manusia dalam jumlah banyak, terkoordinasi, serta mudah mendapatkan energi. Dibuatlah bangunan bernama pabrik yang didesain sedemikian rupa agar alur kerja efisien. Karena untuk membangun ini semua membutuhkan modal yang luar biasa banyak, maka yang mampu hanyalah orang superkaya. Para penguasa kapital. Para kapitalis.

Kemampuan pabrik memproduksi kain dalam jumlah banyak dan harga yang murah (karena mencuri nilai lebih dari keringat pekerjanya) membuat para pemintal benang rumahan kalah telak. Mereka terdesak. Penjualan kainnya menurun drastis. Dalam kondisi yang demikian, tidak ada pilihan lain selain masuk ke dalam pabrik kain untuk bekerja. Di titik ini, pekerjaan memintal benang tak lagi disebut kreatif. Para pemintal tak lagi punya kendali atas keahliannya sendiri.

Apabila berkaca dari sejarah revolusi industri pertama di Inggris ini, dapat disimpulkan bahwa seluruh pekerjaan yang dilakukan manusia itu kreatif. Jika hari ini kita memandang pekerjaan tertentu sebagai nonkreatif, pekerjaan kasar, atau istilah lain yang bernada merendahkan, itu karena pekerjaan tersebut sudah berhasil dimodelkan. Teknologi sudah bisa menirunya dan menjalankannya secara otomatis, tanpa manusia.

Dari sejarah itu pula kita bisa memahami, bahwa motivasi untuk memodelkan sebuah pekerjaan agar menjadi otomatis muncul dari para pemilik usaha. Teknologi-teknologi canggih yang kini mendominasi dunia kerja tidak muncul karena keisengan para inovator. Hal ini bisa kita periksa dengan mengajukan pertanyaan: dari jutaan riset di berbagai bidang, mengapa teknologi yang masuk ke dunia kerja selalu menyingkirkan pekerja dan menguntungkan pemilik modal? Jawabannya sederhana: riset-riset yang bermodal jumbo sebagian besar diarahkan untuk mengganti pekerja manusia yang bisa lelah, sakit, berorganisasi, dan memberontak. Agar akumulasi laba bisa semakin pesat.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Dari jutaan riset di berbagai bidang, mengapa teknologi yang masuk ke dunia kerja selalu menyingkirkan pekerja dan menguntungkan pemilik modal?”[/mks_pullquote]

Perkembangan teknologi yang seturut kepentingan pemodal terus belanjut hingga hari ini. Kini keahlian fisik dan pikiran (kognitif) manusia sebagian besar sudah dibekukan ke dalam perangkat teknologi. Lalu, apa yang tersisa? Softskill. Inilah yang belum berhasil dimodelkan menjadi teknologi.

Seluruh perusahaan teknologi raksasa hari ini gencar sekali memburu softskill. Mereka membangun narasi sedemikian rupa agar manusia mengarahkan softskill-nya yang sudah terasah dengan baik hanya dan hanya ke dunia kerja. Mengapa? Alasannya masih sama dengan prasyarat revolusi industri pertama. Untuk memodelkan kerja yang menggunakan softskill, perusahaan tersebut membutuhkan data yang begitu luar biasa banyaknya. Jika dalam kasus pemintalan benang data yang dibutuhkan hanyalah beberapa variasi pemintalan, maka pemodelan softskill membutuhkan data raksasa (big data).

Kita memang belum tahu kapan para pemodal bisa memunculkan teknologi yang menyingkirkan kerja-kerja softskill. Namun, setidaknya kita, kelas pekerja, masih mempunyai waktu. Bersama-sama kita harus mulai memikirkan bagaimana menggunakan softskill yang kita punya untuk mengarahkan perkembangan teknologi sesuai kepentingan kelas pekerja, bukan hanya menjadi mesin pencetak uang orang-orang superkaya.

Kategori
Kapital

Kerja Reproduktif yang Tidak Dihargai

Perbincangan tentang pembagian tugas dalam rumah tangga semakin digemari oleh banyak orang belakangan ini, terutama muda-mudi yang belum menikah. Mulai banyak yang sadar bahwa memasak, mencuci baju dan piring, menyapu, menyuapi anak, mengganti popok bayi, bukan hanya tanggung jawab istri. Suami pun ikut bertanggung jawab. Pembagian tugas pekerjaan rumah yang juga menyita waktu dan tenaga ini semestinya diobrolin secara terbuka oleh kedua pasangan yang tinggal serumah. Kuncinya adalah komunikasi, keterbukaan, dan kesadaran bahwa pekerjaan tersebut adalah tugas bersama. Begitulah obrolan umum yang sering saya dengar dan baca.

Akan tetapi, sebaiknya kita tidak berhenti di tahap kesadaran tersebut. Hanya sadar bahwa pekerjaan rumah adalah tugas bersama akan membuat sikap kita cuma sebatas ini: “Ya sudah, kalian kan sudah sama-sama sadar. Berdiskusilah. Siapa yang memasak di hari Senin, siapa yang menyapu di hari Selasa, siapa yang mencuci di minggu kedua, siapa yang berbelanja di hari Jumat, harus kalian sepakati bersama, secara terbuka dan saling pengertian. Termasuk jika kalian ingin membayar pembantu saja, karena sama-sama ingin fokus berkarier. Itu terserah kalian. Yang penting kalian sepakat. Tidak ada keterpaksaan.” Jika kita puas sampai tahap ini, maka kita menganggap pekerjaan rumah hanyalah urusan masing-masing keluarga. Padahal, ada masalah sistemis dalam persoalan ini, yang berhubungan dengan pemahaman kita soal kerja.

Kerja reproduktif

Selama ini, kita menganggap yang termasuk kerja itu adalah aktivitas yang produktif atau menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi, baik barang maupun jasa. Kerja yang kita pahami adalah kegiatan yang menghasilkan uang secara langsung. Memperbaiki saluran air yang bocor, menulis berita, memancing, memberi kuliah pada mahasiswa, atau menyiram taman istana. Inilah kerja dalam bayangan kita.

Sederet kegiatan yang saya contohkan di atas memang berdampak langsung pada perputaran roda ekonomi. Namun demikian, aktivitas tersebut akan sangat terhambat bahkan macet tanpa topangan kerja reproduktif. Salah satu kerja reproduktif yang berperan penting dalam hal ini adalah pekerjaan rumah tangga. Si tukang ledeng bisa tenang berangkat pagi ke kantor karena pekerjaan rumah di pagi hari dikerjakan oleh istrinya. Sabun, sampo, dan pasta gigi tidak habis, pakaian sudah rapi tinggal pakai, sarapan pagi telah siap, lalu tinggal berangkat kerja. Selama bekerja, pikirannya tidak terganggu oleh urusan rumah: piring kotor sudah berapa tumpuk? Apakah lantai sudah disapu? Persediaan makanan di kulkas bagaimana? Semua pekerjaan ini sudah ditangani oleh sang istri.

Tugas-tugas rumah sang istri ini disebut kerja reproduktif karena hasil kerjanya membuat suami yang baru saja pulang pada petang siap bekerja lagi esok hari. Seandainya si suami saat sampai rumah ternyata makanan tidak ada, lantai rumah berdebu, anak menangis, kulkas kosong, maka ia perlu mengeluarkan tenaga lagi untuk mengurus ini semua. Tenaganya yang sudah terkuras di tempat kerja untuk berproduksi, masih harus diperas lagi untuk pekerjaan rumah. Untunglah, segala pekerjaan rumah sudah dibereskan sang istri. Si suami hanya perlu mandi, ibadah, makan, bersantai, lalu siap-siap istirahat agar esok badan kembali bugar.

Perusahaan tempat si tukang ledeng bekerja tentu saja mendapatkan keuntungan yang luar biasa dari kerja rumah tangga yang dilakukan oleh istri si tukang ledeng. Pegawainya, si tukang ledeng, bisa semangat bekerja karena tenaganya sudah pulih tiap pagi. Bahkan waktu yang ia gunakan sangat produktif, banyak sekali pekerjaan yang selesai. Ini bisa terjadi salah satunya karena kondisi fisik dan pikiran si tukang ledeng dalam keadaan prima. Semangatnya stabil. Pikiran dan tenaganya tidak tersita oleh pekerjaan rumah. Alhasil, target pemasukan perusahaan mudah tercapai.

Namun, apakah perusahaan tersebut menghargai kerja reproduktif dari istri si tukang ledeng? Maksud “menghargai” di sini yaitu benar-benar memberi harga, nilai ekonomi, misalnya berupa uang. Apakah perusahaan membayar pekerjaan sang istri? Hampir semua perusahaan tidak melakukannya. Perusahaan tidak menghargai kerja-kerja reproduktif para istri padahal mendapatkan keuntungan ekonomi dari pekerjaan tersebut.

Bahkan untuk kerja produktif yang dilakukan si tukang ledeng saja, perusahaan masih membayar kurang dari nilai ekonominya. Ada nilai lebih dari keringat si tukang ledeng yang diembat juga oleh perusahaan. (Penjelasan lebih lanjut tentang ini silakan baca tulisan saya yang lain, agar lebih jelas. Klik di sini).

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Perusahaan tidak menghargai kerja-kerja reproduktif para istri padahal mendapatkan keuntungan ekonomi dari pekerjaan tersebut.”[/mks_pullquote]

Pencurian nilai ekonomi kerja-kerja reproduktif inilah yang saya maksud di awal tulisan sebagai masalah sistemis. Kita tidak bisa melihat persoalan pekerjaan domestik hanya semata-mata masalah pembagian peran antara suami dan istri. Fakta bahwa banyak orang menghindari pekerjaan tersebut karena membosankan, bikin cepat letih, dan sangat sulit menjadi sarana aktualisasi diri, sesungguhnya adalah bukti yang sangat jelas, dunia kita saat ini sangat tidak menghargai pekerjaan rumah tangga. Keluarga kaya mengatasinya dengan membayar pembantu. Suami di dalam keluarga menengah-miskin berlindung di balik nilai-nilai nenek moyang, bahwa tugas domestik adalah kewajiban sang istri.

Beberapa orang mungkin tidak suka karena contoh yang saya gunakan memperteguh sistem patriarki, yaitu si suami kerja, sedangkan istri mengurus rumah. Namun, jika dibalik pun, istri yang bekerja dan suami yang beres-beres rumah dan mengasuh anak, bukankah sama saja? Perusahaan tempat si istri bekerja juga mencuri atau tidak menghargai kerja-kerja reproduktif yang dikerjakan si suami. Menurut saya ini tetap bermasalah.

Yang bisa kita lakukan

Uraian saya di atas adalah konsep, cita-cita, dan imajinasi lain tentang dunia kerja. Namun, konsep ini tidak akan berguna jika tidak berbuah menjadi aturan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kita perlu mewujudkannya dalam strategi konkret yang bisa diterapkan.

Dalam konteks pekerjaan rumah tangga, salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah mengurangi hari kerja. Jika seseorang hanya bekerja dari Senin sampai Kamis, tanpa pengurangan gaji, maka perusahaan membayarnya saat melakukan pekerjaan rumah tangga di hari Jumat. Aktivitasnya di rumah seperti memasak, mencuci baju, nonton film, atau membaca buku pada hari tersebut dibayar oleh perusahaan. Terdengar aneh? Mengapa perusahaan harus membayar urusan pribadi pekerjanya? No. Salah besar. Aktivitas tersebut bukan cuma urusan pribadi. Karena seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, perusahaan mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari hasil kerja rumah tangga dan aktivitas leyeh-leyeh. Pekerjanya menjadi sangat produktif.

Kita bisa mencontoh strategi yang dilakukan oleh Autonomy, sebuah lembaga think tank di Inggris, yang baru-baru ini mendesain sebuah kebijakan dunia kerja di Valencia, Spanyol. Mereka mengajukan sebuah proposal yang berjudul The Future of Work and Employment Policies in the Comunitat Valenciana. Isinya tentang bagaimana kira-kira model dunia kerja yang harus diusahakan agar kemajuan teknologi bisa membawa manfaat bagi banyak orang di Valencia. Salah satu fokus proposal tersebut adalah bagaimana memperpendek hari kerja menjadi hanya 4 hari saja. Mula-mula mereka memetakan jenis pekerjaan apa saja yang dominan di Valencia. Setelah itu, mereka mendesain model kerja, ruang kerja, hubungan kerja, cara produksi, dll. yang memaksimalkan penggunaan teknologi. Saya yakin mereka bisa mengerjakan hal yang luar biasa tersebut karena mereka percaya bahwa ketika teknologi semakin canggih, sehingga pekerjaan lebih cepat selesai, maka seharusnya waktu kerja menjadi lebih pendek.

Kita juga perlu mempunyai strategi seperti itu. Agar kita tidak terus-terusan hanya mendesak pemerintah untuk berpihak pada pekerja tanpa menawarkan apa-apa. Mestinya kita insyaf, pemerintah secara natural tidak menempatkan rakyatnya sebagai prioritas utama. Yang paling penting baginya adalah kedaulatannya terus eksis. Jadi, ketika ekonomi terancam mandek bahkan krisis belakangan ini, pemerintah mencari tawaran yang bisa tetap mempertahankan kekuasannya dan sudah siap diterapkan. Ini bisa dilihat dari inisiatif pemerintah membikin RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Bila diperhatikan secara seksama, semangat dari rancangan tersebut cocok dengan saran-saran yang selama ini diberikan oleh lembaga keuangan internasional, yakni melonggarkan aturan ketenagakerjaan di Indonesia agar investasi banyak yang masuk sehingga muncul lapangan pekerjaan baru.

Maka merugilah kita, kelas pekerja, yang hanya berakhir membawa spanduk di jalanan, tapi tidak mempunyai strategi apa-apa.

Kategori
Kapital

Kita adalah Bahan Baku, Buruh, dan Komoditas dalam Ekonomi Digital

Pola produksi dalam ekonomi digital berbeda dengan model ekonomi konvensional. Apa bedanya? Mari kita uraikan terlebih dahulu model ekonomi konvensional yang sudah lama umat manusia jalani.

Ambil contoh di bidang usaha peternakan ayam. Pemilik usaha menyediakan bahan baku (beberapa ekor ayam dan pakan) serta sarana dan prasananya (kandang, alat pembersih, masker, penyemprot, dll). Untuk mengelola bahan baku tersebut, pengusaha butuh pekerja. Mereka membuka lowongan. Manusia yang tidak punya banyak modal dan aset, yakni kelas pekerja, mendaftarkan diri ke peternakan ini agar mendapatkan upah. Manusia ini menjadi buruh.

Ketika daging-daging ayam tersebut sudah berada di pasar, jadilah ia komoditas. Semua orang, termasuk kelas pekerja, membutuhkan komoditas tersebut demi memenuhi kebutuhan gizi.

Dari contoh di atas dapat dilihat, antara bahan baku, buruh, dan komoditas terpisah satu sama lain. Mereka hanya saling terkait di pabrik (buruh dan bahan baku) dan pasar (buruh dan komoditas).

Model ekonomi medsos

Model konvensional tersebut berubah drastis dalam ekonomi digital. Mari kita ambil contoh lagi. Kali ini pola produksi Twitter. Apa bahan baku Twitter? Seluruh twit kita baik yang berupa teks, gambar, dan video, atau campuran di antaranya. Sebagai sebuah perusahaan, ia ingin mempunyai bahan baku yang berlimpah dan berkualitas. Twitter sebetulnya tidak peduli isi twit kita tentang apa. Yang penting bagi dia, jika Anda ingin curhat, marah-marah, memaki, bermesraan, memfitnah, mengancam, dll, jangan limpahkan di manapun kecuali di aplikasi kami. Dalam kondisi apapun, Twitter ingin kita menumpahkannya dalam bentuk twit. Terserah isinya apa. Ia hanya dengan genitnya bertanya, “What’s happening?

Twitter cuma peduli pada isi twit kita sejauh itu berguna bagi peningkatan jumlah twit. Makanya Twitter menilai kualitas twit hanya dan hanya berdasarkan interaksinya (engagement). Semakin banyak akun lain berinteraksi dengan twitmu, maka Twitter semakin menyukaimu. Masa bodoh isinya kutipan ayat kitab suci, hoaks, skandal seks, perselingkuhan, lelucon, atau kalimat bijak. Yang penting banyak orang terpelatuk.

Oleh karena itu, jangan sampai kita terlalu terpukau saat Twitter dan media sosial lainnya mulai membangun citra bahwa mereka peduli dan mendukung pemberantasan hoaks, mengusahakan perlindungan data pribadi secanggih mungkin, peduli lingkungan, mendukung kesetaraan gender, merawat toleransi, dan hal-hal bermoral lainnya. Jika kita terbuai, maka kita telah masuk ke dalam perangkap omong kosong. Karena masalah besarnya bukan itu semua. Media sosial membangun citra tersebut hanya demi menjaga kepercayaan dan rasa aman dari penggunanya. Sehingga konten di aplikasi mereka bisa terus ramai.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Twitter hanya peduli pada isi twit kita sejauh itu berguna bagi peningkatan jumlah twit. Makanya Twitter menilai kualitas twit hanya dan hanya berdasarkan interaksinya (engagement).”[/mks_pullquote]

Kemudian, siapa yang menjadi pekerja dalama konteks ini? Siapa yang mengolah bahan baku? Tentu saja para pengguna Twitter. Kita semua. Kita yang menyusun kata, mengedit gambar, hingga mengunggah video kapanpun dan di manapun. Kita yang menerjemahkan perasaan senang dan sedih atau suatu peristiwa lucu ke dalam sebuah twit di Twitter.

Pernahkah kau merasa capek banget setelah beberapa lama menggunakan Twitter? Atau malah sering? Sebagian besar orang menganggap kelelahan ini diakibatkan oleh isi Twitter yang semakin mengaduk-ngaduk perasaan. Isinya banyak orang bertengkar, saling sindir, dan bahkan saling mencaci maki. Tentu saja ini benar. Namun, ada fakta yang lebih tragis lagi, dan masih banyak orang yang tidak menyadarinya, yakni rasa lelah tersebut muncul karena kita memang sedang bekerja untuk Twitter. Ngetwit yang seakan-akan bagai hiburan sesungguhnya adalah kerja.

Memang ada kabar baiknya. Kita tidak bekerja pada Twitter secara gratis. Kita dibayar, kok. Twitter membayar kita dengan notifikasi retweet, like, reply, dan mention. Sayangnya, upah yang berupa notifikasi ini tidak selalu membuat kita senang. Seringkali notifikasi tersebut, khususnya reply dan mention, membawa kritik, tuduhan, makian, dan ancaman dari akun lain. Dengan fakta ini, entah kita masih bisa menyebutnya dengan kabar baik atau bukan.

Apakah kita, para pengguna Twitter, juga merupakan komoditas? Tentu saja. Twitter menawarkan data perilaku, kepercayaan (agama, politik, ekonomi, dll), dan selera (model sepatu, destinasi wisata impian, minuman favorit) kita kepada para pengiklan. Tema iklan yang muncul di halaman beranda Twitter kita akan beririsan dengan hal-hal yang berada di pikiran kita. Kita menjadi barang dagangan.

Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa kita adalah bahan baku, buruh, dan komoditas dalam ekonomi digital. Jika dalam proses produksi di peternakan ayam ketiga hal ini terpisah, dalam ekonomi digital seluruhnya berkumpul di satu tempat, yaitu tubuh pekerja. Kandang ayam dan tempat perdagangan daging ayam (pasar) terpisah, tapi dalam ekonomi Twitter semuanya berkumpul dalam satu aplikasi. Pekerja di peternakan ayam tidak perlu mempunyai bahan baku, karena sudah disediakan oleh pemilik modal. Namun di Twitter, para buruh yang menyediakan bahan bakunya.

Jangan berhenti di persoalan privasi

Setelah mengetahui secara jelas proses produksi media sosial melalui penjelasan di atas, sebaiknya kita tidak mentok di urusan privasi. Perbincangan soal privasi atau perlindungan data pribadi memang sedang menjadi kegemaran, terutama bagi kalangan yang kondisi finansialnya lumayan aman dan tinggal di urban. Barangkali ini bisa dihubungkan dengan kondisi sosial masyarakat kota yang semakin individualis. Suatu situasi yang membuat banyak orang berpikir begini: tidak apa-apa dunia luar kacau balau, penuh eksploitasi, yang penting ruang hidupku, privasiku, dan kebebasanku aman terkendali.

Cuma mempersoalkan privasi sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah eksploitasi digital. Malahan mengalihkan perhatian kita. Walaupun Twitter, Facebook, Instagram dan media sosial lainnya sudah bisa membuktikan bahwa mereka berkomitmen menjaga data-data kita aman, tetap saja fakta bahwa kita dieksploitasi sebagai bahan baku, buruh, dan komoditas tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu, jangan sampai kita terjebak pada narasi yang melulu hanya bicara soal privasi. Jika kita terjebak, maka kita bisa secara tidak sadar mewajarkan eksploitasi yang dilakukan oleh media sosial. Karena sudah puas privasi dilindungi.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Cuma mempersoalkan privasi sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah eksploitasi digital.”[/mks_pullquote]

Fokus kita semestinya diarahkan pada dampak yang lebih luar biasa dari ekonomi digital. Apa itu? Pemisahan inovasi, kecerdasan, dan softskill dari tubuh kita. Oke, ini pasti terasa sangat abstrak. Penjelasannya begini. Kita sudah sering mendengar istilah artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, bukan? Untuk membuat teknologi ini, sebuah perusahaan membutuhkan data yang sangat banyak, atau kini sering disebut big data (data raksasa). Perusahaan digital kini berlomba-lomba memburu sebanyak-banyaknya data manusia mulai dari pikirannya, perilakunya, hingga perasaannya. Data ini sangat berharga bagi mereka untuk membuat teknologi yang bisa melakukan berbagai macam pekerjaan yang hingga kini belum bisa otomatis. Misalnya supir taksi. Para pemilik modal besar secara natural sangat berhasrat untuk memiliki teknologi semacam ini agar bisa segera mengganti para pekerja yang bisa malas, berorganisasi, dan berdemo.

Sebagai contoh, bisa dibilang semua pengemudi taksi online menggunakan google map saat bekerja. Selama bekerja itulah mereka menyetor data perjalanan kepada Google. Akibatnya, Google mempunyai data yang luar biasa banyaknya tentang perjalanan kendaraan. Kelak, saat data tersebut sudah cukup untuk membuat AI yang mampu mengendarai kendaraan lebih jago daripada manusia, para supir taksi akan kehilangan pekerjaannya. Lalu apa yang akan dikatakan oleh orang-orang terutama para bigot teknologi? Saya menduga begini: ya gimana, supir-supir taksi itu tidak mau memperbarui keahlian mereka, akibatnya ya tersingkir dari dunia kerja, susah cari kerjaan lain. Pernyataan ini tentu mirip dengan rentetan tudingan kepada para pengojek pangkalan saat Gojek baru muncul.

Kita sudah miskin imajinasi. Sampai-sampai tidak bisa melihat bahwa sesungguhnya subjek segala inovasi teknologi digital adalah para pekerja. Mobil tanpa supir (self-driving car) bisa diwujudkan karena tersedia data perjalanan para supir yang luar biasa banyaknya. Dalam taraf tertentu, bisa dibilang bahwa teknologi digital adalah milik pekerja. Sehingga, pemanfaatannya harus diatur sedemikian rupa agar menguntungkan kelas pekerja.

Dengan demikian, kita perlu imajinasi baru tentang bagaimana ekonomi digital bekerja. Sebuah sistem yang lebih adil dan bisa diterapkan.

Kategori
Kapital

Konsep Bekerja di Rumah Berbahaya

 


Sebenarnya sudah banyak yang menjelaskan potensi bahaya dari konsep “bekerja di rumah”. Tapi kebanyakan hanya sampai pada pembahasan tentang waktu kerja yang makin semrawut, tingkat keresahan yang semakin tinggi, dan semakin tipisnya batas antara waktu kerja dan rehat. Permasalahan ini penting juga tentunya. Namun sebetulnya ada masalah yang lebih tragis lagi.

Namun demikian, sebelum bicara soal masalah yang lebih tragis tersebut, saya ingin bercerita sedikit tentang keburukan Gojek. Karena kasusnya mirip.

Masalah terbesar Gojek itu bukan karena ia menyingkirkan bentuk usaha lama (ojek pangkalan, misalnya). Efek buruk terbesar dari model bisnis yang semacam ini ialah pelimpahan atau pengalihan modal bisnis kepada pekerja. Gojek tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pengadaan kendaraan bermotor, bahan bakarnya, perawatannya, dan asuransinya. Tidak hanya itu, Gojek juga tidak terbebani oleh biaya kesehatan pekerjanya. Singkatnya, Gojek tidak terlibat langsung dalam proses produksi. Ia hanya memanen untung dengan mengintervensi sektor finansial (perputaran uang).

Untuk mengamankan posisinya yang lepas dari berbagai tanggung jawab di atas, Gojek menyebut para driver sebagai mitra, bukan karyawan. Dampaknya, masalah yang muncul saat proses pengantaran penumpang sepenuhnya dilimpahkan ke driver. Gojek tidak mau tahu. Apabila masalah tersebut memberi dampak buruk, maka Gojek langsung memutus hubungan dengan driver secara sepihak.

Tentunya hal yang sama dilakukan oleh Grab.

Sahabat liberal yang menjunjung tinggi kebebasan pasar, kemungkinan besar akan mengernyitkan dahi lalu bertanya, apa yang salah dengan cara tersebut? Kan driver sendiri yang mendaftar ke Gojek. Tidak ada paksaan. Dan tentunya setiap pekerjaan punya risiko dong?

Orang-orang semacam ini selalu menyingkirkan persoalan struktural yang membentuk keadaaan tertentu. Mereka melihat masalah sesempit pikiran cebong dan kampret sewaktu pemilu. Padahal, ada kondisi yang membuat banyak orang terpaksa mendaftar ke Gojek untuk melanjutkan hidup. Mencari pekerjaan semakin sulit. Bisnis konvensional skala kecil non-online tergerus. Situasi seperti ini membuat banyak orang mau tidak mau mengambil kesempatan apapun yang menghasilkan isi perut. Termasuk menjadi driver Gojek.

Baiklah, cukup bercerita tentang Gojek. Mari kembali ke topik.

Saya rasa iming-iming kenikmatan bekerja di rumah mirip sekali dengan misi Gojek. Perusahaan tidak ingin ikut campur di urusan produksi. Ini bisa dipahami karena mengatur proses produksi membutuhkan biaya dan tenaga yang sangat banyak. Jika modal dan prosesnya dilimpahkan ke pekerja, perusahaan bisa memperlebar jangkauan promosinya.

Bukankah ini bencana? Di tengah kepemilikan aset yang terkonsentrasi di segelintir orang, perusahaan ingin menggunakan aset pekerja yang tidak seberapa untuk menjalankan bisnis!

Bayangkan kamu adalah pengangguran sejak lulus kuliah 3 bulan yang lalu. Kondisi finansial keluargamu pas-pasan sehingga tidak mampu lagi menopang biaya hidupmu. Yang tersisa padamu hanyalah smartphone, laptop standar, ijazah kuliah, dan sedikit uang di dompet dan ATM. Dalam kondisi terdesak, kamu akhirnya mencari lowongan pekerjaan lepas yang sesuai dengan keahlianmu. Syukur, kamu mendapatkan beberapa. Dan semuanya dikerjakan remote (tidak perlu ke kantor). Kamu mengambil semua pekerjaan tersebut karena bayarannya yang cukup kecil. Jadi kalau diambil semuanya, jumlahnya jadi lumayan. Ya walaupun tenggat waktunya berimpitan.

Kamu mengerjakan semua pekerjaan tersebut secara paralel, ganti-gantian. Kadang di warung kopi,  tapi lebih sering di rumah. Atas usahamu yang sedemikian keras sampai mengorbankan jam tidur, seluruh pekerjaan selesai tepat waktu. Kamu pun tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan upah yang dijanjikan. Kamu puas dengan jumlahnya. Apalagi ditambah dengan kebebasan waktu kerja dan banyak waktu yang bisa kamu habiskan di rumah, warung kopi, dan bertemu teman-teman. Kerja terasa mengasikkan.

Kamu tidak sadar, ada banyak biaya yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan tetapi dilimpahkan kepadamu. Sebut saja biaya tempat kerja, listrik, air, internet, dan secangkir kopi. Kamu dieksploitasi dua kali. Pertama, kamu dieksploitasi melalui kerja upahan. Ada nilai lebih dari kerja/produktivitasmu yang diambil juga oleh perusahaan yang memberimu kerja (tentang ini saya menjelaskan lebih detail di sini). Kedua, modal produksi yang kamu punya (tempat, alat kerja, dan bahan pendukung lainnya) dipakai secara gratis oleh perusahaan. Keuntungan perusahaan pun semakin besar karena biaya bisnisnya sangat murah.

Salah satu kampanye “bekerja di rumah” yang bikin saya sebal yaitu yang dihubung-hubungkan dengan emansipasi perempuan, khususnya ibu rumah tangga. Katanya, iklim kerja yang memungkinkan pekerja bekerja di rumah sangat membantu ibu rumah tangga yang masih harus mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus anak. Kampanye ini biasanya mengutip studi dari World Economic Forum (WEF) yang menyatakan bahwa kontribusi perempuan Indonesia di bidang ekonomi masih rendah. Indeksnya 0,685 (skala 0-1). Dengan indeks ini, Indonesia menempati urutan ke-68 dari 153 negara. WEF menyarankan pemerintah Indonesia berbuat sesuatu agar lapangan pekerjaan yang ramah bagi ibu rumah tangga lebih banyak. Salah satunya dengan mendorong perusahaan lebih cepat menerapkan teknologi agar pekerja bisa bekerja di rumah.

Kelompok yang merasa sedang memperjuangkan kesetaraan gender kemungkinan besar akan sepakat dengan tawaran WEF ini. Sebab, mereka berpikir hal tersebut akan membuat semakin banyak perempuan punya kesempatan memasuki dunia kerja. Bekerja, bagi sebagian besar orang, adalah sarana aktualisasi diri. Perempuan yang bekerja adalah bukti bahwa ia juga bisa berkontribusi aktif dalam roda ekonomi jika diberi kesempatan.

Namun, bagi saya, justru tawaran dari WEF tersebut adalah pertanda buruk dan bahkan akan mendatangkan bencana. Saya bilang pertanda buruk karena ketika ibu rumah tangga sudah harus bekerja agar rumah tangganya hidup nyaman, berarti penghasilan suaminya sudah tidak mencukupi. Hidup keluarga tersebut semakin sulit dan negara tidak memberikan jaring pengaman ekonomi.

Hasutan WEF juga akan berujung pada bencana jika dipraktikkan karena akan semakin banyak tenaga, pikiran, dan softskill manusia yang diambil alih oleh dunia kerja. Softskill perempuan yang sebelumnya bisa digunakan untuk membuat masyarakat menjadi lebih baik, tidak eksploitatif, saling toleransi, saling bantu, sadar gender, memperkuat komunitas, dirampas oleh dunia kerja untuk berproduksi demi menambah kekayaan para pemilik modal yang sudah kaya raya.

Cara berpikir yang seperti ini kemungkinan besar susah diterima oleh banyak orang. Ini wajar karena secara umum manusia sudah kehilangan imajinasi tentang dunia tanpa relasi upah. Jika ingin hidup, maka manusia wajib bekerja. Jika ingin mengaktualisasi diri, dianggap sukses, dianggap berguna, maka jalan yang paling baik adalah bekerja. Inilah pikiran umum yang berlaku saat ini.

Sebagai kelas pekerja, yang terpaksa menukar tenaga fisik, pikiran, dan softskill demi mendapatkan uang untuk hidup, kita perlu merebut kembali imajinasi tentang cara dunia bekerja. Segala iming-iming, walaupun di permukaan terlihat menakjubkan, harus kita periksa apakah akan membawa kita keluar dari jurang eksploitasi atau malah semakin membuat kita bergantung sepenuhnya pada dunia kerja. Termasuk tawaran bekerja di rumah.

Kategori
Kapital Society

Rasanya Kembali Bekerja di Jogja Meski Udah Tau Gajinya Gitu-gitu Aja

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah cuitan yang isinya mengkritisi kinerja pemerintah DIY, utamanya kepada Ngarso Dalem. Sayangnya, cuitan kritis tersebut justru mendapat berbagai penolakan dan cacian. Komentar-komentar pembelaannya pun saya rasa sangat keterlaluan, seolah-olah mengkritisi kehidupan di Jogja adalah sebuah dosa besar.

Di antara hujatan yang bikin saya geleng-geleng kepala, saya heran banget melihat komentar orang-orang dan bagaimana mereka meromantisasi Jogja. Katanya warganya ramah-ramah, tapi kenyataannya yang saya lihat, komentar tersebut tidak menujukkan keramahan apalagi kebaikan. Katanya makanan di Jogja serba murah meriah, padahal faktanya harga makanan di Solo masih jauh lebih murah. Katanya warga Jogja cinta toleransi, tapi menurut survei dari lembaga masyarakat justru kasus intoleransi semakin meningkat di Jogja.

Saya jadi merasa, sikap defensif ini hanyalah sebuah reaksi karena takut mengakui hal yang sebenarnya. Mungkin takut hidupnya bakal serba kekurangan kalau nggak menerapkan prinsip nrimo ing pandum. Atau mungkin takut juga bakal dikira “membangkang” kepada Sultan. Entahlah, yang jelas saya gedek banget bacanya.

Sebagai buruh pekerja yang digaji berdasarkan UMR Jogja, saya tidak setuju jika perhitungan UMR hanya ditentukan berdasarkan pada kebutuhan barang pokok saja. Toh, setiap kali harga kebutuhan naik seperti cabai atau beras, kita pasti merasa resah dan sambat kan? Kenaikan harga cabai ini bahkan sudah selevel dengan “bencana” nasional lho! Kalau kenyataannya saja begitu, saya bisa bilang dong kalau harga sembako itu relatif sama di seluruh Indonesia? Kalau harga kebutuhan pokok saja sudah relatif sama, kenapa UMR Jogja masih segitu-gitu aja? Masa iya UMR Jogja lebih kecil dibandingkan Kabupaten Sumenep yang daerahnya masih terbilang sepi dan orang-orangnya bisa cari bahan makanan sendiri

Yang bikin saya makin heran sekaligus ngelus dada adalah ada aja orang-orang yang langsung menuduh bahwa si empunya kritik bukan orang asli Jogja. Kebanyakan selalu menyangkal dengan “Gaji segitu cukup kok” atau yang lebih kasar “Kalau nggak bisa bersyukur, ya nggak usah kerja di Jogja”. Sepurane bos, nggak semua orang punya banyak pilihan. Bekerja di Jogja saja adalah pilihan paling sulit, apalagi sudah tahu gajinya cuma segitu-gitu aja.

Saya sendiri “terpaksa” kembali ke Jogja karena sebuah alasan. Sejak awal, saya sudah sadar dan tahu bahwa penghasilan saya pasti akan berkurang drastis dibanding ketika saya masih bekerja di ibu kota. Namun karena keadaan, akhirnya cuma bisa yaudalaya.

Awalnya saya berusaha menutupi keresahan tersebut dengan dalih “rezeki nggak akan ke mana”. Saya juga sering baik-baikin diri sendiri, “Gapapa, rezeki nggak cuma dalam bentuk uang kok” padahal sebenarnya saya sedang denial aja sih. Tanpa sadar, saya sedang mengaburkan keresahan saya dengan meromantisasi Jogja. Bahwa menjadi orang Jogja plus Jawa itu harus bisa nrimo. Nggak boleh maruk alias serakah.

Namun, lama-lama saya nggak tahan. Saya mulai muak bersikap denial terhadap diri sendiri padahal ada ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang jelas-jelas nyata di depan mata. Saya sadar, bersikap denial justru membuat kesehatan mental terganggung, sehingga apapun yang saya lakukan pasti akan disisipi dengan sambat.

Bagi saya yang masih single, masih tinggal nebeng dengan orang tua, dan selalu dapat jatah makan siang di kantor, gaji yang didapat tentu saja masih mencukupi kebutuhan saya. Saya masih bisa menabung, saya masih bisa makan enak, dan saya masih bisa merencanakan liburan untuk refreshing. Namun, dalam beberapa kondisi, saya menyadari betapa kecilnya upah dan nilai jasa yang dibayarkan kepada saya.

Bukannya nggak bersyukur, tapi sehari-hari saja saya terbiasa hidup secara hemat, bahkan cenderung pelit kepada diri sendiri. Saya hampir nggak pernah nongki apalagi ngopi atau beli boba, jajan juga jarang-jarang karena nggak ada temennya *ups, sudah mengurangi hasrat bela-beli buku tapi kadang-kadang masih merasa kurang. Apalagi ditambah fakta menyebalkan bahwa ternyata saya belum bisa lepas dari lingkaran sandwich generation 😦

Sejak kesehatan saya mulai menurun, saya benar-benar menyadari bahwa proteksi diri selain BPJS Kesehatan itu penting banget. Sayangnya, dengan gaji yang nggak seberapa, saya jadi mikir-mikir lagi jika hendak menggunakan asuransi kesehatan lain yang biayanya lumayan mahal. Yaaaaa pengennya sih selalu sehat wal’afiat, tapi siapa coba yang bisa menjamin?

Ada satu fenomena unik yang bikin saya kagum kepada warlok Jogja. Katanya, sebagai masyarakat berhati nyaman itu harus menerapkan prinsip nrimo ing pandum, tapi kok bisa gonta-ganti kendaraan bermotor ya? Saya salut banget, sebab dengan gaji selevel UMR Jogja aja masih bisa kredit motor NMax. Jujur, saya tuh kalau kepengen sesuatu, dipikirnya sampai bikin ubun-ubun pusing lho. Kadang udah mau check out, tapi mikir lagi karena takut ada kebutuhan dadakan, sehingga akhirnya lebih memilih untuk mengalokasikan uang tersebut ke dana darurat aja.

Jadi, boleh nggak saya dikasih tau tips dan triknya mencicil motor ala gaji UMR Jogja? Kok bisa sih?

Sekali lagi, mengkritisi ketimpangan dan UMR Jogja bukan berarti nggak bersyukur lho ya. Tapi heran aja gitu, sekelas Jogja yang katanya daerah istimewa masa ketimpangan justru merajalela di sini?

Katanya warga Jogja percaya Ngarso Dalem nggak akan menelantarkan warganya. Nah, kalau beliau emang pengen warganya hidup tenteram dan sejahtera, kenapa beliau dan jajarannya masih mengizinkan pembangunan hotel, mal, dan apartemen? Apa belum cukup masalah kekeringan air sumur akibat pembangunan yang keterlaluan masifnya? Lagipula, dengan UMR yang ‘cuma segitu’, yakin warganya bisa menikmati pembangunan tersebut?

Untuk warga lokal Jogja, please jangan melulu menyalahkan kaum pendatang yang berinvestasi di Jogja. Lhawong mereka beneran punya duit kok! Harga properti yang ditawarkan di Jogja bisa jadi dianggap lebih murah ketimbang properti di daerah asal mereka. Sementara, properti dengan harga segitu (mungkin) masih dianggap cukup mahal jika penghasilannya hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Logikanya, buat makan aja masih prihatin, boro-boro mikirin harga properti. Nggak akan kebeli. Sudah tahu kan kalau anak muda Jogja terancam tunawisma karena harga properti yang gila-gilaan?

Saya menulis ini dengan rasa sedih sekaligus kesal. Sedih karena saya semakin banyak tahu (dan dikasih tahu) ketimpangan sosial di mana-mana, sekaligus merasa kesal karena respon orang-orang yang antikritik gitu-gitu aja. Yang dibela cuma bab makanan murah aja tapi lupa kalau kebutuhan primer nggak cuma makan.

Kebutuhan sandang mungkin masih bisa terpenuhi, tapi bagaimana dengan kebutuhan papan? Kenyataannya, harga tanah sudah menjulang sangat tinggi dan bikin siapapun menjerit karena semakin susah diwujudkan.

Sebagai warga asli Jogja ber-KTP Sleman, saya sih udah nggak mau romantis-romantisan lagi. Udah cukup, takut overdosis. Toh, ada PR besar yang menunggu, yaitu  mengkritisi pemerintah DIY dan meminta pertanggung jawabannya.

FYI, Pemda DIY selalu dapat anggaran APBN berupa Dana Istimewa yang jumlahnya mencapai milyaran tiap tahun lho! Masa warga asli Jogja nggak kepo dana ini udah dialokasikan buat apa aja? 🙂

Kategori
Kapital

Eksploitasi Kerja Bukan Masalah Ikhlas atau Tidak

Pertama-tama saya ingin menyusun daftar pernyataan memuakkan tentang Upah Minimum Regional (UMR) rendah yang pernah saya dengar atau baca:

  1. Kan disesuaikan dengan biaya hidup. Biaya hidupnya murah ya upah minimumnya juga wajar kecil.
  2. Kami tidak bahagia karena uang, tapi karena rasa kekeluargaan.
  3. Kami tidak butuh berlimpah, kami hanya butuh cukup.
  4. Rezeki itu bukan cuma soal uang. Suasana yang aman dan tentram itu lebih nikmat.
  5. Apa gunanya gaji gede kalau nggak bahagia?

Baiklah, saya rasa daftarnya cukup. Saya tidak akan menanggapinya satu per satu. Sekalian semuanya saja.

Hal mendasar yang perlu kita pahami bersama: eksploitasi kerja itu bukan persoalan menderita atau tidak. Mengukurnya bukan dengan menanyai pekerja tentang perasaannya. Seperti, “apakah Anda merasa dieksploitasi di tempat kerja?”. “Oh, tidak. Saya senang dengan pekerjaan saya. Sesuai passion. Perusahaan saya sangat peduli dengan kesehatan pegawainya. Pekerjaan tidak sering menumpuk. Waktu lembur pun dibayar dengan semestinya. Soal gaji, sangat cukup untuk hidup saya dan keluarga.” Apabila kita mengukur eksploitasi seperti ini, maka parameternya menjadi tidak jelas, subjektif. Apalagi saat ini, dengan perkembangan teknologi, mudah sekali memanipulasi perasaan orang. Perasaan tidak bisa dijadikan ukuran.

Eksploitasi kerja semestinya diukur secara objektif. Bagaimana caranya? Mari kita ulas persoalan UMR. Bagaimana sih pemerintah menentukan UMR? Sebagian besar orang sudah tahu, yaitu dengan menghitung biaya hidup di masing-masing daerah. Dengan upah UMR, menurut pemerintah, seseorang sudah bisa hidup layak. Dalam hal ini kita sebaiknya tidak terjebak pada debat tak produktif tentang berapa sebenarnya biaya hidup di daerah tertentu. Apakah masih cukup dengan gaji UMR? Debat ini akan berkepanjangan dan tidak ada ujungnya karena setiap orang punya bayangan sendiri-sendiri tentang apa itu hidup layak. Oleh karena itu, sebaiknya kita beranjak dari perdebatan semacam ini lalu mengajukan pertanyaan kritis: mengapa diukurnya dengan biaya hidup?

Misalnya Anda adalah seorang penjaga toko baju di Kota Jogja. Produktivitas Anda rata-rata 20 juta rupiah sebulan, yang bisa dihitung dari kontribusi pekerjaan Anda terhadap hasil penjualan baju. Taruhlah setengah dari produktivitas Anda, 10 juta, untuk keuntungan perusahaan. Berarti masih ada 10 juta rupiah yang semestinya adalah hak Anda. Akan tetapi, Anda hanya digaji 2,2 juta rupiah, lebih besar sedikit dari UMR Kota Jogja. Berarti 7,8 juta rupiah yang harusnya hak Anda, diambil juga oleh perusahaan. Inilah yang dimaksud eksploitasi. Ada nilai lebih dari produktivitas kita yang diembat oleh pemilik modal.

Saya rasa sebagian besar orang paham ini. Sebagian besar orang juga dulunya pasti tak terima dengan aturan main tersebut. Namun, karena lapangan pekerjaan semakin terbatas, kita tidak punya pilihan selain menerima aturan yang tidak demokratis ini. Kita, kelas pekerja, terpaksa menerima aturan pengupahan berdasarkan biaya hidup. Dan lama-kelamaan, karena semakin banyak orang yang pasrah, akhirnya aturan main ini dianggap wajar. Sedikit sekali yang akan menganggapnya tidak adil.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Ada nilai lebih dari produktivitas kita yang diembat oleh pemilik modal.”[/mks_pullquote]

Pertanyaannya kemudian, bisakah menentukan UMR berdasarkan produktivitas kerja? Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita jawab ini dulu: bisakah produktivitas pekerja dihitung nilai ekonominya? Kalau saya yang ditanya, saya bilang bisa. Contohnya begini. Dalam dunia konstruksi, kontribusi tukang batu, kayu, besi, dan mandor terhadap suatu pekerjaan bisa diukur dengan angka atau koefisien. Misalnya, untuk pekerjaan fondasi, kontribusi tukang batu 0,35, tukang kayu 0,2, tukang besi 0,35, dan mandor 0,1. Nah, angka-angka ini tinggal dikalikan dengan nilai ekonomi pekerjaan fondasi tersebut. Memang, si tukang batu, kayu, besi, dan mandor tidak akan selalu bekerja sesuai dengan prediksi angka-angka itu. Namun, kita bisa menganggap angka tersebut sebagai rata-rata. Kemudian, gaji yang diberikan kepada para pekerja adalah nilai ekonomi produktivitas mereka dikurangi dengan keuntungan perusahaan yang proporsional/adil.

Walaupun terlihat mencerahkan dan realistis, sebetulnya ide pemberian upah berdasarkan produktivitas masih bermasalah. Cara ini masih punya potensi besar untuk membuat dunia kerja tidak demokratis. Para pemberi kerja (pemilik perusahaan) yang akan lebih punya kekuatan untuk mengatur kontrak kerja. Jika memakai contoh sebelumnya, siapa yang menentukan koefisien tukang batu, kayu, besi, dan mandor? Siapa yang menentukan nilai ekonomi dari pekerjaan fondasi? Siapa pula yang mengatur berapa persen keuntungan untuk perusahaan dan berapa persen untuk pekerja?

Sebagaimana yang saya sampaikan di awal, saat ini kepemilikan aset atau modal produksi masih terpusat di sekelompok kecil orang saja. Lowongan pekerjaan semakin sulit, apalagi dengan pesatnya perkembangan teknologi yang bisa digunakan di dunia kerja. Kelas pekerja, terutama yang keahliannya sudah bisa diganti teknologi, tersingkir ke sektor-sektor pekerjaan yang upahnya murah, jam kerjanya jahanam, dan tidak ada jaminan kontrak. Dalam kondisi yang semacam ini, para pekerja berada di posisi yang sangat lemah ketika berhadapan dengan pemilik modal karena harus segera mendapatkan pekerjaan agar bisa bertahan hidup. Jika sudah begini, hampir mustahil para pekerja bisa bernegosiasi soal upah sesuai produktivitas dengan pemodal. Digaji sedikit di atas UMR yang dihitung berdasarkan biaya hidup plus tunjangan kesehatan saja sudah lumayan.

Sampai di sini kiranya kita sudah bisa memahami bahwa yang bermasalah bukan seberapa besar upah yang diberikan, tapi pengupahan itulah yang eksploitatif. Jika kita masih hidup di dunia yang mewajarkan pengupahan, berarti sebagian besar aset masih dikuasai segelintir orang. Yang nggak kebagian kue aset harus terlunta-lunta menawarkan tenaga fisiknya, pikirannya, dan softskill-nya untuk ditukar dengan uang.

Oleh karena itu, jika Anda masih menerima upah, berarti Anda sedang dieksploitasi. Anda masih kelas pekerja. Sekali lagi saya tekankan, ini tidak ada hubungannya dengan ikhlas atau tidak, senang atau kecewa, bahagia atau menderita. Ukurannya objektif, bukan melibatkan perasaan. Yang dilihat adalah pencurian nilai kerja/produktivitas, bukan suasana hati si pekerja.

Bisa jadi Anda sekarang berpikir, mungkinkah hidup semua manusia tidak bergantung pada upah? Jika Anda sudah sering menelan mentah-mentah narasi pemerintah dan orang-orang superkaya, bahwa kelas pekerja harus lebih keras bekerja agar posisinya di tempat kerja tidak diganti robot, maka kemungkinan besar Anda tidak akan percaya dunia ini bisa tanpa relasi upah. Bahkan kepikiran saja mungkin tidak. Yang ada di pikiran Anda hanya bagaimana agar keahlian Anda terus relevan dengan dunia kerja, sambil berharap orang-orang super kaya dan pemerintah mengasihani kita dengan menyediakan lapangan pekerjaan baru yang lebih banyak. Hal ini memang penting juga untuk penghidupan kita. Namun sungguh, sudut pandang semacam ini, jika benar-benar menguasai alam pikiran kita, hanya akan membuat kita terus mengais-ngais sisa ekonomi dan bergantung pada relasi upah yang eksploitatif.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Yang dilihat adalah pencurian nilai kerja/produktivitas, bukan suasana hati si pekerja.”[/mks_pullquote]

Berseberangan dengan narasi pemerintah dan orang-orang super kaya yang menggambarkan teknologi sebagai ancaman bagi kelas pekerja, sesungguhnya teknologilah yang bisa kita manfaatkan untuk mengeluarkan diri kita dari dunia pengupahan. Logikanya sederhana sekali. Di mana kelas pekerja dieksploitasi? Di tempat kerja. Ya sudah, berarti yang harus kita lakukan adalah menggunakan teknologi untuk mengeluarkan kita dari tempat kerja. Teknologi atau robot saja yang disuruh bekerja. Saya sudah pernah menulis soal ini di sini.

Pemahaman eksploitasi semacam ini semestinya bisa menyatukan kelas pekerja yang sudah terlalu lama tercerai-berai. Tidak perlu lagi pembedaan pekerja kreatif dan nonkreatif, pegawai tetap dan kontrak, serta buruh pabrik dan pekerja kantoran. Ukurannya cuma satu: jika kau menerima upah, kau kelas pekerja. Dan kau sedang dieksploitasi.

Kategori
Kapital Society

Meneladani Ken Arok untuk Melawan Eksploitasi Digital

Kawan saya, Farizqi Khaldirian, mengajak kita untuk memeriksa ulang makna istilah “technology as salvation“. Menurutnya, pemahaman kita saat ini yang menganggap perkembangan teknologi adalah penyelamat karena memudahkan berbagai hal justru membuat kita, manusia, terancam kehilangan eksistensi. Teknologi, khususnya digital, semakin jauh mengendalikan apa yang kita pikirkan dan rasakan. Teknologi semakin bisa mendefinisikan siapa kita, menandai kita dengan angka-angka, lalu merekomendasikan/merayu kita agar membaca, menonton, dan mendengar konten yang menurutnya cocok bagi kita. Ini kemudian menimbulkan pertanyaan krusial: apakah manusia masih punya kendali atas dirinya sendiri, atas hasratnya?

Omong-omong soal kendali, Farizqi juga menyoal kendali teknologi yang masih berada di tangan sekelompok kecil orang yang punya modal besar. Mereka mengendalikan pemanfaatan teknologi dan mendapatkan keuntungan materi yang luar biasa. Sebagian besar manusia yang tidak punya kendali hanya menjadi objek eksperimen dan pemanfaatan teknologi.

Jika fakta di atas diresapi, sebetulnya kita bisa menantang pemahaman kebanyakan orang yang menganggap teknologi canggih terkini, atau biasa disebut teknologi 4.0, muncul akibat pertemuan ide antara para ahli matematika dengan orang-orang imajinatif. Mungkin mereka ingin terlihat romantis dan puitis.

Jika kita memeriksa secara sungguh-sungguh perjalanan sejarah teknologi yang berhasil diproduksi secara luas dan digunakan secara masif di dunia kerja, maka akan terlihat bahwa teknologi muncul karena keinginan pemodal untuk mengefisienkan kinerja perusahaannya. Faktor produksi utama ada 2, bahan baku dan pekerja. Bahan baku bisa diutak-atik kapan saja. Tetapi faktor manusia selalu menjadi masalah sejak revolusi industri pertama bergulir. Manusia bisa malas, bisa berorganisasi lalu protes, dan bisa mogok kerja. Ulah manusia ini tentu saja membuat perusahaan tidak berproduksi maksimal sehingga penumpukan keuntungan pun jadi berkurang.

Para pemodal yang niat utamanya selalu penumpukan kekayaan, terus mencari cara dan inovasi agar manusia bisa cepat diganti oleh teknologi. Lalu apa yang mereka lakukan? Mereka, dengan bantuan pekerja teknologi tentunya, memodelkan pekerja manusia. Cara manusia melakukan pekerjaan dipelajari, dimodelkan, lalu dibuat replikanya. Bergulirnya revolusi industri pertama ditandai dengan keberhasilan pemodelan cara manusia memintal benang. Setelah mesin pemintal berhasil dibuat, pekerja manusia ditendang ke luar pabrik. Cerita kemunculan teknologi di hari-hari selanjutnya, sampai hari ini, juga melalui cara yang serupa. Misalnya, chat bot yang digunakan untuk costumer care. Bahasa, logika, dan empati yang dimodelkan untuk chat bot tersebut berasal dari inovasi para pekerja call center yang telah mempraktikkannya selama bertahun-tahun.

Bukankah ini ironis? Metode kerja yang bertahun-tahun dijalankan oleh manusia, sembari disempurnakan selama ia bekerja, kemudian dibekukan ke dalam perangkat teknologi. Inovasi metode kerja yang dikembangkan oleh para pekerja selama ini diekstrak kemudian dijadikan benda mati. Manusia kelas pekerja dipisahkan dari keahlian dan inovasinya sendiri. Setelah keahliannya berhasil dimodelkan, ia disuruh pergi dan tidak mendapat apa-apa. Padahal para pekerjalah yang menjadi subjek inovasi teknologi.

Pemahaman ini sungguh penting untuk memperjelas debat tentang kepemilikan teknologi. Teknologi milik siapa? Jika mengikuti logika pembual, yang menebar cerita bahwa teknologi 4.0 muncul akibat pertemuan romantis ahli matematika dengan manusia imajinatif, maka kita akan menyimpulkan bahwa para inovatorlah yang memiliki teknologi. Sebaliknya, jika kita menginsafi sejarah teknologi yang sudah diuraikan di atas, jelas kita akan lantang bilang: teknologi milik pekerja!

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Manusia kelas pekerja dipisahkan dari keahlian dan inovasinya sendiri. Setelah keahliannya berhasil dimodelkan, ia disuruh pergi dan tidak mendapat apa-apa. Padahal para pekerjalah yang menjadi subjek inovasi teknologi.”[/mks_pullquote]

Tentu saja kita tidak bisa hanya berhenti di klaim tersebut. Apabila kita hanya mendengung-dengungkan fakta kepemilikan teknologi ini di jalanan dan media sosial, tanpa punya strategi yang harus dilakukan hari per hari, lalu hanya berharap mereka yang berada di kekuasaan menuruti kemauan kita, naif sekali. Mana mau mereka yang berada di posisi enak melepas kenyamanannya? Tindakan ini umumnya disebabkan dua hal. Pertama, ia malas berpikir sehingga tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. Akibatnya, tidak mampu menyusun strategi. Yang kedua, ia memang muak dengan keadaan, tapi berharap orang lain yang memperbaikinya. Ia tak ingin tangannya kotor dan berdarah-darah.

Agar tidak terjebak dalam mental yang demikian, saya akan mencoba mengurai sedikit hal yang bisa kita lakukan untuk mulai menggembosi kepemilikan teknologi yang semakin sangat sangat timpang ini.

Sebelumnya, izinkan saya sedikit berkisah tentang Ken Arok. Tentu saja berdasarkan versi yang saya percayai. Arok selagi muda menyaksikan eksploitasi yang mengerikan pada orang-orang di sekelilingnya. Penguasa Tumapel merampas hasil pertanian dalam jumlah yang keterlaluan dan ditopang dengan aturan yang dianggap legal. Tentu saja rakyatnya menderita karena hasil kerjanya yang susah payah sebagian besar dijarah.

Tak tahan melihat kondisi tersebut, Arok muda dan kawan-kawannya mencari cara untuk melawan eksploitasi ini. Berteriak-teriak atau membikin keributan di depan istana tentu saja adalah ide yang buruk (kalau bukan misi bunuh diri), karena mereka hanyalah gerombolan pemuda yang kecil jumlahnya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk merampok hasil pertanian itu di tengah jalan, ketika diangkut. Dengan bermodal nyali yang tak tanggung-tanggung, mereka lebih sering berhasil melakukan perampokan. Para prajurit yang mengawal bisa dikalahkan. Hasil rampokan tersebut mereka bawa kembali ke tempat asalnya dan mereka nikmati bersama penduduk.

Kisah perampasan hasil pertanian rakyat Tumapel ini mirip dengan eksploitasi digital hari ini. Jika di Tumapel yang dirampas adalah padi, jagung, dan buah-buahan, maka platform digital menambang data pribadi, film kesukaan, makanan dan minuman favorit, preferensi busana, hingga rasa senang dan sedih yang kita produksi setiap hari. Di Tumapel, hasil penjarahan ditumpuk di pusat kota, tak jauh dari lokasi penjarahan. Sedangkan hari ini data perilaku kita bisa terbang jauh sampai ke Amerika, dan nilai ekonominya diolah tanpa kita mendapatkan bagian yang seimbang.

Kondisi kita hari ini juga mirip Arok muda: tidak punya kekuatan untuk melawan secara langsung pusat kekuasaan yang mengendalikan eksploitasi digital. Sehingga, kita pun bisa meniru cara yang ditempuh Arok. Kita bisa menyusun strategi untuk merampok hasil jarahan di tengah jalan. Arok dan teman-temannya menentukan terlebih dahulu di titik mana mereka bisa merampok dengan mudah. Mereka mengamati setiap titik jalan yang dilalui oleh kereta kuda dan para prajurit penguasa. Kita pun perlu juga pemetaan tersebut, yaitu dengan memahami secara detail bagaimana proses eksploitasi digital berlangsung. Setelah itu, kita bisa menentukan di titik mana kita bisa merampok kembali data-data kita yang dirampas. Ini sungguhlah penting agar kita tidak melulu berharap pada penguasa, yang juga terlibat dan menikmati hasil rampasan, memberikan belas kasihan pada diri kita.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Kita pun bisa meniru cara yang ditempuh Arok. Kita bisa menyusun strategi untuk merampok hasil jarahan di tengah jalan.”[/mks_pullquote]

Untuk bisa memetakan, kita harus tahu dulu struktur digital hari ini seperti apa. Benjamin Bratton, dalam The Stack: On Software and Sovereignty, memodelkan struktur digital seperti gambar berikut:

kredit: arachne.cc

Benjamin Bratton memberi nama The Stack untuk struktur di atas. The Stack secara sederhana bisa dipahami sebagai sebuah struktur komputasi berskala planet yang kemunculannya tidak direncanakan. The Stack punya 6 lapisan: earth, cloud, city, address, interface, dan user.

Ruang artikel ini sangat terbatas untuk menjelaskan keenam lapisan tersebut secara rinci. Oleh karena itu, saya akan menjelaskannya dengan singkat saja. Earth adalah segala materi yang ada di bumi yang digunakan untuk membuat perangkat digital. Misalnya, kobalt yang banyak tersedia di Kongo, yang penambangannya melibatkan anak-anak. Kobalt adalah bahan baku pembuatan baterai litium yang digunakan untuk smartphone dan laptop.

Cloud, walaupun sering dibayangkan sebagai awan, sesungguhnya adalah penyimpanan raksasa yang beberapa di simpan di bawah laut. City adalah tempat saling terhubungnya cloud. Address adalah alamat masing-masing perangkat yang kita gunakan untuk mengakses dunia Stack. Contohnya gampangnya ya IP Address. Walaupun mobilitas badan kita tinggi, jika kita tetap mengunakan IP Address yang sama, bagi The Stack kita tidak ke mana-mana.

Lapisan selanjutnya adalah interface. Ini adalah selaput yang memungkinkan user menikmati apa saja yang berada di dalam cloud. Sedangkan user bisa manusia, bisa juga tidak. Lho, user bisa bukan manusia? Cobalah tengok cara kerja robot saham. Ia membaca pergerakan pasar saham, menganalisisnya, lalu memutuskan menjual atau membeli yang mana.

Sebagian besar manusia hanya bisa mengakses Stack sampai interface. Kita tidak tahu apa yang terjadi di lapisan address, city, cloud, dan earth. Dengan demikian, kita baru bisa melakukan perampokan secara realistis di lapisan interface. Strategi yang harus kita susun ialah merampok kembali nilai ekonomi dari data-data yang kita produksi setiap hari di lapisan ini. Mengapa merampok kembali? Sebab, kita belum bisa mencegah nilai data-data tersebut memasuki cloud. Yang baru bisa kita lakukan adalah ikutan mengolahnya untuk menyusun kekuatan sedikit demi sedikit.

Perampokan kembali nilai ekonomi data-data kita ini penting untuk mempertahankan eksistensi manusia, khususnya kita sebagai kelas pekerja. Sebelum eksistensi ini menguap, seperti yang dikeluhkan oleh Farizqi.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Strategi yang harus kita susun ialah merampok kembali nilai ekonomi dari data-data yang kita produksi setiap hari.”[/mks_pullquote]

Model perampokan kembali yang bisa kita contoh adalah koperasi yang bernama Robin Hood Coop. Koperasi ini berbasis di Finlandia. Kegiatan mereka adalah mengumpulkan uang anggota untuk dimasukkan ke bursa saham Wall Street dengan bantuan robot saham. Keuntungan dari program ini sebagian dibagikan ke anggota, sebagian lainnya digunakan untuk menjalankan program-program yang sesuai dengan visi koperasi. Uniknya, karena berbasis koperasi, pengelolaannya berbeda dengan reksadana. Setiap anggota mempunyai suara, one man one vote. Program yang akan dijalankan oleh koperasi diputuskan dalam rapat seluruh anggota.

Agar lebih jelas, saya akan menceritakan 1 contoh lagi. Beberapa peneliti dan akademisi di Amerika dan Eropa membuat sebuah komunitas bernama Global Center of Advance Studies (GCAS). Komunitas ini bercita-cita membuat sebuah model pendidikan tinggi alternatif. Ini tak lepas dari pengaruh kondisi pendidikan tinggi di Amerika. Seperti kita tahu, di Amerika, karena biaya pendidikan tinggi yang semakin melonjak naik, pemerintah membuat kebijakan yang memungkinkan mahasiswa berutang dulu ke bank. Utang ini nantinya dicicil setelah dia lulus. Akibatnya, banyak sekali mahasiswa yang terlilit utang setelah lulus kuliah. Sebab lapangan pekerjaan semakin sulit, dan jika ada pun, upahnya lebih murah.

GCAS hadir untuk mencoba menyelesaikan masalah ini. Para pemuda yang ingin mengakses pengetahuan di GCAS bisa “membayarnya” dengan berkontribusi di komunitas ini. Bisa dibilang membeli pengetahuan dengan pengetahuan. GCAS memiliki mata uang sendiri, yaitu GCASY yang berupa cryptocurrency. Jadi, strategi yang dipakai memang mengikuti transaksi pendidikan seperti umumnya. Jika kau mampu bayar, kau bisa mengakses pengetahuan yang berkualitas. Bedanya, uang yang dipakai untuk membayar didapatkan dari aktivitas membagi pengetahuan atau berkontribusi memajukan komunitas tersebut.

Yang lebih menarik lagi dari komunitas ini, kontribusi yang dihitung tidak terbatas pada sumbangan ide, desain, mencatat keuangan, atau kerja-kerja organisasi lainnya. Setiap orang bahkan bisa mendapatkan GCASY (mata uang mereka) hanya dengan memberi like, comment, atau share di postingan media sosial GCAS. Ini luar biasa. Mereka berusaha memberikan nilai pada aktivitas kita bermedia sosial.

Mungkin cara yang dilakukan oleh GCAS ini belumlah ideal. Namun, setidaknya mereka sudah berani mencoba model ekonomi digital lain di luar bayangan mainstream yang eksploitatif. Mereka sudah mulai berusaha merampok kembali nilai ekonomi aktivitas digital mereka yang dicuri dan menggunakannya untuk membangun komunitas pendidikan yang lebih adil. Agar tak ada lagi orang yang harus terjerat utang karena ingin belajar.

Hidup semakin berat, melelahkan, dan bikin frustasi. Namun kondisi ini jangan sampai membuat kita terlalu terbuai pada janji-janji dunia ideal yang tidak realistis. Perlawanan pada sistem yang menindas ini tetap perlu cara-cara yang realistis, tapi tak meninggalkan kemampuan berpikir abstrak/imajinasi, seperti 2 contoh di atas tadi. Kelak, jika modal yang kita punya sudah lebih kuat, maka perlawanan yang dijalankan bisa lebih besar. Seperti Arok dewasa yang sudah memiliki pasukan, strategi, dan modal, ia menumbangkan Tunggul Ametung melalui tangan orang lain.

Kategori
Kapital Society

Balada Menjadi Sandwich Generation: Anak Berbakti vs Durhaka

Jika masih menyisihkan sebagian gajimu untuk kebutuhan orang tua atau saudara kandungmu, percayalah kamu adalah bagian dari sandwich generation.

Bicara soal sandwich generation seolah tak ada habisnya. Yah, emang susah sih kalau mau dikelarin, wong fenomena ini banyak diamini oleh orang-orang kok! Bahkan saya sendiri pernah dan (mungkin) masih mengalaminya.

Secara umum, sandwich generation adalah mereka yang memiliki beban ganda finansial. Dinamakan sandwich generation karena fenonema ini bagaikan roti sandwich yang membuat posisi seseorang “terhimpit” akibat dua kewajiban tersebut. Kondisi ini umumnya dialami oleh generasi milenial, tidak peduli statusnya sudah menikah atau belum dan sudah memiliki anak atau belum. Intinya, kaum milenial dihadapkan pada beban finansial ganda, sebab ia tidak lagi membiayai dirinya sendiri melainkan juga orang lain (terutama orang tua dan saudara kandungnya).

Sandwich generation nggak ujug-ujug muncul seolah-olah mereka gagal mengatur keuangan. Menurut penelitian, fenomena ini muncul karena kegagalan orang tua sandwich generation dalam mengatur keuangan dan persiapan hari tua. Banyak orang tua masih menganggap bahwa “anak adalah investasi masa depan”, sehingga mereka pun abai pada perencanaan keuangan atau mungkin sengaja bergantung kepada anaknya untuk bertahan hidup.

Sayangnya di Indonesia, kondisi demikian masih dianggap lumrah. Apalagi kebanyakan orang masih beranggapan bahwa menyokong orang tua adalah kewajiban anak ketika dewasa. Anak wajib berbakti kepada orang tua dan salah satu tanda baktinya adalah dengan mengurusnya secara finansial.

Anggapan soal konsep “durhaka” semakin melanggengkan kebiasaan toxic ini. Sebab, seseorang yang sudah mandiri finansial a.k.a bekerja seolah-olah diharuskan untuk ikut membantu finansial keluarganya. Tak peduli apakah gajinya layak atau tidak, cukup atau tidak untuk bertahan di perantuan, yang penting jatah kiriman ke kampung selalu tersedia.

Saya pun pernah menjadi bagian dari sandwich generation. Meski orang tua (re: mama) sering mewanti-wanti saya bahwa perempuan itu harus mandiri secara finansial, tapi toh pada akhirnya saya tetap merasa bertanggung jawab dengan kondisi keuangan olahraga. Saya nggak bisa terima aja kalau nasihat itu datang dari mama, apalagi mengingat mama saya adalah full time ibu rumah tangga dan tidak memiliki pemasukan apa pun. Hampir seratus persen, beliau bergantung pada pensiunan papa saya yang tentu saja nggak seberapa.

Karena kenyataan itulah, saya meniatkan diri saya, entah gimana pun caranya saya harus bisa mandiri secara finansial. Sayangnya, meski sudah merasa mandiri dan berharap bisa mewujudkan mimpi-mimpi yang hendak digapai, saya tetap saja dilibatkan dalam urusan-urusan finansial di rumah. Ketika masih bekerja di ibu kota, setiap bulan saya berusaha menyisihkan 10% penghasilan saya untuk dikirimkan ke orang rumah. Meski sebenernya gapapa karena toh saya juga pengen ngasih, lama-lama saya menyadari bahwa kebiasaan ini justru membuat keluarga jadi “berharap lebih” kepada saya. Sebenarnya sih nggak masalah, selama uangnya ada, tapi saya nggak suka dijadikan tempat bergantung.

Ketika saya pindah kantor dan penghasilan saya menurun drastis karena perbedaan UMR, saya pun mulai berhenti menganggarkan sebagian kecil gaji saya untuk orang rumah. Bukannya saya pelit atau durhaka seperti yang sering dituduhkan orang-orang, saya berusaha sadar diri bahwa sekarang pemasukan saya terbatas, sementara saya juga sedang getol menabung demi rencana-rencana masa depan.

Perlu diakui juga, dalam beberapa kondisi, menjadi “penyokong keuangan keluarga” itu stressful banget. Mengutip dari Tirto.id, generasi sandwich rentan mengalami tekanan karena beban ganda yang dipikulnya. Tekanan psikologis seperti stres bisa mengakibatkan terganggunya pekerjaan, hubungan dengan pasangan atau rumah tangga hingga ke pergaulan. Bukan nggak mungkin, tekanan ini akan memicu mereka melakukan hal yang tidak diinginkan.

Bayangin aja deh ya, bosmu udah rese di kantor, gaji nggak naik-naik, masih harus bayar iuran BPJS, bayar cicilan ini itu, harga cabai dan gula kok lagi naik drastis, nggak punya temen ngobrol dan berbagi karena kamu introvert, eh kamu tetap harus punya jatah untuk orang tua dan keluargamu. Hadeeeh saya sih nggak sanggup ya shay, apalagi Dilan~

Saya pun sempat tertekan karena pengeluaran mendadak melonjak tinggi dibanding sebelumnya. Saya overthinking tiap hari karena memikirkan saldo tabungan aktif yang mendadak menipis. Padahal baru aja gajian 😦

Karena sudah nggak tahan dengan kondisi ini, saya berusaha mengungkapkan keresahan ini kepada mama. Saya bilang, saya nggak sanggup karena sedang banyak kebutuhan, sementara saya juga sedang ingin menabung lebih banyak. Syukurlah, mama saya mengerti dan memaklumi. Toh, meskipun saya mulai membatasi keuangan, bukan berarti saya nggak ngasih sesuatu sama sekali ke orang tua. Kadang-kadang kalau lagi pengen dan punya rezeki lebih, saya suka membelikan sebagian kebutuhan rumah tangga untuk mengurangi pengeluaran orang tua saya. Intinya sih, tahu diri dan tahu batasnya aja.

Karena pengalaman tersebut, saya jadi belajar bahwa cara utama untuk memutus rantai ini adalah terbuka dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya. Manusia kan punya keterbatasan ya, wajar aja sih kalau dalam beberapa kondisi merasa nggak mampu. Makanya, penting banget untuk mengkomunikasikan keterbatasan tersebut kepada orang tua, beri mereka pengertian bahwa nggak selamanya uang yang kita miliki semata digunakan memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, cobalah minta bantuan kepada saudara kandung seperti adik supaya mereka juga bisa ikut berpartisipasi dalam keuangan keluarga.

Kalau anak tunggal bagaimana? Hmmm kalau saya bisa ngasih saran sih, mau nggak mau, harus cari income lain selain gaji tiap bulan. Emang nggak gampang keluar dari jeratan sandwich generation, jadi sebisa mungkin harus  untuk menambah penghasilan sampingan supaya nggak terlalu terbebani. Plus, kamu yang anak tunggal jadi punya ‘uang sisa’ untuk menabung dan berinvestasi.

Terlepas dari status generasi sandwich atau tidak, langkah paling dasar untuk keluar dari mimpi buruk ini adalah dengan belajar investasi. I know this may be hard and seems impossible. Namun, mengingat fakta bahwa generasi sandwich menganggung beban ganda finansial, maka akan lebih baik jika kita rutin menyisihkan 20% dari penghasilan untuk berinvestasi. Selain itu, penting banget lntuk memiliki proteksi diri. Misalnya, asuransi kesehatan seperti BPJS dan asuransi jiwa agar nggak menanggung biaya mahal ketika tiba-tiba sakit atau terkena musibah.

Nah, kalau kamu emang nggak pengen membebani keuangan anak-anakmu kelak, makanya dari sekarang kamu juga harus mulai mempersiapkan dana pensiun dan dana darurat. Sisihkan saja minimal 10% dari total penghasilanmu. Mungkin awalnya terasa berat banget dan susah, tapi bukan berarti nggak bisa lho! Toh, demi kebaikan bersama. Biar kondisi toxic begini nggak terus-terusan berulang dan nyusahin banyak orang.

Kategori
Kapital

Mimpi-mimpi Buruk dalam Omnibus Law Cipta Kerja

Jika berbicara ketenagakerjaan, kita akan dihadapkan pada tiga istilah populer, yaitu buruh, pekerja, dan karyawan. Mungkin sebagian dari kita masih mempertanyakan, apa sih perbedaan dari ketiganya? Kalau memang sama, kenapa harus dibedakan?

Faktanya, sebagian orang memang masih menganggap buruh adalah mereka yang bekerja pada bidang rendahan, kasar, dan utamanya mengandalkan kekuatan otot. Karena dianggap hanya mengandalkan otot, buruh seolah-olah menjadi pekerjaan paling hina dan kerap dipandang sebelah mata. Di sisi lain, pekerja/karyawan adalah mereka yang dianggap bekerja pada sektor lebih ‘tinggi’ seperti perkantoran dan umumnya mengandalkan isi otak. Menjadi karyawan bisa jadi nilai plus karena untuk mencapainya saja butuh gelar pendidikan dan pengalaman.

Perbedaan pemaknaan istilah buruh dan pekerja/karyawan ini menandakan adanya gap yang timpang antarpekerja itu sendiri. Padahal kenyataannya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 3, menjelaskan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Selama kita bukan pemilik modal, maka kita adalah buruh/pekerja. Selama kita masih menerima upah, maka kita tetap menjadi buruh maupun pekerja.

Saya rasa sudah basi banget deh jika kita terus-terusan merasa bahwa pekerja dan buruh adalah dua hal yang berbeda. Tak peduli bagaimana kau mengindentifikasikan diri, nasibmu dan pekerjaanmu akan bergantung pada omnibus law yang “cilaka” itu.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Selama kita bukan pemilik modal, maka kita adalah buruh/pekerja. Selama kita masih menerima upah, maka kita tetap menjadi buruh maupun pekerja.”[/mks_pullquote]

Menurut kamus Hukum Merriam-Webster, istilah omnibus law sebenarnya berasal dari omnibus bill, yaitu undang-undang yang mencakup berbagai isu atau topik. Kata “omnibus” sendiri berasal dari bahasa Latin yang berarti “segalanya”. Nah, tujuan pemerintah mengajukan omnibus kepada DPR adalah untuk mengamendemen beberapa UU sekaligus. Plus, katanya sih, RUU tersebut disiapkan untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ekonomi global.

Salah satu polemik yang dihadapi ketika muncul wacana omnibus law adalah persoalan tenaga kerja. Sebagai pekerja, kita pasti ingin dong hak-hak kita dilindungi oleh pemerintah? Namun, adanya pengajuan RUU ini justru menimbulkan kontroversi karena dikhawatirkan akan melanggengkan sistem perbudakan di kalangan buruh/pekerja.

Setidaknya, sepemahaman saya, ada 5 poin utama yang berpotensi menimbulkan kontroversi di kalangan buruh/pekerja, yaitu sebagai berikut.

Dihapusnya upah minimum

Katanya, pemerintah ingin mengatur sistem upah per jam yang artinya akan menghilangkan sistem upah minimum. Jadi, apabila buruh/pekerja mampu bekerja 40 jam setiap minggu, maka ia akan mendapatkan upah seperti biasa. Masalahnya, kalau jam kerja buruh/pekerja kurang dari 40 jam dalam seminggu, upah yang dibayarkan pasti akan di bawah minimum kan?

Padahal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sudah cukup berpihak pada buruh karena pekerja tidak boleh mendapatkan upah di bawah upah mininum. Artinya, kalau hal tersebut masih dilakukan, sama saja dengan kejahatan dan pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.

Lhawong sudah ada aturan bagus begini saja, masih banyak pengusaha nakal yang ngasih gaji di bawah UMR. Masih ada juga pengusaha otoriter yang maksa-maksa kerja di atas 40 jam. Lah gimana jadinya kalau aturan ngawur ini ditetapkan? Duh, makin nangis menjadi buruh 😦

Cuti Khusus Ditiadakan

Pada UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemberi kerja diharuskan tetap membayarkan upah kepada pekerja yang sakit, hari pertama dan kedua masa haid hingga melahirkan. Namun sayangnya, Omnibus Law hanya menjelaskan bahwa pekerja yang tidak masuk kerja atau tidak melakukan kerja karena berhalangan, maka upahnya tidak dibayarkan. Keputusan dibayar atau tidaknya upah pekerja ketika tidak bekerja ini sepenuhnya adalah kewenangan pengusaha.

Jadi, jelas kan kalau aturan ini sangat memberatkan buruh, terutama perempuan? Padahal Menteri Lingkungan Hidup Jepang, Shinjiro Koizumi saja mau mengambil cuti melahirkan untuk ayah berkenaan dengan kelahiran anaknya. Masa aturan cuti di Indonesia masih pakai sistem rodi gini?

Tidak Ada Pesangon Lagi

Sebagai mantan pekerja yang pernah terkena lay-off alias efisiensi karyawan, saya merasa kebijakan ini nggak jelas dan abu-abu. Dalam Pasal 156 Ayat (1) dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa “ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Namun, dalam Omnibus Law Cipta Kerja hanya dijelaskan bahwa ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. Dengan kata lain, perubahan ini menandakan ketiadaan jaminan bagi pekerja untuk mendapatkan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Duh, masih untung di-PHK masih dapet pesangon. Lah kalau pekerja/buruh dipaksa menandatangani surat resign agar perusahaan terhindar dari kewajiban membayar pesangon gimana? Ada jaminan nggak kalau perusahaan tidak akan berbuat seenak udelnya sendiri?

Tidak Ada Kejelasan Status Pekerja dan Maraknya Tenaga Outsourcing

Bicara soal status pekerja, ada dua istilah perjanjian kerja yang perlu diketahui, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Menurut Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV.2004, PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Dengan kata lain, PKWT adalah karyawan kontrak dan tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. PKWT dapat berjalan paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.

Nah, perjanjian kerja dengan model PKWT tidak mengenal uang pesangon. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Sementara itu, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja yang pekerjanya memiliki hubungan kerja bersifat tetap. Biasanya pekerja jenis ini boleh melalui proses percobaan (probation) selama maksimal 3 bulan. Selama masa percobaan tersebut pengusaha tidak boleh mengupah pekerja di bawah upah minimum yang berlaku. Selain itu, pekerja yang bekerja dengan model PKWTT ini juga berhak mendapatkan pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Beberapa pekerjaan yang dianggap bisa dilakukan dalam satu waktu pun akan dialihkan menjadi tenaga outsourcing, sehingga pengusaha atau perusahaan tidak perlu repot-repot membayar uang pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja.”[/mks_pullquote]

Sayangnya, dalam omnibus law, perjanjian kerja diatur melalui fleksibilitas pasar kerja. Alias tidak ada lagi kepastian kerja dan pengangkatan status menjadi karyawan tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Apabila aturan ini ditetapkan, maka buruh/pekerja rentan terkena PHK. Beberapa pekerjaan yang dianggap bisa dilakukan dalam satu waktu pun akan dialihkan menjadi tenaga outsourcing, sehingga pengusaha atau perusahaan tidak perlu repot-repot membayar uang pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja. Selain itu, pekerja juga terancam tidak mendapatkan jaminan sosial seperti jaminan hari tua dan jaminan pensiun.

Kesempatan Luas bagi Tenaga Kerja Asing

Kabarnya nih, omnibus law akan membuka ruang yang lebih lebar bagi para tenaga kerja asing (TKA). Padahal UU Ketenagakerjaan sudah mengatur bahwa jabatan yang boleh diduduki oleh TKA adalah yang membutuhkan keterampilan tertentu dan belum dimiliki oleh pekerja lokal. Mengutip dari CNBC Indonesia, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan bahwa perizinan TKA akan lebih dipermudah tanpa harus melalui birokrasi yang berbelit-belit.

Meskipun begitu, TKA yang dimaksud hanya boleh bekerja selama 2 bulan saja dan apabila diperpanjang masa kerjanya maksimal hanya 1 bulan. Setelah itu, TKA diperbolehkan untuk kembali ke negaranya.

Namun, bukankah dengan dipermudahnya akses hubungan kerja dengan TKA, justru malah membuka peluang ‘nakal’ bagi para ekspatriat? Lhawong nggak ada peraturan seperti ini saja, saya jamin, masih banyak kok TKA yang berseliweran di sana-sini dengan bebas. Seorang teman yang bekerja di sebuah agency di Bali, pernah bercerita kalau kebanyakan TKA tidak memiliki izin khusus untuk bekerja. Bahkan visa yang dimiliki pun hanya menggunakan visa turis, bukan visa kerja. Para TKA ini bebas membuat ‘perusahaan’, merekrut karyawan, dan tentunya mendapatkan hak istimewa berupa gaji yang cukup besar dibandingkan dengan orang Indonesia sendiri. Duh, miris banget nggak sih? Apakah ini yang dinamakan kolonialisme dunia modern?

Sebagai pekerja/buruh aktif, saya jelas menolak keberadaan omnibus law cipta kerja. Sebab, peraturan ngawur dan sok tau ini hanya akan menambah daftar kekerasan negara terhadap rakyat. Sebaliknya, negara malah terang-terangan memberikan kekebalan dan hak istimewa kepada para pengusaha (dan kapitalisme). Kalau begitu, nggak ada artinya dong amanah untuk menyejahterakan rakyat? 🙂