Kategori
Society

Mempertanyakan Eksistensi Diri di Tengah Arus Modernisasi dan Berkembangnya Teknologi

Barangkali kita kadung santai-santai saja atau bahkan berontak hasrat kita lantaran bualan-bualan modernisasi. Yang dimaksud dengan istilah “bualan” ini adalah statement yang “berani-berani takut” untuk melempar klaim bahwa modernisasi sudah cukup banyak merampas lumbung makanan lalu meninggalkan sampah busuk bagi peradaban. Ya, enggak selalu gitu sih. Okelah, tapi di setiap “enggak selalu gitu” biasanya emang ada sampah-sampahnya. Lalu apa yang kita lihat sebagai bualan itu? Oke, kita mulai bongkar khusnudzonnya manusia ini terhadap modernisasi dengan segala atributnya.

Kalau kita bicara soal modernisasi, maka tentu kita akan bicara tentang segala atribut, perangkat (teknologi), budaya beserta macam utilitasnya. Apa yang tak kita sadari adalah, bahwa kita perlahan-lahan dan secara bersamaan sedang memindahkan sentral peradaban dari manusia kepada perangkat modern tadi. Sehingga pelan-pelan kita pun mengalami kebingungan eksistensial tanpa ketemu jawaban. Diperlakukan dengan cara apa kita sehingga manusia bisa mengalami yang demikian? Adalah utilitas dan fungsi yang dijadikan jaminan bagi manusia untuk mencapai imajinasi ideal tentang kehidupan versi mereka. Sementara, apa yang menjadi indikator utilitas tadi? Siapa yang meletakkan indikator tersebut? Berikutnya akan muncul pertanyaan di mana secara eksistensial letak subjek manusia di tengah establish-nya teknologi?

Bagi Heidegger, teknologi merupakan manipulasi, ini bisa diterjemahkan bahwa manusia dan alam sudah memiliki hakikatnya masing-masing, sedangkan teknologi adalah memperantarai keduanya. Ibarat wedhus itu sudah ada dan beranak pinak dari dulu dengan sendirinya, manusia pun ada. Namun, teknologi memberikan akses di antara keduanya sehingga jadilah ternak kambing. Kalau kita perselisihkan dengan budaya hari ini, sesungguhnya ada kebingungan soal relasi antara manusia, teknologi dan alam, atau bahkan manusia, teknologi dan manusia. Heidegger percaya bahwa secara ontologis teknologi telah menggeser pandangan mengenai keberadaan manusia dan makna yang melekat padanya. Pada tahap ini, kita menemukan keadaan terbalik ketika manusia telah menjadi objek yang dimaknai oleh perangkat. Dengan kata lain, keberadaan kita saat ini ditentukan oleh teknologi itu. Kita bisa akui, bahwa sebagian dari subjektivitas yang ada jauh di dalam diri kita, luntur dan lenyap seketika sampai di ujung jari, lantas kemudian teknologi menghadirkan kita sebagai diri yang lain asalkan suitable dengan pola-pola yang ada di antara kerumunan manusia lainnya.

Teknologi berperan dalam membentuk pola-pola dalam peradaban. Manusia pada akhirnya disusun dalam bentuk deretan data-data statistik, nilai-nilai dan spiritualitas disederhanakan dalam angka dan kurva. Sangat mungkin dengan kondisi ini manusia ditata dalam struktur kelas tertentu, atau bahkan muncul kelas-kelas baru dalam relasi sosial ketika manusia dengan mudahnya dicacah, didefinisikan dan dibatasi oleh struktur tersebut. Maka pandangan bahwa “technology as salvation” perlu dipikir ulang kalau kita mau. Ini karena adanya kemungkinan dominasi kelas dalam hal peruntukan teknologi. Tak bisa rasanya bagi kita untuk menjamin bahwa kendali perangkat teknologi mungkin diakses semua kelas sehingga mau tidak mau sebagian di antara manusia yang menjadi objek kendalinya. Anggapan bahwa perangkat dapat mengeliminasi kesenjangan kelas justru berakhir pada manusia kehilangan dirinya sendiri di hadapan komputer. Ketidaknetralan perangkat itu jadi niscaya, dan bahayanya pola pikir kita ngikut-ngikut aja, gimana ndak ngikut? Kita udah dikuasai kok.

Enaknya bagi mereka yang punya kendali infrastruktur teknologi, dengan kata lain mereka punya kendali atas tubuh-tubuh bahkan pikiran manusia lainnya. Ketika manusia sudah bisa dipolakan, atau bahkan di-“angka”-kan, ini artinya sudah ada bayangan berapa angka pula cuan yang masuk ke sakunya. Mungkin dari sinilah muncul apa yang disebut-sebut salvation itu. Betapa komoditas sudah semakin terdiversifikasi dari yang awalnya sesuatu tak bernyawa yang memiliki massa dan relativitas alias materi, kepada manusia, alias manusia yang sudah di-“angka”-kan, alias dialgoritmakan. Dan lagi-lagi kalau bisa dibilang, kita justru menikmati suatu standar nilai yang dikelola oleh sistem dan perangkat di luar tubuh kita yang kemudian disusupkan ke tubuh kita sendiri.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Anggapan bahwa perangkat dapat mengeliminasi kesenjangan kelas justru berakhir pada manusia kehilangan dirinya sendiri di hadapan komputer.”[/mks_pullquote]

Perihal bagaimana pola pikir dan eksistensi bahkan respon bawah sadar manusia bisa dibentuk oleh sistem, mari kita kembali bicara soal utilitas tadi. Siapa sih yang menentukan utilitas itu adalah X atau Y? Tentu saja mereka yang punya kuasa atas perangkat tadi. Kalau kita bicara kebijakan, negara, kalau ngomongin bisnis, konglomerat. Misal kalau kita dihibur dengan suguhan “cepat lagi mudah”, apakah seutuhnya kita nikmati bagi sekadar pemenuhan hasrat diri? Sebagian tentu dinikmati oleh bos-bos pabrik tempat kita bekerja karena produktivitas yang seiring dengan “cepat lagi mudah” tadi. Sebagian orang boleh jadi justru ingin berlambat-lambat dan bermalas-malas lantaran ia sedang nikmat bermain-main dengan imajinasi bebasnya di atas ranjang, tapi diperah paksa dengan manipulasi “cepat lagi mudah” tadi, ya apalagi yang ditawarkan teknologi pada otak kita kalau bukan ini.

Arena permainan kendali teknologi ini, juga tak jauh, bahkan menempel erat pada sistem politik as simple as we say. Politik mengatur segala hal, sudah jelas lah ya. Oke, agak susah menafikan bahwa tujuan besar negara adalah tidak lain stabilitas politiknya. Ini bisa jadi kabar baik di belakang orasi “demi bangsa dan negara”. Di sisi lain, mungkin berselisih dengan nilai-nilai manusia. Amati, bagaimana China melancarkan mass surveillance system untuk mengawasi bagaimana citizens hidup. Negara coba merekognisi kehidupan masyarakat terbatas pada apa yang terlihat olehnya, meskipun dengan segala perangkat teknologi canggih. Ini kemudian jadi inventaris mahal sebagaimana mereka melihat stabilitas merupakan pencapaian yang juga mahal bagi eksistensi negara. Tujuannya adalah meletakkan legitimasi atas bagaimana pemerintahan bekerja. Sehingga, apa-apa yang menjadi hambatan bagi keberlangsungan kekuasaan dengan mudah diantisipasi dengan testruktur, terukur dan sistematis.

Bagi demokrasi, ini agaknya jadi persoalan, lantaran kemungkinan pembatasan ekspresi atas dasar legitimasi tadi. Kalau mau bicara demokrasi yang katanya harus inklusif, itu barangkali bukan berarti menghentikan pertanyaan supaya ia tak perlu lagi menjawab sesuatu semata-mata data dianggap sudah lengkap, mewakili dan menjawab segala pertanyaan. Sekalipun yang demikian itu ada di dalam pikiran masyarakatnya. inklusif mungkin justru harus memungkinkan adanya kecurigaan di antara negara dan masyarakat untuk terus-terusan diperdebatkan dan dipertanyajawabkan. Harus ada kecurigaan dan jawaban intinya, bukan membatasi kecurigaan seolah-olah sudah terjawab. Tapi, teknologi juga lah yang punya peran membangun batasan itu dan lihat saja bagaimana perangkat itu dimanfaatkan bagi sistem politik hari ini.

Bagaimana? Dari sekian pendapat ini, apakah sudah mencium aroma-aroma busuk di tengah peradaban? Kalau tidak, silakan berhenti pada sisi baiknya saja, sisanya anggap saja saya ngawur, anggap saja, karena saya pikir pengaruh itu nyata secara sistemik. Hanya saja sekilas ia tak terlihat, lebih dalam barangkali memang otak kita sudah diporak-porandakan, dengan iming-iming utilitas, “technology as salvation”, imajinasi peradaban riang gembira yang diperjual-belikan dengan atribut etika dan moral.

Kategori
Society

Fenomena Cuddling Membuatku Sadar Bahwa Consent Doang Tuh Nggak Cukup!

Apa sih yang ada di pikiran kalian ketika mendengar kata cuddling?

Well, secara harfiah, cuddling diartikan sebagai afeksi berupa pelukan. Bedanya dengan pelukan biasa, cuddling umumnya dilakukan ketika kita pengen manja-manjaan secara intim dengan pasangan dan biasanya sih dilakukan di tempat tidur. Tapi, kegiatan yang lebih dikenal dengan ndusel-ndusel ini juga bisa dilakukan di mana aja kok. Misalnya kalau kita lagi duduk berduaan dengan doi di atas sofa atau pas lagi nonton di bioskop. Bagai dunia milik berdua, cuddling adalah ekspresi rasa sayang kita kepada pasangan. Jadi, wajar aja sih kalau sedang bersamanya, kita pengennya nempel mulu kaya amplop dan prangko.

Selain ungkapan rasa cinta, cuddling ternyata punya manfaat buat kesehatan lho! Menurut artikel kesehatan yang dipublikasikan oleh Psychology Today, cuddling akan membawa efek positif, terutama bagi perempuan, sebelum melakukan hubungan intim bersama pasangan. Ketika melakukan cuddling, tubuh akan melepaskan hormon oksitosin yang akan membuat perasaan jadi lebih bahagia, tenang bahkan lebih mudah mencapai orgasme saat melakukan foreplay.

Nggak hanya itu saja, cuddling juga dipercaya bisa membantu meningkatkan sistem imun tubuh, sehingga kita jadi lebih kuat menahan penyakit. Plus, hormon yang dikenal dengan hormon cinta ini juga akan membantu tidur kita lebih nyenyak karena adanya perununan tekanan darah yang membuat tingkat stres dan kecemasan pun ikut menurun.

Karena efeknya yang bikin nyaman dan menenangkan, nggak jarang cuddling sering diselipkan dengan deeptalk alias bicara dari hati ke hati. Nah, ketika hati dan pikiran sudah cukup rileks, pasti kita jadi lebih mudah untuk bercerita dan mengungkapkan banyak hal kepada pasangan kan? Hal inilah yang membuat kita terasa lebih dekat dan intim dengan pasangan.

Masalahnya, yang saya utarakan sebelumnya itu hanya dilakukan kepada pasangan saja, yang bisa jadi udah sama-sama paham consent dan sepakat untuk melakukannya. Namun, bagaimana jika cuddling dilakukan dengan orang lain yang cenderung asing bagi kita?

Fenomena cuddling yang kian marak di linimasa sebenarnya membuat saya gemas sekaligus kesal. Gemas karena sesungguhnya konsep cuddling itu adalah tanda kasih sayang kepada pasangannya melalui sebuah pelukan. Namun sayangnya, kini konsep cuddling yang beredar dari akun base ini seringnya diselipkan dengan rangsangan seksual ketika melakukannya. Yang tadinya hanya sekadar berbagi energi positif kepada pasangan, sekarang malah jadi terkesan seperti one night stand alias maknanya udah keterlaluan jauh woy!

Nggak heran dong kalau para korban mulai speak up sana sini karena merasa dilecehkan akibat perbuatan tidak senonoh. Mereka yang tadinya mengira kalau cuddling hanya sekadar ndusel-ndusel di kasur hotel nan empuk, eh kok ujung-ujungnya ada penis masuk ke dalam vagina. Mending kalau bawa kondom, jaga-jaga biar nggak kena ‘semprot’. Lah ini ada oknum lain yang pura-pura nggak sengaja memasukkan cairan semennya ke dalam tanpa persetujuan partner cuddling-nya. Kalau udah kaya gini, apa bedanya sama having sex like literally sex af?

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Namun sayangnya, kini konsep cuddling yang beredar dari akun base ini seringnya diselipkan dengan rangsangan seksual ketika melakukannya.”[/mks_pullquote]

Yang lebih mengesalkan sekaligus memuakkan, meski sudah banyak korban yang speak up tentang pengalaman buruk ditipu dengan iming-iming cuddling, tapi kok rasanya tren ini makin marak ya? Kalau saya perhatikan, beberapa orang malah sengaja menggunakan tren ini sebagai ajang pembuktian diri demi sebuah titel open minded. Ditambah lagi, oknum penjahat selangkangan juga semakin terang-terangan menawarkan cuddling kepada perempuan-perempuan yang nggak dikenal sekalipun. Saking nggak tau diri dan udah nggak punya urat malu, si oknum sampai bela-belain bikin akun palsu demi ‘berburu’ calon korban cuddling yang berpotensi kena tipu dayanya. Hiiiih serem banget!!11!!1

Saya prihatin sekaligus sedih deh melihat fenomena ini. Apalagi kebanyakan korbannya adalah perempuan dan notabene mereka sebenarnya (mungkin) hanya berharap bisa mendapatkan energi positif karena sedang merasa sedih atau kesepian. Namun pada kenyataannya, harapan tinggal menjadi harapan. Alih-alih mendapatkan ketenangan dan kenyamanan, mereka malah jadi korban cuddling yang kebablasan.

Sebagai seseorang yang sudah baligh dan berakal, pada dasarnya melakukan cuddling atau having sex adalah hak pribadi masing-masing. Bebas aja kok. Tapi mbok tolong, jangan polos-polos banget. Jangan naif-naif banget. Lhawong melakukan sama pasangan aja tidak akan menjamin bahwa dia akan setia pada consent, apalagi jika dilakukan bersama orang asing?

Bukannya nggak memedulikan perasaan korban atau victim blaming, tapi serius deh, apa sih yang kamu harapkan dari orang yang baru dikenal di medsos? Yakin mau sekamar berdua dengan orang asing? Yakin kalau mereka nggak akan melakukan apa pun selain cuddling? Yakin kamu bakal baik-baik aja setelah melakukannya?

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Tapi mbok tolong, jangan polos-polos banget. Jangan naif-naif banget. Lhawong melakukan sama pasangan aja tidak akan menjamin bahwa dia akan setia pada consent, apalagi jika dilakukan bersama orang asing?”[/mks_pullquote]

Pemikiran-pemikiran demikian seharusnya sudah kita tanamkan bahkan hingga alam bawah sadar sendiri. Bukan apa-apa, hanya sebagai langkah mawas diri aja. Meski setiap orang bebas mau berhubungan dengan orang lain, tapi please jangan mengabaikan keselamatan sendiri. Terlalu berisiko lho jika menggantungkan afeksi dari orang baru lebih-lebih orang asing yang nggak jelas asal-usulnya.

Okelah kalau sama-sama consent, tapi emang segitu percayanya sama orang asing? Saya aja, kadang-kadang masih takut kalau mau COD barang, makanya milih tempat yang ramai dan nggak sendirian. Lah ini berani-beraninya ketemu orang asing, di hotel dan sendirian pula. Apakah demikian namanya jatuh ke dalam lubang buaya?

Saya rasa sudah cukup kita terlalu bebas memaknai consent. Yes, consent is a must and the most important thing, tapi nggak ada salahnya kok kalau kita juga berhati-hati dan mampu berpikir logis. Meskipun tubuhku adalah otoritasku, perlu diingat juga bahwa diri kita sendirilah yang paling bertanggung jawab untuk menjaganya tetap aman dan nyaman. Yuk, sayangi dirimu sendiri❤

Kategori
Kapital Society

Pengalaman Bekerja di Jogja yang UMRnya Segitu-Gitu Aja Tapi Disuruh Bersyukur

Belum lama ini Pemerintah Provinsi DIY menyepakati kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang akan diberlakukan pada tahun 2020 mendatang. Isi kesepakatan ini adalah adanya kenaikan 8,51% dari UMP DIY tahun 2019, yaitu menjadi Rp1.704.608,25. Sementara untuk UMK tahun 2020 masing-masing adalah Gunung Kidul Rp1.705.000 ; Kulon Progo Rp1.750.500 ; Bantul Rp1.790.500 ; Sleman Rp1.846.000 ; dan Kota Yogyakarta Rp2.004.000.

Informasi mengenai kenaikan upah seharusnya bisa menjadi kabar bahagia bagi kaum buruh dan pekerja. Lagian, siapa sih yang tak ingin jika gajinya juga ikutan naik? Tapi bagi pekerja kreatif seperti saya, kenaikan ini tetap saja tidak akan menghilangkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang merajalela di Jogja. Wis kadung cah.

Di tengah biaya hidup yang kian merangkak naik, pembangunan yang keterlaluan pesatnya, dan kebutuhan hidup yang tiada habisnya, saya merasa standar UMP dan UMK di DIY (mari kita sebut Jogja saja) masih terasa belum layak. Iya sih naik, tapi emangnya cukup memenuhi 3 kebutuhan pokok alias sandang, pangan, dan papan?

Saat saya bekerja di Jakarta, banyak teman saya yang sering bilang, “Hidup di Jogja enak ya? Makanannya murah-murah,”. Sering banget kaya gitu dan biasanya saya timpali saja dengan “Enggak kok, sama aja kaya Jakarta. Harga makanannya juga 11:12 kali. Kecuali kalau tinggalnya di suatu desa pelosok di ujung Bantul, Gunungkidul atau Kulonprogo,” tentunya dengan nada setengah bercanda. Lantas, teman saya langsung tersenyum kecut sebab angan-angan tentang keromantisan Jogja seketika sirna dari benaknya.

Kadang-kadang saya kesal sekali dengan dengan orang-orang yang meromantisasi Jogja. Katanya, Jogja itu kota yang nyaman untuk ditinggali. Katanya, makanan di Jogja itu enak-enak dan serba murah. Katanya, biaya hidup di Jogja itu enggak setinggi Jakarta. Aduh, mohon maaf ya saudara-saudaraku, saya yang dari mbrojol sampai mengalami quarter life of crisis di Jogja merasakan banget kalau Jogja tuh udah berubah 180 derajat!

Saya ingat banget, dulu belum ada hotel dan apartemen wow di area Jakal Km. 5. Gunung Merapi juga masih kelihatan dari situ. Masih adem lah ngeliatnya. Sekarang, area Jakal sepertinya sudah menjelma sebagai ajang jualan iklan dan baliho. Setiap kali melintasi Jakal, saya merasa iklan-iklan itu seolah saling berdesakkan dan berebutan agar dapat dilihat oleh siapapun yang melintasi jalanan.

Soal harga makanan? Saya sih berani menjamin bahwa harga makanan di Jogja relatif sama kok dengan kota-kota besar lainnya. Coba wis kamu makan ayam geprek atau nasi ayam krispi ala ala pasti bakal dipatok harga minimal Rp 10ribu. Atau makan nasi rames di warung makan prasmanan pun bisa habis Rp 10ribuan. Lantas, apa bedanya dengan makan nasi ayam warteg di ibu kota?

Saya memang tidak menyangkal bahwa masih ada beberapa tempat makan yang mematok harga murah untuk setiap menunya. Ada tapi nggak banyak. Contohnya di dekat kantor saya yang sekarang, ada ibu-ibu yang berjualan nasi rames. Waktu itu, saya membeli seporsi nasi dengan 2 macam sayur dan 3 tempe mendoan. Semuanya hanya dihargai sebesar Rp 5ribu saja.  Rasanya kepingin nangis deh apalagi dengan harga segitu, ibunya nggak segan-segan memberikan porsi nasi yang cukup untuk 2 orang!

Dengan harga yang ya Allah reeeeeek murah banget, seharusnya saya senang ya bisa berhemat. Tapi entah kenapa, saya justru merasa sedih sekaligus kasihan. Masa iya sih jualan semurah itu? Ibunya dapat untung nggak ya? Atau beliau hanya sekadar berjualan untuk mengikuti passion seperti yang sering digadang-gadang oleh kaum milenial? Atau mungkin, ibunya sengaja mematok harga murah supaya dagangannya lebih laku?

Padahal menurut saya, harga barang pokok relatif sama lho! Coba saja telusuri pasar-pasar, harga cabai dan ayam sama aja kan? Seharusnya harga makanan juga bisa relatif sama dong? Biaya hidup (di luar gaya hidup ya) juga pasti rata-ratanya sama kan? Tapi kenapa hanya Jogja saja yang memiliki UMP terendah se-Indonesia?

Lain pedagang, lain pula pekerja. Sebagai pekerja kreatif, saya merasakan kompetisi kerja di Jogja ini lumayan susah. Selain karena SDMnya yang melimpah, kebutuhan perusahaan kadang-kadang kompleks banget. Apalagi didukung dengan budaya pakewuh alias nggak enakan dari individu yang bersangkutan, siap-siap aja dijadikan sasaran empuk eksploitasi kerja berkedok “minta tolong”.

Dulu sewaktu masih kuliah, saya pernah bekerja part time sebagai tim kreatif di sebuah media lokal di Jogja. Niatnya sih emang mau cari uang jajan lebih sekaligus pengalaman biar nggak kaget-kaget banget sama dunia kerja. Sebulan, dua bulan, tiga bulan saya masih fine-fine aja dengan jobdesc-nya bahkan mulai menyenanginya. Namun, setelah hampir 3 tahun bekerja di sana, kok jadi merasa “dimanfaatin” ya?

Setahu saya, beban dan jam kerja pekerja part time itu seharusnya setengah dari beban dan jam kerja pekerja full time kan? Namun yang saya rasakan, kerjaan saya nggak ada bedanya tuh dengan pekerja full time. Apalagi saya juga sering mengerjakan hal lain di luar jobdesc, waktu libur dan cuti sering diganggu pekerjaan padahal jelas-jelas jam kerja adalah Senin-Jumat, eh gajinya ya gitu-gitu aja. Gaji nggak nyampe UMK Sleman, eh masih aja dipotong gaji tanpa alasan. KZL!

Selain beratnya load kerjaan, saya juga menyayangkan banget sikap atasan yang jarang memberikan apresiasi, terlebih ketika saya berhasil menyelesaikan target kerja dengan baik. Sedih nggak sih kalau hasil kerjamu nggak diapresiasi? Apresiasi nggak melulu soal bonus lho, melainkan juga kesempatan belajar atau sekadar ucapan “terima kasih”. Kalau lingkungannya toxic begini mah, gimana pekerja nggak rentan terkena stres?

Sebalnya, ketika saya mengeluhkan soal gaji maupun apreasiasi, ada beberapa orang yang menganggap saya tidak bersyukur. “Mbok ya nrimo, disyukuri, kabeh wong duwe rezekine dhewe-dhewe,”. Atau yang lebih ekstrem lagi, “Nek ora gelem duwe gaji cilik, yo rasah kerja ning Jogja. Lungo wae seko Jogja. Jogja ki dudu kanggo wong sing ora bisa nrimo ing pandum”. Owalah jnck, jelas-jelas di depan mata ada ketidakadilan, ada kesenjangan, dan ada upaya eksploitasi masa didiamkan dan diterima aja? Lha iki bangsamu dhewe sing njajah lho, dudu londo opo maneh aseng!

Jujur aja, menurut saya meromantisasi Jogja sudah masuk ke tahap keterlaluan bahkan cenderung overdosis. Nggak ada romantis-romantisnya sama sekali jika di depan matamu ada ketidakadilan, kesenjangan bahkan relasi kuasa yang timpang. Lagipula, perhitungan upah dan gaji seharusnya tidak hanya berdasarkan “biaya hidup” yang katanya murah, melainkan juga harus memperhitungkan aspek-aspek lain seperti performa kerja, nilai jasa, dll. Lagipula, bukankah setiap usaha, tenaga dan pikiran ada imbalan yang jauh lebih pantas dan layak untuk diterima?

Kategori
Society

Wisuda Kampus Penyumbang Kerusakan Lingkungan

Sabtu lalu saya datang ke wisuda saudara. Sudah banyak wisuda kawan yang saya datangi, namun kali ini berbeda. Selain karena kali ini saudara saya yang akhirnya saya datangi, di kesempatan ini saya lebih “sebel” melihat wisudawan-wisudawati itu. Tak lain karena tak kunjung wisuda juga diri ini. Asu.

Oleh karenanya saya lebih tertarik untuk memerhatikan hal lain. Cuaca sangat panas, gawai saya menunjukkan suhu di kota ini mencapai 37 derajat celcius. Kesempatan yang tidak dilewatkan oleh penjaja minuman untuk mengais rezeki dari para wisudawan dan tamu wisudawan yang kepanasan.

Penjual minuman menjajakannya dengan cara yang berbeda-beda. Minuman yang dijual pun bermacam-macam. Namun terdapat kesamaan di antara semua itu, yaitu kemasannya. Sebagian besar, kalau tidak bisa dibilang semuanya, diwadahi dengan kemasan plastik. Mulai dari yang berbentuk kantong, gelas, hingga botol.

Ironi yang menarik bagi saya. Di tengah gencarnya kampanye pengurangan penggunaan single use plastic waste di media sosial oleh masyarakat so called educated, acara seremonial di institusi pendidikan menyumbangkan sampah plastik yang sangat besar. Lahir bersama dengan ribuan sarjana yang diwisuda oleh universitas.

Beberapa di antara mereka adalah para sarjana ilmu-ilmu lingkungan. Atau bahkan mungkin ada yang jadi aktivis, yang pernah mendemo pemanasan global. Saya ingin tertawa, tapi takut kualat karena saya sendiri belum wisuda. Asu meneh.

Tempat duduk tamu sangat penuh dan sumpek, saya dan saudara yang lain menyingkir ke tempat yang lebih lapang dan teduh. Saat sibuk merenung, datang seorang nenek dengan membawa karung berukuran cukup besar dan sebuah trash bag hitam.

Ngapunten nggih, Mas“, izinnya saat akan membuka tong sampah di depan saya.

Kemudian beliau membuka tempat sampah di dekat saya. Lalu perlahan mulai memilah isinya sesuai yang beliau butuhkan. Gelas, kantong, dan sebuah kardus air mineral kemasan. Tiga jenis barang yang diambil nenek ini adalah sampah limbah minuman yang dijual tadi.

“Sampah-sampah ini mau diapakan, Bu?”, saya mencoba basa-basi di tengah sibuknya beliau.

“Dijual ke tempat daur ulang, Mas”

Pahlawan.

Begitulah yang terpikir oleh saya sesaat. Saking seringnya melihat media sosial penuh dengan caci maki terhadap pengguna sampah plastik. Saya melihat seorang nenek-nenek yang langsung aksi. Menjadi garda terdepan dalam pencegahan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh masyarakat. Mungkin saja beliau paham, tidak mudah menghentikan penggunaan single use plastic karena memang sangat praktis.

Di saat kita, so called educated people, yang suka marah-marah saat makan bareng temen dan dia tidak punya sedotan stainless steel atau bambu. Ada orang yang peduli dan mengambil sampah-sampah itu untuk didaur ulang. Recycle. Terdengar sangat environment friendly sekali bukan profesi beliau?

Deg. Kemudian saya tersadar, bahwa saya terlalu lama berada di puncak menara gading. Nenek itu tentu tidak pernah tahu atau peduli tentang bahaya lingkungan atau semacamnya. Makan apa besok saja mungkin belum pasti, di sini ia hanya mencari rezeki. Diselenggarakannya acara wisuda kampus adalah kabar baik baginya, karena sampah plastik berkumpul di satu tempat.

Menarik bukan?

Kampus secara umum kini sudah tidak lagi dekat dengan rakyat miskin seperti nenek tadi. Pengabdian masyarakat yang dilakukan pun tidak terlalu substansial. Hanya dilakukan dengan cara-cara formal seperti KKN, atau pengabdian masyarakat oleh dosen, yang mungkin hanya untuk menjaga sertifikasi. Bahkan seringkali keduanya dikerjakan bersamaan, pengabdian masyarakat oleh dosen di-KKN-kan, biar praktis dan ekonomis.

Instansi pendidikan tinggi ini, hanya berfokus menjadi pabrik pencetak manusia terdidik yang dipersiapkan untuk industri sesuai bidangnya. Ah, yang penting jangan pengangguran terlalu lama, nanti jadi omongan tetangga. Apakah bermanfaat bagi masyarakat atau tidak, itu urusan belakangan. Apalagi masyarakat itu bukan tetangga.

Sampah-sampah plastik yang bertumpukan di acara seremonial ini bisa jadi satu-satunya sumbangsih terbesar sarjana-sarjana baru ini bagi rakyat miskin. Nenek tadi, penjual minuman dingin, penjaja suvenir, dan lain-lain. Setelah itu mereka akan masuk ke industri, sibuk dengan diri sendiri.

Matahari sudah di atas kepala. Suhu kurasa semakin panas saja. Saudara saya dan wisudawan lainnya tak kunjung keluar. Saya kehausan. Akhirnya, saya membeli segelas es teh dari penjaja keliling yang lewat dekat saya. Setelah bayar, es teh disajikan dengan gelas plastik lengkap dengan sedotan plastiknya.

Tidak. Saya tidak sedang merusak lingkungan. Dalam konteks ini, saya sedang membantu nenek tadi dan teman-temannya mengais rezeki. Juga bapak penjual es teh yang saya beli ini. Lagipula penjual es teh keliling ini sudah menata es dalam gelas saat dia keliling. Jadi sampah plastik yang terproduksi jumlahnya akan tetap sama, dengan atau tidak saya beli. Bukan begitu?

Ah bodo amat. Kalau memang ingin mengurangi single use plastic, ya memang harus dari hulu dan regulasi. Mari kita berserikat untuk mewujudkannya. Kalau hanya menghindari single use plastic, bukannya tambah merepotkan? Halo? tidak semua orang suka repot seperti Anda.

Huft. Daripada pusing dan pingsan, mending saya minum saja es teh yang barusan saya beli.

Kategori
Society

Cita-Cita Freelance

Waktu sekolah dulu, ada iming-iming menarik yang ditawarkan dunia pekerjaan. Namanya freelance. Orang bilang, kalau kita freelance, bekerja jadi menyenangkan. Waktu bisa kita atur sendiri. Kapan bekerja, kapan istirahat, sudah tidak lagi diatur oleh sistem yang kaku. Kita sendiri yang menentukannya. Barangkali karena sedari kecil sampai dewasa kita dihadapkan pada sistem pendidikan yang senang sekali mengatur-ngatur, freelance bagai angin sorga yang lewat di tengkuk kita. Sejuk.

Namun begitu selesai dengan urusan sekolah lalu masuk dunia kerja, kita mendapati ternyata freelance tak seindah taman istana.

Jika kita bicara freelance secara umum dan mengabaikan sedikit jenis freelance yang bayarannya jumbo, nampak sekali freelance adalah tumpuan saat kepepet. Sebagian besar dari kita bekerja freelance karena belum punya pekerjaan tetap atau pemasukan rutinnya tidak cukup untuk hidup. Parahnya lagi, karena satu freelance tak langsung memenuhi kebutuhan dasar, kita jadi mengambil banyak freelance. Jam kerja jadi lebih panjang. Kita makin sering begadang. Bukannya dulu dibilang, jika freelance, kita bebas mau kerja kapan aja, dan istirahat kapan aja? Tapi kok ini malah bekerja setiap saat? Bahkan saat waktunya istirahat?

Belum lagi, kebanyakan freelance tidak ada hitam di atas putih. Tak ada jaminan. Situasinya menjadi tak pasti. Sebetulnya ini bisa diantisipasi jika si pekerja meneliti lebih jauh pekerjaan yang ditawarkan. Tapi kebutuhan hidup seringkali mendesak. Dan itu menuntut kita mengambil pekerjaan dengan cepat.

Apakah freelance sebagai pembebas kelas pekerja sebetulnya hanyalah mimpi yang mustahil? Sudahkah waktunya kita, kelas pekerja, membuang jauh mimpi itu dan kembali menyerahkan tenaga dan pikiran kita ke pasar kerja yang biasanya?

Sebuah perubahan yang luar biasa mendasar memang akan terlihat mustahil hari ini, tapi belum tentu tak ada harapan di hari esok. Termasuk cita-cita freelance, yang lebih suka saya sebut sebagai pekerja bebas daripada pekerja lepas. Lalu apa yang membuat harapan ini punya peluang untuk menjadi kenyataan?

Jawabannya adalah roda industri 4.0 yang mulai bergulir. Orang sering keliru melihat peluang dari industri jenis ini. Barangkali karena kenyang dengan dongeng pemerintah yang bilang bahwa revolusi industri 4.0 datang membawa banyak ancaman. Persaingan akan semakin ketat. Kelas pekerja dituntut menguasai beragam keahlian baru agar tidak tersingkir dari dunia kerja. “Belajar dan berlatihlah dengan keras. Jangan malas. Jika tidak, kalian (kelas pekerja) akan kehilangan pekerjaan. Dan akan bertahan hidup dengan menjadi freelance (termasuk pekerja kontrak) yang nasibnya tak jelas,” begitu kira-kira kata pemerintah.

Menguraikan tantangan memang perlu. Tapi menjadi tak bijak jika hanya dibuat untuk menakut-nakuti, dan menutupi kesempatan.

Peluang di era industri 4.0 bagi pembebasan pekerja memang perlu diurai dengan panjang dan rinci. Tapi penyederhanaannya kira-kira begini. Kita sama-sama tahu di masa kini, apa-apa jadi serba otomatis. Gerbang tol tinggal tempel kartu. Buka rekening bank tinggal ketuk-ketuk layar hape. Bikin logo tinggal klik. Proses ini tak lagi membutuhkan manusia. Robot yang mengerjakannya. Kalau begitu, ya sudah, biarkan robot-robot ini bekerja. Robot palang pintu tol bekerja untuk penjaga pintu tol. Robot finansial bekerja untuk orang yang bekerja di bank. Robot pembuat logo bekerja untuk para desainer grafis. Kasarnya begitu. Efisiensi semacam ini secara ekonomi cukup untuk membiayai kebutuhan hidup mantan pekerja dan pengangguran. Kelas pekerja punya penghasilan tetap, tanpa bekerja.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, orang kalau dikasih duit tanpa bekerja bukannya malah jadi pemalas? Ow… kita perlu cek asumsi ini. Benarkah memang demikian? Soalnya, menurut penelitian terbaru dari Semeru Institute, orang yang dikasih Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak kemudian menjadi malas. Orang tetap bekerja. Orang tetap melakukan hal-hal yang ia suka. Ya… intinya orang bisa melakukan hal lain selain bekerja.

Jika gaji tetap tanpa bekerja ini benar-benar terwujud, si penjaga palang pintu tol, pekerja bank, dan desainer grafis barulah bisa menjadi freelance yang kita cita-citakan. Dalam arti, bekerja karena pengen. Bukan bekerja biar bisa hidup.

Kategori
Society

Kaum Muda yang Berpikiran Segar, Mari Bersatu!

Sebelumnya aku tak tahu ia siapa. Pemandu acara PPSMB Teknik UGM memperkenalkannya sebagai pelopor mobil listrik nasional. Ia diundang sebagai pembicara di depan barisan mahasiswa baru teknik, termasuk diriku.

Aku tidak ingat ia bicara apa. Yang kuingat, nampaknya ia tak terlalu bersemangat menjawab pertanyaan dari mahasiswa baru. Sampai kemudian ada yang bertanya begini: kalau kami sudah bekerja keras untuk menemukan inovasi dalam bidang teknik, lalu terbentur dengan persoalan politik, bagaimana?

Begini ia membuka jawabannya, “Nah, pertanyaan ini yang saya tunggu-tunggu dari tadi.” Kalimat selanjutnya aku lupa persisnya. Tapi kira-kira singkatnya seperti ini, “Tidak usah mikirin politik. Kalian berkaryalah dengan tekun.” (Koreksi kalau aku salah, bagi yang mendengarnya juga).

Sampai beberapa bulan kemudian, aku mengamini perkataannya. Ngapain juga ikut-ikut mengurusi politik. Aku kan kuliah teknik. Setiap orang sudah punya perannya masing-masing. Jika setiap orang menjalankan perannya dengan baik, maka dunia ini akan semakin cepat mencapai cita-cita bersama. Aku ingin mempelajari bidang ilmuku secara sungguh-sungguh. Dan tak perlu ambil pusing dengan bagian orang lain, termasuk politik.

Sejujurnya aku tidak tahu kapan dan di momen apa mulai meragukan omongan si pelopor mobil listrik nasional. Bisa jadi memang tidak ada momen spesial yang mengubah pandanganku. Prosesnya berangsur-angsur.

Kini aku percaya, tanpa politik, penerapan ilmu-ilmu teknik akan sulit berdampak luas. Uji coba inovasi teknik di sebuah desa memang bikin kagum, dan tidak ada salahnya. Namun, jika terus dilakukan oleh komunitas-komunitas kecil, tanpa ada peran aktif negara, maka hanya sebagian kecil (bahkan sangat kecil) kelompok masyarakat saja yang menikmatinya.

Mengapa? Karena yang punya perangkat lengkap itu negara. Dengan dukungan birokrasi negara yang gemuk dan anggaran yang jumbo, negara bisa menerapkan kegiatan yang dampaknya sangat luas.

Pekerjaan rumahnya memang besar. Karena saat ini, citra ilmu teknik cukup buruk apalagi di benak masyarakat terdampak pembangunan. Ilmu teknik kerap dituding menjadi alibi penguasa dalam melaksanakan proyek-proyek yang tidak sensitif pada kemanusiaan. Jalanan macet, kata ilmu teknik via bibir penguasa: bangun jalan tol. Ada potensi gelombang laut tinggi, kata ilmu teknik via mulut penguasa: bangun tembok. Lahan hunian sudah sesak, kata ilmu teknik via lidah penguasa: reklamasi pantai.

Pola penyelesaian masalah seperti di atas merebut banyak ruang hidup rakyat. Belum jelas memang apakah dampak positifnya jauh melampaui efek negatifnya. Tapi perut yang lapar tidak bisa menunggu. Rakyat yang kena efek negatif berjuang untuk hidupnya setiap hari.

Beberapa kalangan menyimpulkan, deretan masalah pembangunan ini karena pengambil keputusan didominasi orang-orang dengan pola pikir teknik, juga ekonomi. Akibatnya, pembangunan nasional tidak menempatkan manusia sebagai pertimbangan utama.

Namun menurutku, justru karena orang-orang yang punya sudut pandang segar dalam ilmu teknik belum menjadi wajah pemerintahan. Mereka ini belum punya kendali dalam pemerintahan, sehingga berbagai keputusan pembangunan terus mengacu pada konsep teknik yang sudah kedaluwarsa.

Zaman sudah maju. Di berbagai belahan dunia, ilmu teknik berkembang pesat. Teori-teori yang sudah basi dan terbukti tak efektif, dibuang ke bak sampah lalu diganti teori yang lebih manjur.

Misalnya di bidang transportasi. Negara-negara macam Amerika dan Korea Selatan pernah keranjingan membangun jalan tol tiap ada sumbatan aliran kendaraan. Mereka dulunya percaya jika jalan macet, berarti jalan tidak cukup lebar untuk menampung kendaraan. Jadi bangunlah terus jalan sampai pertumbuhan jalan baru lebih cepat daripada pertumbuhan jumlah kendaraan. Salah satu kota di Korea Selatan, Seol, bahkan pernah membuat jalan layang di atas sungai!

Kini mereka mulai insyaf. Beberapa jalan tol di negeri mereka sudah dihancurkan. Sebab mereka sudah meresapi teori baru, yang menyatakan bahwa semakin kau membuat jalan baru, orang akan semakin pengin ke mana-mana membawa kendaraan pribadi, dan selanjutnya akan mendorong orang-orang membeli kendaraan baru.

Patut dicatat, perubahan kebijakan di Amerika dan Korea Selatan itu tidak hanya dipengaruhi oleh setumpuk penelitian orang-orang teknik tentang transportasi yang dipublikasikan di jurnal ilmiah lalu sudah. Perubahan besar-besaran terjadi saat ada keputusan politik. Orang-orang teknik yang punya pemikiran baru ini punya suara di dalam pemerintahan, sehingga bisa mempengaruhi arah pembangunan.

Indonesia kini sudah banyak memiliki cendikia teknik yang pikirannya lebih terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru. Apalagi mereka adalah kaum muda yang di zaman ini melihat dunia dengan cara yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Tinggal kita bersama-sama, di bidang masing-masing, merebut suara kekuasaan agar tidak terus menerus terjebak di kubangan yang sama. Jangan sampai kendali kekuasan jatuh pada orang-orang yang tubuhnya doang muda, tapi isi kepalanya tidak bergerak ke mana-mana.

Kategori
Society

Jalan yang Berubah Jadi Sungai Saat Hujan Kok Dianggap Biasa

Kota memang ajaib. Ketika di desa sungai terbentuk dari proses alami, di kota bisa dibikin. Tidak ingin sungai yang biasa-biasa, orang-orang cerdas di kota membangun sungai yang mulus. Beda sekali dengan sungai di desa yang penuh batu dan lumpur. Saking mulusnya, dasar sungai yang dilapisi aspal itu dapat dilewati roda kendaraan. Palingan satu saja kekurangan sungai artifisial di kota: airnya cuma muncul pas hujan deras.

Barangkali ada sensasi tersendiri jika menggunakan kendaraan di atas aspal yang digenangi air hujan. Melihat cipratan air dari ban seru juga sih. Tapi itu kan bikin basah diri sendiri dan orang lain. Belum lagi jika kendaraan yang kita pakai gampang macet kalau lewat genangan. Merepotkan. Selain itu, menurut para ahli, jalan aspal yang digenangi air, akan mudah rusak saat dilewati kendaraan. Aspalnya jadi lunak kali ya.

Kalau dipikir-pikir sih, orang-orang cerdas di kota nggak bakal membuat jalan aspal punya fungsi ganda jadi sungai kalau tahu bakal cepat rusak. Makanya dibikinlah saluran di samping jalan-jalan itu. Harapannya, air yang jatuh di badan jalan aspal akan segera masuk ke selokan. Kalau jalannya tidak tergenang, tentunya akan lebih awet.

Sayangnya, rencana pembangunan tak melulu sama dengan pelaksanaan. Bisa kita amati dengan mudah. Seberapa layak sih lubang di pinggir jalan yang tugasnya mengarahkan air ke selokan? Tiap seratus meter, ada berapa? Seberapa besar? Apakah lubang tersebut tidak ketutupan?

Sialnya lagi, di kota, air yang mengalir di jalan tidak hanya berasal dari air hujan yang jatuh di badan jalan. Ada kiriman ternyata. Dari mana? Dari atap bangunan yang berada tepat di pinggir jalan.

Pemandangan air hujan jatuh dari atap bangunan lalu mengalir ke jalan sangat mudah kita jumpai. Dan mudah pula kita maklumi. Kita bisa menemukannya di jalan-jalan besar maupun di jalan sempit. Bangunan di pinggir jalan berlomba-lomba ingin menjadi paling banyak menyumbang air hujan ke sungai aspal di depannya.

Orang cerdas di kota tahu, selokan di pinggir jalan didesain dan dibangun hanya untuk menampung air hujan yang jatuh di badan jalan. Tapi orang cerdas lain di kota saling berebut mendirikan bangunan pusat jual-beli yang paling dekat dengan jalan. Lalu berpikir tentang bangunannya sendiri. Gimana biar ga banyak genangan di sekitar bangunannya. Pilihan yang paling banyak diambil ialah membeton halaman toko dengan kemiringan yang mengarah ke jalan. Selain membuat nyaman para pengunjung memarkirkan kendaraannya, air yang jatuh di sekitar toko langsung meluncur ke jalan. Berkah bagi sungai aspal karena mendapatkan suplai air hujan.

Orang cerdas di kota tuh banyak. Makanya kemudian ada yang bersuara: janganlah jalan aspal dijadikan sungai. Biarlah air hujan mengalir di sungai-sungai betulan saja, jangan yang buatan. Orang cerdas jenis ini meminta para pemilik bangunan pinggir jalan bertanggung jawab pada seluruh air hujan yang jatuh di tempatnya. Air hujannya jangan sampai keluar dari area bangunan! Barangsiapa yang masih mengeluarkan air aliran hujan, kena denda! Terserah bagaimana caranya. Air hujan itu diolah terus digunakan. Diserapkan ke dalam bumi. Dibikin kolam renang. Terserah.

Tentu saja banyak yang sinis sama ide orang cerdas di atas. Dengan kepadatan bangunan di pinggir jalan, bagaimana mungkin tidak mengeluarkan air hujan sama sekali? Kalau mau diserapkan ke dalam tanah, bakal sekuat apa tanah menampungnya?

Orang sinis ini menyarankan ide lain. Gimana kalau kita terima saja bahwa jalan aspal itu punya fungsi ganda sebagai sungai di musim penghujan. Kalau toh itu bikin kita kesusahan dan mendapatkan kerugian, mungkin saja itu memang cobaan dari Sang Pencipta. Barangsiapa senantiasa sabar dengan ujian di dunia, kelak di hari kemudian akan dibalas surga.

Kategori
Society

Sampah, Sampah, Sampah, Kalau Banyak Mau Jadi Apa?

Sejauh pengamatan saya, tercatat dua kali media nasional telah memberitakan penutupan Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Pada tahun 2018 Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi mengancam akan menutup TPS Bantar Gebang. Kemudian, baru-baru ini terjadi pemboikotan TPST Piyungan, Bantul oleh warga sekitar.

Boikot tersebut membuat sampah pada TPS-TPS kecil yang ada di perumahan atau di pasar menumpuk. Tumpukan sampah ini menimbulkan pemandangan yang tidak elok dan bau yang mengganggu.

Menurut Detikcom, warga menutup TPST Piyungan karena truk-truk yang membawa sampah merusak jalan kampung. Selain itu, tumpukan sampah di TPST tersebut menimbulkan bau yang menyengat ketika musim hujan.

Penutupan TPS oleh warga sejatinya adalah akibat dari pengelolaan sampah yang kurang baik. Sebenarnya apa saja yang membuat sampah bisa menumpuk sampai sebuah kota kewalahan untuk mengurusi sampah-sampah tersebut?

Penyebab tumpukan sampah bisa disebabkan oleh berbagai hal. Penumpukan sampah bisa terjadi karena berlebihnya sampah dibandingkan kapasitas tampungan sampahnya. Kemudian, kurangnya tempat pengelolaan kembali sampah yang bisa didaur ulang.

Integrasi antar-daerah juga terkadang bermasalah. Contohnya, DKI Jakarta kan membuang sampahnya di TPS Bantar Gebang, Bekasi. Jika birokrasi antara kedua Pemda tidak harmonis, maka kejadian boikot TPS kapan saja bisa terjadi.

Permasalahan tata ruang wilayah menjadi induk dari permasalahan-permasalahan tersebut. Sistem zonasi seharusnya diatur dengan baik sehingga di tempat pembuangan sampah tidak ada pemukiman dengan radius tertentu, sehingga masyarakat tidak terganggu dengan aktivitas TPS.

Tata ruang ini tidak hanya mengatur posisi TPSnya saja, tapi juga jalur transportasi truk agar semaksimal mungkin tidak melewati pemukiman warga. Infrastruktur prasarananya pun perlu diperhatikan dengan seksama agar tidak terjadi kerusakan-kerusakan jalan yang tidak diinginkan.

Solusi Permasalahan Sampah

Solusi permasalahan sampah bisa dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah dari sisi masyarakat kemudian pendekatan kedua dilakukan dari sisi pemerintah.

Hal yang bisa dilakukan masyarakat adalah mengurangi sampah dengan gerakan zero waste, yaitu mengurangi penggunaan bungkusan plastik pada setiap belanja. Zero waste juga bisa dengan cara memanfaatkan sisa bahan makanan untuk dimasak agar tidak semerta-merta dibuang ke tempat sampah.

Mulai membiasakan diri untuk tidak meminta plastik jika hanya berbelanja sedikit dan membawa tas belanjaan jika memang ingin belanja dengan jumlah banyak. Faktor kali dari gerakan ini pasti akan berdampak besar terhadap volume sampah yang terbuang.

Sampah juga harus dipilah dan benar-benar dibuang sesuai dengan kategori. Harapannya, sampah organik dapat diproses kembali menjadi bahan organik. Sampah plastik dan sampah lain yang bisa didaur ulang akan masuk ke tempat daur ulang. Baru nanti residu atau sampah sisa yang masuk ke TPS.

Solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan menata ulang TPS dengan pemukiman warga agar tidak terjadi komplain di kemudian hari. Perbaikan infrastruktur jalan akses juga harus diperhatikan. Pengelolaan sampah ini harus terintegrasi dari mulai perumahan sampai dengan TPS akhir.

Sampah selalu menjadi tantangan di daerah urban maupun rural. Pemerintah dan masyarakat harus menyesuaikan sistem pengelolaan sampah sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Integrasi yang baik antara pengelolaan dan pengurangan sampah diharapkan dapat mengurangi permasalahan sampah di kemudian hari.

Kategori
Society

Lagi-Lagi Sawah Kebanjiran

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sawah di beberapa wilayah Indonesia kerap banjir ketika kalender memasuki akhir dan awal tahun. Kejadian berulang ini tidak bisa terus kita maklumi. Selain merugikan petani karena sumber penghasilannya mati, gagal panen padi akan merembet ke harga-harga bahan makanan lainnya. Sialnya lagi, tidak seperti pakansi, kita butuh makan setiap hari.

Kabar kesedihan rutin itu kini datang dari Kabupaten Kampar, Riau. Sawah seluas 1.518 hektar terendam banjir pada Kamis 20 Desember 2018 dan dipastikan gagal panen. Wilayah terdampak yang paling parah berada di Kecamatan Tambang seluas 596 hektar, Kecamatan Kampar Utara 319 hektar, dan Kecamatan Kampar seluas 178,5 hektar. Menurut dinas terkait di wilayah tersebut, para petani kehilangan potensi penghasilan sekitar 30 juta per hektar. Jadi, total hilangnya potensi penghasilan petani adalah 30 x 1.518 = 45,5 miliar.

Bagi masyarakat luas, gagal panen ini menyebabkan pasokan beras berkurang. Dengan kejadian ini, Kabupaten Kampar kehilangan potensi produksi beras sebesar 7600 ton.

Di Pulau Sumatera sawah kebanjiran tidak hanya terjadi di Riau. Di daerah Pidie Jaya, Aceh, tidak kurang dari 400 hektar lahan sawah terendam banjir sejak Sabtu, 8 Desember 2018. Padahal petani sudah menyemai bibit di lahan tersebut. Sawah seluas 150 hektar di Sungai Penuh, Jambi juga mengalami hal serupa. Kebanjiran. Akibatnya, petani kehilangan potensi penghasilan antara 15 sampai 20 juta rupiah.

Tidak hanya di Sumatera, memasuki tahun 2019 sawah di Jawa juga kebanjiran. Sebulan yang lalu, tepatnya 2 Januari 2019, ratusan hektar sawah di Kecamatan Suranenggala, Cirebon tergenang. Padahal, menurut penuturan para petani, benih padi baru saja ditanam setengah bulan sebelumnya. Hal ini membuat petani mengalami kerugian sekitar 300.000 – 500.000 ribu rupiah per hektar.

Masih di Jawa, 200 hektar sawah di Desa Batukali Kecamatan Kalinyamatan Jepara terendam banjir pada Selasa (29/1/2019). Ketinggian banjir di sawah tersebut antara 20 hingga 60 sentimeter. Dan sawah terendam hingga 4 hari. Ini adalah tinggi dan lama banjir yang sudah bisa mematikan tanaman padi. Sebab rata-rata padi dapat bertahan hidup jika terendam hingga 3 hari dengan tinggi genangan maksimal 5 sentimeter. Petani menuturkan bahwa sawah di Desa Batukali tiap tahun terkena banjir meski dengan ketinggian yang berbeda-beda. Artinya, tidak ada perbaikan.

Kenyataan ini sangatlah ironis karena Sumatera dan Jawa hingga hari ini adalah tumpuan produksi padi nasional. Pada tahun 2018, Jawa saja menyumbang 28,08 juta ton atau 56% dari total produksi padi nasional.

Petani pantas merasa was-was jika setiap tahun banjir mengancam sawahnya. Sebab, mereka telah mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Sementara yang bukan petani juga bisa merasa khawatir, karena semakin banyak sawah yang tergenang, maka produksi pangan akan merosot. Lalu itu akan merembet pada kenaikan harga-harga lainnya, mengingat peran pangan sangat kuat dalam gejolak harga.

Sayangnya, penjelasan yang sering kita dapatkan dari pemerintah soal penyebab sawah kebanjiran adalah intensitas hujan yang tinggi. Bahkan media pun sebagian besar memberikan keterangan yang serupa. Ini patut kita pertanyakan: apakah intensitas hujan dari tahun ke tahun semakin tinggi? Faktanya, meskipun isu perubahan iklim semakin kencang, intensitas hujan tidak mengalami perubahan yang berarti. Bisa dibilang sama. Artinya, volume air yang jatuh ke sawah dari tahun ke tahun tidak jauh berbeda.

Lalu kenapa sawah kebanjiran?

Yang luput diperiksa oleh media dan barangkali para pegawai pemerintahan ialah kualitas drainase sawah. Padahal saluran ini adalah infrastruktur yang penting untuk menguras air berlebih yang ada di sawah. Pemerintah mestinya hadir membantu petani membuat jaringan drainase sawah yang andal. Karena ketika kita berbicara tentang pengairan sawah, tidak hanya tentang bendungan, saluran irigasi, tapi juga soal saluran pembuangan (drainase). Dan harusnya topik inilah yang disoroti oleh media. Tidak hanya berhenti di penjelasan “kemarin hujan sangat lebat”.

Kita sering ribut soal banjir di kota, yang menggenangi rumah-rumah. Mungkin karena berdampak langsung pada diri kita. Tapi ada pula banjir yang meski tak berdampak langsung, efeknya amat terasa: banjir di sawah.

Kategori
Society

Pengaruh Banjir Terhadap Rajinnya Harga Pangan Naik di Akhir Tahun

Soal urusan pangan, terutama beras, pemerintah berkali-kali jatuh ke lubang yang sama: tidak bisa mengendalikan kenaikan harga di akhir tahun hingga awal tahun. Rezim ini seperti tak punya cara mengatasi persoalan perut yang amat vital bagi keberlangsungan hidup.

Lihat saja data harga beras tiga tahun terakhir dan inflasi bahan pangan empat tahun terakhir. Harga rata-rata beras di tingkat penggilingan mulai Juni 2015 – Oktober 2018 selalu naik di bulan November dan baru turun di bulan Maret. Pada bulan November 2017 – Januari 2018 bahkan kenaikannya lebih besar dari dua tahun sebelumnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), antara bulan September 2017 hingga Januari 2018, beras kualitas premium naik 9,28 persen, beras kualitas medium naik 13,9 persen, dan beras kualitas rendah naik 12,93 persen.

Rata-rata harga beras di tingkat
penggilingan, Juni 2015 – Oktober 2018
(Sumber: INDEF)
Selama 4 tahun terakhir, inflasi barang bergejolak (bahan pangan) di akhir tahun selalu lebih tinggi daripada bulan-bulan yang lain. Bahan pangan yang sering menjadi pemicu naiknya inflasi barang bergejolak adalah beras, daging, daging ayam ras, telur ayam ras, dan bumbu dapur.
Inflasi barang bergejolak 2014 – Oktober 2018
(Sumber: INDEF)

Inflasi bahan pangan di akhir tahun memang dipengaruhi oleh momentum hari raya keagamaan dan libur akhir tahun. Namun, menurut Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dalam press release-nya tanggal 15/11, pengambil kebijakan tidak dapat terus-menerus berlindung di bawah alasan kedua momen tersebut dalam menjawab masalah inflasi pangan. Sebab, masyarakat butuh kepastian akan stabilnya harga-harga.

Khusus beras, naiknya harga komoditas ini juga disebabkan oleh rendahnya produksi di akhir tahun. Misalnya, pada tahun ini, produksi beras tertinggi dicapai pada bulan Maret, yaitu sebesar 5,42 juta ton. Nilai ini jauh di atas konsumsi beras nasional. Sedangkan di akhir tahun, produksi dan potensinya lebih rendah daripada jumlah konsumsi. Singkatnya, produksi beras nasional kita melimpah di awal tahun, tapi kurang di akhir tahun.

Perbandingan produksi dan konsumsi beras Indonesia
Januari – Desember 2018
(Sumber: INDEF)

BPS pada akhir Oktober memang menyatakan bahwa produksi beras tahun ini akan surplus sebanyak 2,85 juta ton. Pernyataan ini pun sudah dilahap dan ramai diberitakan oleh Media. Akan tetapi, yang lupa dicantumkan dalam banyak pemberitaan, surplus tersebut baru akan tercapai jika produksi beras November – Desember mencapai target (masing-masing 1,5 juta ton). Jadi, yang perlu kita bicarakan sekarang, apakah target tersebut bisa tercapai?

Yang perlu diingat, akhir tahun bukanlah musim panen raya, tapi justru tanam raya. Selain itu, yang juga berpotensi menggagalkan target tersebut adalah ancaman banjir di sawah. Apalagi jika banjir terjadi di daerah lumbung padi nasional.

Baca juga: Kisah Relawan Lombok

BPS melaporkan, untuk tahun 2018, produksi padi masih mengandalkan tanah Jawa. Tiga provinsi teratas produksi padi terbesar adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dengan masing-masing jumlah produksi 9,31 juta ton, 8,75 juta ton, dan 8,1 juta ton. Jika produksi padi enam provinsi di Jawa digabungkan, jumlahnya sebanyak 28,08 juta ton atau 56% dari total produksi padi nasional. Urutan keempat dan kelima lumbung padi nasional adalah provinsi Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan dengan masing-masing produksi padinya sebanyak 5,1 juta ton dan 2,5 juta ton. Dengan bermodal data tersebut, menarik untuk melihat data potensi banjir tahun ini di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Potensi banjir di provinsi Jawa Timur pada bulan Desember tahun ini, berdasarkan peta yang dirilis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), bisa dibilang merata. Seluruh kabupaten punya potensi banjir. Separuh dari jumlah seluruh kabupaten dan kota punya potensi banjir menengah. Jumlah ini meningkat menjadi dua pertiga pada bulan Januari 2019. Sedangkan pada Februari 2019, hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa Timur tingkat potensi banjirnya menengah.

Perkiraan banjir di Jawa Timur, Desember 2018
(Sumber: BMKG)
Di daerah Jawa Tengah tidak jauh berbeda dengan Jawa Timur. Potensi banjir merata. Pada bulan Desember, daerah Demak, Kendal, dan Kota Semarang punya potensi banjir menengah. Perkiraan banjir menengah ini meluas hingga dua pertiga wilayah Jawa Tengah pada bulan Januari dan Februari 2019.
Perkiraan banjir di Jawa Tengah, Desember 2018
(Sumber: BMKG)
Begitu pula yang terjadi di Jawab Barat. Potensi banjir tersebar di hampir seluruh kabupaten dan kota, walaupun tidak semasif Jawa Tengah dan Jawa Timur. Potensi banjir menengah kemudian meluas secara signifikan pada bulan Januari dan Februari 2019.
Perkiraan banjir di Jawa Barat, Desember 2018
(Sumber: BMKG)

Walaupun potensi banjir pada bulan Desember 2018 di ketiga provinsi tersebut mayoritas rendah (tapi jangan lupa pada bulan Januari dan Februari statusnya naik jadi menengah), perlu diingat yang kita bicarakan sekarang banjir di sawah, bukan di kota. Kalau di kota, banjir yang ketinggiannya sampai lutut orang dewasa, kerugian yang ditimbulkan belumlah signifikan – saya tidak bilang ini bukan masalah. Apalagi bagi masyarakat yang sudah terbiasa tempat tinggalnya didatangi banjir. Mereka sudah punya cara sendiri untuk menghadapinya.

Di sawah beda cerita. Tinggi genangan ideal di sawah yang ditanami padi adalah 5-7 cm (Farhan & Kartaadmadja, 2001). Itu paling genangan yang hanya sampai mata kaki. Genangan yang lebih tinggi dari itu dan terjadi antara 4 sampai 7 hari, dapat mengganggu produktivitas padi. Menurut Makarim & Ikhwani (2011), tanaman padi varietas unggul baru (VUB) yang terendam selam 6 hari hasil gabahnya turun dari 5,77 ton/ha menjadi 3,13 ton/ha atau turun sebesar 2,64 ton/ha (54,2%).

Baca juga: Menurunkan Tingkat Fatalitas Kecelakaan dengan Rolling Guard-rail Barrier

Fakta di atas baru berbicara tentang produktivitas tanaman padi yang tergenang, bukan tenggelam. Maksudnya, permukaan air belum berada di atas tanaman padi. Padahal, pernah terjadi beberapa kasus tanaman padi terendam seluruhnya. Seperti yang terjadi di Karawang, Jawa Barat, pada bulan November 2016. Sawah seluas 133 hektare di Desa Karangligar itu benar-benar terendam. Genangan air mencapai 1,5 meter. Padinya sampai tidak kelihatan. Tanaman padi yang sebetulnya sudah siap panen ini akhirnya dipotong oleh para petani dengan cara menyelam sambil membawa arit secara bergantian. Namun, apabila tidak dijemur di bawah panas matahari yang memadai, gabah basah itu tidak bisa dijual karena akan menghitam dan membusuk. Jeraminya juga tak bisa buat pakan ternak.

Ada dua penyebab banjir di sawah. Pertama, pasokan air ke sawah berlebih. Ini bisa terjadi karena air hujan yang langsung jatuh ke sawah bertambah banyak. Faktor ini memang tidak bisa dikurangi. Akan tetapi, air yang masuk ke sawah bisa juga berasal dari limpasan air dari hulu. Rusaknya daerah aliran sungai (DAS) di hulu apalagi jika ditambah sistem resapan yang buruk, akan membuat limpasan air yang masuk sawah bertambah besar. Air yang seharusnya menyerap dulu ke dalam tanah, tapi karena tanah jadi gundul, malah langsung mengalir ke daratan yang lebih rendah. Oleh karena itu, perbaikan daratan gundul di pegunungan atau bukit sangat berguna bukan hanya untuk mencegah longsor, tapi juga mengamankan padi di sawah.

Baca juga: Pengalaman Tidak Terlupakan Naik Angkutan di Jakarta

Kedua, drainase atau saluran pembuangan sawah yang buruk. Karena genangan di sawah ada batasnya, maka saluran pembuangan menjadi amat vital untuk menguras kelebihan air. Masalah yang sering terjadi pada saluran pembuangan adalah pendangkalan. Endapan menumpuk. Jadi, solusi yang bisa dikerjakan adalah pengerukan saluran tersebut. Biar lebih dalam. Terkadang saluran tersebut juga perlu diperlebar.

Apabila pengambil kebijakan tidak memperhatikan faktor-faktor di atas, dan hanya tenang-tenang saja setelah membaca pernyataan BPS bahwa tahun ini produksi beras akan surplus, target itu bisa saja tidak tercapai. Pemerintah bisa kembali gagal menjaga harga pangan akhir tahun ini hingga awal tahun 2019. Keledai saja jatuh ke lubang yang sama dua kali. Lalu apa namanya kalau berkali-kali?