Kategori
Kapital Society

Rasanya Kembali Bekerja di Jogja Meski Udah Tau Gajinya Gitu-gitu Aja

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah cuitan yang isinya mengkritisi kinerja pemerintah DIY, utamanya kepada Ngarso Dalem. Sayangnya, cuitan kritis tersebut justru mendapat berbagai penolakan dan cacian. Komentar-komentar pembelaannya pun saya rasa sangat keterlaluan, seolah-olah mengkritisi kehidupan di Jogja adalah sebuah dosa besar.

Di antara hujatan yang bikin saya geleng-geleng kepala, saya heran banget melihat komentar orang-orang dan bagaimana mereka meromantisasi Jogja. Katanya warganya ramah-ramah, tapi kenyataannya yang saya lihat, komentar tersebut tidak menujukkan keramahan apalagi kebaikan. Katanya makanan di Jogja serba murah meriah, padahal faktanya harga makanan di Solo masih jauh lebih murah. Katanya warga Jogja cinta toleransi, tapi menurut survei dari lembaga masyarakat justru kasus intoleransi semakin meningkat di Jogja.

Saya jadi merasa, sikap defensif ini hanyalah sebuah reaksi karena takut mengakui hal yang sebenarnya. Mungkin takut hidupnya bakal serba kekurangan kalau nggak menerapkan prinsip nrimo ing pandum. Atau mungkin takut juga bakal dikira “membangkang” kepada Sultan. Entahlah, yang jelas saya gedek banget bacanya.

Sebagai buruh pekerja yang digaji berdasarkan UMR Jogja, saya tidak setuju jika perhitungan UMR hanya ditentukan berdasarkan pada kebutuhan barang pokok saja. Toh, setiap kali harga kebutuhan naik seperti cabai atau beras, kita pasti merasa resah dan sambat kan? Kenaikan harga cabai ini bahkan sudah selevel dengan “bencana” nasional lho! Kalau kenyataannya saja begitu, saya bisa bilang dong kalau harga sembako itu relatif sama di seluruh Indonesia? Kalau harga kebutuhan pokok saja sudah relatif sama, kenapa UMR Jogja masih segitu-gitu aja? Masa iya UMR Jogja lebih kecil dibandingkan Kabupaten Sumenep yang daerahnya masih terbilang sepi dan orang-orangnya bisa cari bahan makanan sendiri

Yang bikin saya makin heran sekaligus ngelus dada adalah ada aja orang-orang yang langsung menuduh bahwa si empunya kritik bukan orang asli Jogja. Kebanyakan selalu menyangkal dengan “Gaji segitu cukup kok” atau yang lebih kasar “Kalau nggak bisa bersyukur, ya nggak usah kerja di Jogja”. Sepurane bos, nggak semua orang punya banyak pilihan. Bekerja di Jogja saja adalah pilihan paling sulit, apalagi sudah tahu gajinya cuma segitu-gitu aja.

Saya sendiri “terpaksa” kembali ke Jogja karena sebuah alasan. Sejak awal, saya sudah sadar dan tahu bahwa penghasilan saya pasti akan berkurang drastis dibanding ketika saya masih bekerja di ibu kota. Namun karena keadaan, akhirnya cuma bisa yaudalaya.

Awalnya saya berusaha menutupi keresahan tersebut dengan dalih “rezeki nggak akan ke mana”. Saya juga sering baik-baikin diri sendiri, “Gapapa, rezeki nggak cuma dalam bentuk uang kok” padahal sebenarnya saya sedang denial aja sih. Tanpa sadar, saya sedang mengaburkan keresahan saya dengan meromantisasi Jogja. Bahwa menjadi orang Jogja plus Jawa itu harus bisa nrimo. Nggak boleh maruk alias serakah.

Namun, lama-lama saya nggak tahan. Saya mulai muak bersikap denial terhadap diri sendiri padahal ada ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang jelas-jelas nyata di depan mata. Saya sadar, bersikap denial justru membuat kesehatan mental terganggung, sehingga apapun yang saya lakukan pasti akan disisipi dengan sambat.

Bagi saya yang masih single, masih tinggal nebeng dengan orang tua, dan selalu dapat jatah makan siang di kantor, gaji yang didapat tentu saja masih mencukupi kebutuhan saya. Saya masih bisa menabung, saya masih bisa makan enak, dan saya masih bisa merencanakan liburan untuk refreshing. Namun, dalam beberapa kondisi, saya menyadari betapa kecilnya upah dan nilai jasa yang dibayarkan kepada saya.

Bukannya nggak bersyukur, tapi sehari-hari saja saya terbiasa hidup secara hemat, bahkan cenderung pelit kepada diri sendiri. Saya hampir nggak pernah nongki apalagi ngopi atau beli boba, jajan juga jarang-jarang karena nggak ada temennya *ups, sudah mengurangi hasrat bela-beli buku tapi kadang-kadang masih merasa kurang. Apalagi ditambah fakta menyebalkan bahwa ternyata saya belum bisa lepas dari lingkaran sandwich generation 😦

Sejak kesehatan saya mulai menurun, saya benar-benar menyadari bahwa proteksi diri selain BPJS Kesehatan itu penting banget. Sayangnya, dengan gaji yang nggak seberapa, saya jadi mikir-mikir lagi jika hendak menggunakan asuransi kesehatan lain yang biayanya lumayan mahal. Yaaaaa pengennya sih selalu sehat wal’afiat, tapi siapa coba yang bisa menjamin?

Ada satu fenomena unik yang bikin saya kagum kepada warlok Jogja. Katanya, sebagai masyarakat berhati nyaman itu harus menerapkan prinsip nrimo ing pandum, tapi kok bisa gonta-ganti kendaraan bermotor ya? Saya salut banget, sebab dengan gaji selevel UMR Jogja aja masih bisa kredit motor NMax. Jujur, saya tuh kalau kepengen sesuatu, dipikirnya sampai bikin ubun-ubun pusing lho. Kadang udah mau check out, tapi mikir lagi karena takut ada kebutuhan dadakan, sehingga akhirnya lebih memilih untuk mengalokasikan uang tersebut ke dana darurat aja.

Jadi, boleh nggak saya dikasih tau tips dan triknya mencicil motor ala gaji UMR Jogja? Kok bisa sih?

Sekali lagi, mengkritisi ketimpangan dan UMR Jogja bukan berarti nggak bersyukur lho ya. Tapi heran aja gitu, sekelas Jogja yang katanya daerah istimewa masa ketimpangan justru merajalela di sini?

Katanya warga Jogja percaya Ngarso Dalem nggak akan menelantarkan warganya. Nah, kalau beliau emang pengen warganya hidup tenteram dan sejahtera, kenapa beliau dan jajarannya masih mengizinkan pembangunan hotel, mal, dan apartemen? Apa belum cukup masalah kekeringan air sumur akibat pembangunan yang keterlaluan masifnya? Lagipula, dengan UMR yang ‘cuma segitu’, yakin warganya bisa menikmati pembangunan tersebut?

Untuk warga lokal Jogja, please jangan melulu menyalahkan kaum pendatang yang berinvestasi di Jogja. Lhawong mereka beneran punya duit kok! Harga properti yang ditawarkan di Jogja bisa jadi dianggap lebih murah ketimbang properti di daerah asal mereka. Sementara, properti dengan harga segitu (mungkin) masih dianggap cukup mahal jika penghasilannya hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Logikanya, buat makan aja masih prihatin, boro-boro mikirin harga properti. Nggak akan kebeli. Sudah tahu kan kalau anak muda Jogja terancam tunawisma karena harga properti yang gila-gilaan?

Saya menulis ini dengan rasa sedih sekaligus kesal. Sedih karena saya semakin banyak tahu (dan dikasih tahu) ketimpangan sosial di mana-mana, sekaligus merasa kesal karena respon orang-orang yang antikritik gitu-gitu aja. Yang dibela cuma bab makanan murah aja tapi lupa kalau kebutuhan primer nggak cuma makan.

Kebutuhan sandang mungkin masih bisa terpenuhi, tapi bagaimana dengan kebutuhan papan? Kenyataannya, harga tanah sudah menjulang sangat tinggi dan bikin siapapun menjerit karena semakin susah diwujudkan.

Sebagai warga asli Jogja ber-KTP Sleman, saya sih udah nggak mau romantis-romantisan lagi. Udah cukup, takut overdosis. Toh, ada PR besar yang menunggu, yaitu  mengkritisi pemerintah DIY dan meminta pertanggung jawabannya.

FYI, Pemda DIY selalu dapat anggaran APBN berupa Dana Istimewa yang jumlahnya mencapai milyaran tiap tahun lho! Masa warga asli Jogja nggak kepo dana ini udah dialokasikan buat apa aja? 🙂

Kategori
Society

Mari Jaga Lingkungan, Biar Korporasi Yang Merusaknya

Menggunakan produk-produk yang mengurangi single use plastic, seperti tempat minum, makan, kantong, maupun yang lain, kini kian menjadi gaya hidup baru masyarakat. Kesadaran akan meningkatnya limbah sampah, dan proses terurainya yang lama membawa kita semakin prihatin dan ikut berperan dalam menjaga umur bumi ini. Karena tentu kita masih ingin udara yang layak hirup bumi yang layak tinggal bagi seluruh makhluk hidup. Atau minimal, secara egois, bagi kita dan keturunan kita.

Sudah tentu, gaya hidup yang sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) ini didukung penuh oleh pemerintah. Baik pusat maupun daerah. Bahkan mereka pun mengampanyekan gaya hidup ini ke khalayak ramai. Tidak dapat dipungkiri bahwa kelestarian bumi dan makhluk hidup adalah konsen mereka. Selain peningkatan produksi limbah plastik yang tak kunjung ketemu bagaimana solusinya.

Kampanye kian marak, di beberapa kantor pemerintah bahkan sampai mewajibkan karyawannya menggunakan tumbler dan melarang botol plastik sekali pakai. Terdengar seperti future society, dimana setiap stakeholder di masyarakat sadar akan kelestarian lingkungan.

Memang, penggunaan plastik sekali pakai memberikan ancaman bagi lingkungan. Mulai dari proses produksi, konsumsi, dan pembuangannya menghasilkan emisi karbon yang mengakibatkan suhu bumi yang semakin memanas dan berujung pada perubahan iklim. Namun selain penggunaan plastik sekali pakai oleh masyarakat umum, tidak kalah penting juga walau sering dilupakan, bahwa perubahan iklim juga disebabkan oleh deforestasi (penggundulan hutan) dan pembakaran bahan fosil oleh industri.

Utamanya pada deforestasi, hal ini sangat mendesak untuk dihentikan. Apalagi di Indonesia sebagai negara yang masuk dalam wilayah tropis.  Menurut Conservation International, hutan tropis sangat baik dalam menyimpan karbon sehingga mencegah kemungkinan terburuk dari perubahan iklim. Namun pencegahan perubahan iklim berdasar alam yang merupakan solusi terbaik itu belum terlalu dilirik. Bahkan hanya mendapatkan jatah 2 persen dari pendanaan iklim. Di Indonesia sendiri, pemerintah masih belum sadar bahwa masalah lingkungan itu bukan hanya-tanpa mengesampingkan kepentingannya-tentang sampah plastik. Masalah pencemaran lingkungan bukan hanya sekadar sampah tetapi juga emisi yang dihasilkannya.

Selain keasyikan memberi seminar-seminar tentang pentingnya penggunaan tumbler, perlu juga bagi pemerintah melakukan regulasi yang mengurangi tindakan deforestasi. Pencemaran sampah memang perlu dikurangi, tetapi produksi limbah sampah plastik bukan hanya sekadar tentang kesadaran. Permasalahan itu lebih jauh adalah akibat dari permasalahan kelas. Contoh sederhananya, tidak semua masyarakat dapat mengakses dengan mudah sampo botol. Perihal makan saja belum tentu setiap hari, apalagi keramas. Sehingga penggunaan sampo saset menjadi pilihan.

Dibanding terus menekan masyarakat kelas bawah, lebih baik fokus meregulasi korporasi-korporasi dan segala industrinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaannya memberi manfaat ekonomi. Tapi apakah tidak sayang jika keturunan kita tidak bisa menikmati hidup dengan alam yang masih terjaga. Saya rasa jika terus seperti ini, di masa depan orang sudah tidak lagi memikirkan ekonomi. Karena bisa dapat tempat hidup saja sudah syukur. Walaupun investasi penting, namun keberlangsungan alam lebih penting.

Kategori
Politik Society

Mengkritisi RUU Ketahanan Keluarga: Keluargaku Bukan Urusanmu, Bos!

Saya baru saja menamatkan buku State of Ibuism atau Ibuisme Negara dalam versi bahasa Indonesia. Buku yang ditulis oleh Julia Suryakusuma, seorang feminis intelektual Indonesia, ini secara gamblang memaparkan kejahatan yang dilakukan oleh Orde Baru, terutama yang berhubungan dengan perempuan. Orde Baru dengan sengaja memunculkan konstruksi “perempuan ideal” yang kemudian menjadi stigma dan dipercayai orang-orang hingga saat ini. Perempuan ala Orde Baru didefinisikan memiliki peran hanya sebatas pada bidang domestik saja. Dengan kata lain, Orde Baru berusaha mengkonstruksikan tugas utama seorang perempuan adalah menjadi istri dan juga ibu bagi anak-anaknya.

Adanya organisasi perempuan seperti Dharma Wanita dan PKK bukan serta merta untuk semangat pemberdayaan, tetapi dimaksudkan hanya untuk kepentingan penguasa belaka. Organisasi ini didirikan untuk memenuhi salah satu syarat perolehan bantuan dana dari luar negeri, yang tentu saja dananya tidak sampai ke anggotanya akibat korupsi berdalih “biaya administrasi”. Struktur hierarkinya pun tidak berdasarkan prestasi perempuan itu sendiri, melainkan mengikuti jabatan yang diemban oleh suami-suami mereka. Misalnya, istri Menteri Dalam Negeri akan selalu menjadi Ketua PKK dalam lingkup kementrian, istri Gubernur akan menjadi Ketua PKK setingkat provinsi, begitu seterusnya hingga level pedesaan. Meski telah menjabat menjadi Ketua PKK, seorang istri juga tidak bisa serta merta membuat keputusan secara mandiri. Ia tetap diharuskan meminta pertimbangan dari suaminya. Pun kegiatan yang dilaksanakan juga harus atas sepengetahuan kepala daerah yang bersangkutan a.k.a suami para ketua PKK.

Ibuisme negara yang diutarakan oleh Julia merupakan bentuk doktrin patriarki yang mengingkari peran perempuan. Mereka diwajibkan mengikuti kegiatan PKK yang kegiatan-kegiatannya sangat “rumahan” sekali. Pun mereka yang telah menjadi anggota PKK tidak bisa membuat keputusan secara mandiri, melainkan harus atas sepengetahuan pembina PKK alias suami dari Ketua PKK itu sendiri.

Pengingkaran “status” perempuan ini adalah dosa Orde Baru yang masih langgeng dan dilanggengkan sampai sekarang. Meski Orde Baru telah lama runtuh, tetapi pemerintah saat ini masih mengintervensi kehidupan warganya bahkan hingga ke ranah seksualitas seolah-olah warga tidak diizinkan untuk memiliki ruang privasi bagi dirinya sendiri. Pemerintah terus-terusan mengatur perilaku warganya melalui serentetan aturan yang berbelit-belit tanpa peduli apakah aturan tersebut bijak atau tidak.

Munculnya wacana RUU Ketahanan Keluarga adalah contoh bahwa pemerintah berusaha memasuki dan mengatur ranah privasi seseorang. Pemerintah sedang melakukan domestikasi perempuan dengan mengharuskan mereka untuk melayani suami, anak-anak, keluarga hingga masyarakat tanpa dibayar dan mendapatkan “status” atau kekuasaan yang sesungguhnya. Beberapa perempuan yang sudah mulai berdikari (berdiri di atas kaki sendiri alias mandiri) dianggap sebagai sebuah hal yang “abnormal”, sehingga peranannya akan selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Salah satu persoalan RUU Ketahanan Keluarga yang memicu kontroversi dan perdebatan adalah pembagian kerja antara suami dan istri dalam keluarga. Pembagian kerja yang seharusnya berdasarkan kesepakatan, akan diatur melalui Pasal 25 yang berisi:

(2) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. sebagai kepala Keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan Keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan Keluarga;

b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;

c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta

d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

(3) Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

b. menjaga keutuhan keluarga; serta

c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa tugas seorang istri adalah mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya sekaligus menjaga keutuhan keluarga. Sementara, suami didesak untuk menjadi kepala keluarga. Padahal dalam kehidupan rumah tangga, semua keputusan seharusnya didasarkan pada kesepakatan. Setiap orang yang berkontribusi dalam rumah tangga statusnya egaliter, tidak ada yang lebih berkuasa atau tidak berdaya. Jika istri memilih bekerja atau suami menjadi full time bapak rumah tangga seharusnya tidak menjadi masalah jika didasarkan pada kesepakatan bersama.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Padahal dalam kehidupan rumah tangga, semua keputusan seharusnya didasarkan pada kesepakatan. Setiap orang yang berkontribusi dalam rumah tangga statusnya egaliter, tidak ada yang lebih berkuasa atau tidak berdaya.[/mks_pullquote]

Meski RUU ini (katanya) tercipta sebagai bentuk kepedulian kepada tingkat perceraian, tapi nyatanya RUU tersebut justru memunculkan konstruksi “keluarga ideal” yang bias dan terkesan menutup mata pada kenyataan. Dalam Pasal 77 disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib memfasilitasi keluarga yang mengalami “krisis keluarga” karena tuntutan pekerjaan. Tuntutan pekerjaan yang dimaksud dalam ayat  2 antara lain adalah orang tua bekerja di luar negeri, kedua orang tua atau salah satu orang tua bekerja di luar kota, salah satu atau kedua orang tua bekerja dengan sebagian besar waktunya berada di luar rumah, atau kedua orang tua bekerja.

Sejujurnya, saya tidak suka dengan istilah “krisis keluarga” karena bagi saya setiap keluarga punya masalah dan kondisinya masing-masing. Jika kedua orang tua bekerja hingga jarang memiliki waktu bersama anak, itu bukan termasuk krisis keluarga melainkan karena himpitan ekonomi. Mohon diingat, ada persoalan kemiskinan struktural yang membuat setiap orang diharuskan bekerja hanya untuk sekadar makan dan bertahan hidup. Jika ada keluarga yang tidak utuh atau orang tua tunggal akibat perceraian, itu juga bukan termasuk krisis keluarga yang membahayakan dan dapat membawa perubahan negatif pada fungsi keluarga. Lah kalau suaminya pelaku KDRT bagaimana? Kalau salah satu orang tua meninggal bagaimana? Siapapun yang menciptakan istilah ini, saya cuma mau bilang, Anda itu beruntung lho punya keluarga utuh dan “ideal”. Jangan samakan kondisi Anda dengan orang lain!

Ditambah lagi, penyeragaman istilah “keluarga ideal” dikhawatirkan akan merusak pemahaman masyarakat tentang makna keluarga. Sekali lagi, tidak semua orang bisa dan beruntung memiliki keluarga “utuh” yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ada beberapa kondisi ketika satu keluarga hanya diisi satu orang tua atau tidak ada sama sekali. Ada juga orang tua yang dua-duanya bekerja demi tercukupinya kebutuhan sehari-hari bahkan terpaksa menjalani long distance marriage (LDM) karena tuntutan pekerjaan.

Aturan tersebut menandakan bahwa para pengusul ini tidak pernah bersosialisasi dengan masyarakat. Mereka menutup mata bahkan mengenyampingkan fakta keberagamanan sosial di masyarakat. Tidak semua orang seberuntung Anda Pak, Bu, yang memiliki keluarga harmonis dan selalu bisa menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Pun tidak semua orang bisa memilih di rumah saja tanpa dihantui rasa khawatir besok hendak makan apa.

Selain istilah “krisis keluarga” yang sangat keterlaluan ngawurnya, RUU ini juga sangat diskriminatif terhadap teman-teman LGBT. Dalam Pasal 85, “krisis keluarga” salah satunya diakibatkan karena penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual yang dimaksud salah satunya adalah homoseksualitas.

Padahal homoseksualitas merupakan salah satu orientasi seksual (selain heteroseksual dan biseksual) atau preferensi seksual yang tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Orientasi seksual biasanya terbentuk dari proses sosialisasi di dalam masyarakat dan bukan termasuk penyimpangan karena hanya berupa ketertarikan saja. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika, LGBT tidak termasuk penyakit atau gangguan mental. Sehingga, Pasal 87-89 yang menyatakan bahwa pelaku penyimpangan seksual (LGBT) wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan, menjadi tidak valid dan wagu. Lah mau diperiksa dan diobati bagaimana kalau LGBT saja bukan termasuk penyakit? Justru kaum LGBT inilah yang rentan terkena gangguan mental seperti depresi akibat persekusi yang dilakukan masyarakat.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Lah mau diperiksa dan diobati bagaimana kalau LGBT saja bukan termasuk penyakit? Justru kaum LGBT inilah yang rentan terkena gangguan mental seperti depresi akibat persekusi yang dilakukan masyarakat.[/mks_pullquote]

Toh pada tahun 1935, Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis yang menjadi pakar di dunia psikologi, sudah pernah bilang kalau homoseksualitas bukan penyakit. Makanya, beliau tidak menyarankan atau mendukung usaha-usaha penyembuhan terhadap homoseksualitas. Lhawong bukan penyakit kok mau disembuhin?

Tak hanya itu saja, dan ini kocak banget sih, RUU Ketahanan Keluarga juga akan mengatur pelaku bondage and discipline, sadism and masochism (BDSM).  Saya nggak ngerti deh kenapa orang-orang ini hobi banget mengurusi kehidupan seksual orang lain. Selama ada consent alias kesepakatan, yaudah sih biarin aja. Bukan urusan Anda. Nggak semua hal harus Anda urusin kan?

Mungkin dari julukannya, RUU Ketahanan Keluarga terlihat baik bak malaikat, tetapi kenyataannya aturannya sangat diskriminatif dan nggak masuk akal. Preferensi seksual, pilihan hidup, hingga pembagian peran suami istri adalah hal-hal privat yang semestinya tidak perlu diatur oleh negara. Jika negara ini masih percaya dengan asas-asas demokrasi, seharusnya negara bisa dong menjamin hak warganya?

Please deh Bapak Ibu Dewan, PR kalian itu banyak banget. Nggak usah nambah-nambahin kerjaan nggak penting dengan mengurusi privasi seseorang. Keluargaku bukan urusanmu, bos!

Kategori
Beranda Politik Society

Benarkah Agama Musuh Pancasila?

Beberapa waktu yang lalu, kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Yudian Wahyudi sempat membuat publik gempar bercampur aduk emosi. Pasalnya, beliau mengatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Pernyataan kontroversial ini menarik polemik dan menimbulkan keresahan terutama di kalangan pemuka agama. Memang, hal-hal seperti ini lumrah dan tidak menjadi delik ketika dibicarakan di dalam ruang akademik terlepas dari tingkat kebenaran yang terkandung dalam pernyataannya, karena fungsi ruang akademik sebagai tempat dimana suatu tesis akan diuji terus menerus tanpa berhenti pada suatu penghakiman mutlak. Hanya tentu saja, kata “musuh” di situ terkesan bermuatan sentimen, dan ada dorongan emosional. Sehingga, akan lumrah pula timbul reaksi yang berbeda ketika hal ini disampaikan di ruang publik. Sampai saat tulisan ini ditulis, reaksi publik dan pemuka agama masih terus bermunculan meskipun Yudian sudah memberikan klarifikasinya

Mengenai pernyataan beliau itu, hal yang paling mudah untuk mengujinya adalah melalui definisi. Definisi dari kedua entitas ini, agama dan Pancasila, sebenarnya bisa digolongkan dalam banyak bentuk tergantung kita mau mendefiniskan berdasarkan definisi apa. Selain itu, dua hal ini masing-masing memiliki banyak atribut di dalamnya. Secara umum misalkan kita bisa mengidentifikasi dua hal tersebut dalam atribut pemikiran, perilaku, dalil, ajaran, sila atau otoritas institusi yang berpegang pada dua entitas ini, atau bahkan agama apa yang ia bahas sebenarnya.

Maka, untuk saling mempertentangkan dua hal (agama dan Pancasila), ia harus dibahas dulu dalam tiap klasifikasi atribut yang sama dan spesifik. Selain itu sangat mungkin tiap atribut berhubungan dengan atribut lain, atau dengan kata lain suatu atribut akan dapat menyatakan kondisi atribut yang lain. Oleh karenanya perlu disusun secara valid dan diinduksikan secara umum dari semua klasifikasi tadi lantaran agama musuh Pancasila ini klaim kesimpulannya umum pula, tidak ada keterangan yang menunjukkan kekhususan pada atribut tertentu.

Yang harus dipahami dari mempertentangkan suatu hal dengan hal lain adalah tujuannya untuk membuktikan dua hal ini memang bertentangan, bukan membuktikan bahwa dua hal ini tidak nyambung. Bertentangan itu beda dengan tidak nyambung. Bertentangan artinya berlaku biner, dalam hal ini bermakna “agama atau Pancasila, kalau tidak Pancasila ya agama, kalau tidak agama ya Pancasila” sehingga tidak mungkin berlaku keduanya. Sementara, kalau persoalan tidak nyambung, ya bisa jadi dua hal dibahas dalam variabel domain yang berbeda, atau dalam satu variabel keduanya bisa berlaku bersamaan. Pernyataan Yudian, mendikotomi dua hal ini sehingga mengindikasikan bahwa agama dan Pancasila berlaku biner dengan kata “musuh” yang ia sematkan. Yudian bertanggungjawab untuk membuktikan secara umum berdasarkan masing-masing domainnya yang sama dan spesifik, Agama dan Pancasila memang bertentangan.

Mengamati pernyataan Yudian, saya berasumsi bahwa beliau berangkat dari domain toleransi sebagai premis. Okelah kita sederhanakan saja definisi Pancasila berdasarkan toleransi tadi sesuai dengan asumsi Yudian bahwa Pancasila itu toleransi, maka antithesis dari Pancasila adalah intoleransi, sehingga jatuh kesimpulan Yudian bahwa dalam hal ini agama yang menjadi musuh Pancasila, ini barangkali menurut Yudian.

Kemudian, Yudian memberikan fakta empiris tentang keberadaan oknum-oknum dan organisasi-organisasi keagamaan berpaham “radikal” dan intoleran, yang kemudian ia masukkan ke dalam bagian dari susunan premisnya. Yudian menitikberatkan atribut subjek agama, yakni, oknum dan organisasi tadi. Jadi ketika diformulasikan barangkali begini “ada organisasi agama yang intoleran, intoleran adalah musuh Pancasila, kesimpulannya agama adalah musuh Pancasila”. Argumen ini mungkin belum bisa dipertanggungjawabkan secara logis lantaran keterbatasan domain dari premis-premis yang disediakan di atas belum bisa mewakili semua atribut dan domain untuk bisa diinduksikan sebagai agama secara general. Apalagi menurut saya organisasi agama terlepas dari variabel agama yang lainnya, bukan merupakan ide utama yang menjelaskan apa itu agama. Akan berbeda hal barangkali ketika tiap premis di atas dapat dihubungkan dengan variabel lainnya, misalkan menghubungkan antara organisasi dengan ajaran, ajaran dengan kitab dan seterusnya sehingga terpenuhi keumumannya.

Suatu argumen dapat dikatakan logis adalah ketika tiap premisnya absah dan susunan premisnya valid. Contoh, “harimau itu menyusui, hewan menyusui itu mamalia, kesimpulannya harimau itu mamalia.” Premis harimau menyusui dan menyusui itu mamalia, dapat dikatakan absah, dengan susunan premis yang terhubung demikian adalah valid, maka kesimpulan bahwa harimau itu mamalia adalah logis. Sehingga, apabila salah satu tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan tidak logis.[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Beliau mengatakan “Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Istilah “minoritas” dalam pernyataan tersebut sebenarnya sudah mengingkari keumuman dari kesimpulannya itu sendiri[/mks_pullquote]

Sekarang misal kita menguji pernyataan yang lebih dispesifikkan, bukan lagi agama, tapi organisasi agama. Misal “organisasi agama adalah musuh Pancasila” dengan premis-premis yang sama seperti sebelumnya. “organisasi agama” yang tidak dispesifikkan pada organisasi tertentu maka akan berlaku general. General atau umum atau kebanyakan atau mayoritas artinya, memungkinkan adanya pengecualian, atau mentolerir adanya fakta yang berlainan atau berlawanan. General tidak sama dengan universal. Universal artinya keseluruhan. Untuk menyatakan keseluruhan perlu ada klaimnya, misal dengan kata “semuanya”, “setiap”, dan lain sebagainya. Maka konsekuensi dari pernyataan yang sifatnya general akan berbeda dengan yang sifatnya universal. Apabila terdapat suatu pengecualian atau kondisi tidak sesuai dengan pernyataan yang sifatnya general, maka tidak akan menggugurkan pernyataan yang general tadi selagi masih berlaku sifatnya sebagai yang umum atau kebanyakan. Tapi apabila klaimnya universal maka apabila ada satu saja pengecualian, maka pernyataan yang universal akan gugur atau batal. Contohnya, “harimau hidup di hutan” berbeda dengan “semua harimau hidup di hutan”. Fakta bahwa ada harimau yang hidup di sirkus tidak membatalkan pernyataan pertama tetapi membatalkan pernyataan kedua.

Kembali pada pernyataan bahwa organisasi agama adalah musuh Pancasila, untuk menguji keumumannya, kita perlu memverifikasi keabsahan fakta empirisnya, bahwa apakah benar secara umum atau kebanyakan organisasi agama itu musuh Pancasila, untuk memenuhi susunan premis bahwa organisasi agama itu intoleran dan yang intoleran itu musuh Pancasila, sehingga diperoleh kesimpulan logis bahwa organisasi agama itu musuh Pancasila. Saya tidak mau bersusah-susah untuk mencari data. Saya hanya ingin menguji argumen bukan membuat pernyataan sendiri. Maka saya cukup mengambil pernyataan Yudian sendiri untuk meruntuhkan argumen ini.

Beliau mengatakan “Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Istilah “minoritas” dalam pernyataan tersebut sebenarnya sudah mengingkari keumuman dari kesimpulannya itu sendiri, apalagi kalau entitasnya agama yang lebih luas domainnya dibanding organisasi agama, sehingga untuk pernyataan umum “agama musuh Pancasila” dengan keterbatasan domain dari premisnya itu, sudah gugur dengan sendirinya, oleh istilah “minoritas” yang disematkan Yudian sendiri, tanpa menafikan bahwa istilah “minoritas” itu ya emang subjek yang menganut agama.

Berdasarkan penjelasan panjang lebar saya di atas, maka dengan segala kebodohan saya dan tanpa ada dorongan emosional, saya menyatakan bahwa argumen Prof. Yudian Wahyudi tentang agama adalah musuh Pancasila adalah cacat dan sudah gugur dengan sendirinya oleh premisnya sendiri.

Kategori
Society

Pasar Bebas yang Hakiki Bagi Setiap Gender

Dalam pertarungan memperebutkan segala yang duniawi, saya percaya seutuhnya bahwa kompetisi adalah keniscayaan. Bahkan untuk mencapai eksistensi di dunia sebagai manusia, sperma-sperma berebut dalam rahim untuk mendapat satu sel telur. Pertarungan tersebut sangat fair, karena berasal dari titik yang sama dalam menuju tujuan yang sama.

Begitulah seharusnya kompetisi bekerja. Setiap individu start di titik awal yang sama dalam kompetisi. Namun, tentu bentuk ideal seperti ini tidak benar-benar eksis di dunia. Terdapat individu/sekelompok individu yang sudah berada jauh di depan atau tertinggal di belakang garis start. Entah disebabkan oleh aspek-aspek natural (biologis) maupun konstruksi sosial.

Kategori
Politik Society

Kebebasan Adalah Kamuflase, Diskursus Libertarian Omong Kosong

Menyoal tren yang cukup ramai belakangan, banyak orang yang merasa bijaksana lagi terbuka dengan pandangannya mengenai kebebasan, bebas berpendapat, bebas berkarir, bebas menentukan. Saya sih bukan mau menyalahkan atau menghalang-halangi kehendak orang sebagai bagian dari apa yang disebut manusia bebas itu, cuma sepertinya ada yang perlu kita perdebatkan perihal arti kebebasan bagi mereka yang mengklaim diri sebagai libertarian.

Apa yang saya mau coba bicarakan adalah pandangan soal otoritas tiap individu dikatakan sebagai dorongan murni dari dirinya, atas dirinya dan untuk dirinya, atau kata lainnya kehendak bebas, lah. Sehingga, pemenuhan atas dorongan tersebut adalah sah, dan bukan hanya sah, tetapi juga jalan paling sejati sebagai manusia. Pandangan ini menempatkan tanggung jawab dan hak dari pilihan bebas individu sudah selesai pada dirinya sendiri, sehingga tidaklah ada dan tidaklah boleh ada otoritas juga konsekuensi dari luar tubuh mengintervensi kehendaknya itu. Tidak ada dan tidak boleh ada itu urusannya agak beda, kita mungkin lebih membicarakan anggapan pertama bahwa tidak ada otoritas di luar individu yang mengambil alih sebagian atau keseluruhan dari kehendaknya.

[mks_pullquote align=”right” width=”350″ size=”25″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]”Otoritas jangan cuma dianggap sebagai instruksi atau larangan yang langsung, tertulis, terujar dengan jelas, melampaui itu, otoritas bisa jadi adalah sesuatu yang diam-diam dan tak terlihat sudah membentuk pikiran dan kesadaran kita, yang dari pikiran dan kesadaran itu kita mengambil pilihan-pilihan tertentu seolah-olah itu adalah kehendak bebas”[/mks_pullquote]

Pandangan yang demikian bagi saya naif saja, seolah manusia hanya berputar-putar dalam dirinya sendiri, dan sudah menjadi manusia tanpa ada rantai-rantai yang mengikat dirinya dengan keberadaan di luarnya. Otoritas jangan cuma dianggap sebagai instruksi atau larangan yang langsung, tertulis, terujar dengan jelas, melampaui itu, otoritas bisa jadi adalah sesuatu yang diam-diam dan tak terlihat sudah membentuk pikiran dan kesadaran kita, yang dari pikiran dan kesadaran itu kita mengambil pilihan-pilihan tertentu seolah-olah itu adalah kehendak bebas. Bukan tanpa sengaja otoritas bisa mengintervensi individu. Bukan tanpa sengaja artinya ada tujuannya? Ya iyalah. Bahwa yang demikian itu adalah sistem dan terstruktur? Sudah tentu begitu upaya mencapai tujuan tadi.

Ini yang kalau kulihat-lihat menyebabkan kritisisme berhenti pada klarifikasi dari orang-orang yang dianggap menggunakan pilihan bebasnya. Cukup dengan interview guna memastikan apakah seseorang mengambil satu pilihan atas dirinya benar-benar dari dirinya sendiri? Kalau tidak, aktiflah itu mode libertarian die hard cuap-cuap soal kebebasan. Tapi kalau iya, “oh, oke, good job, lanjutkan terus! Itu pilhanmu kok” lalu pergi meninggalkan situasi itu tanpa berpikir masalah apa yang ada di baliknya. Akhirnya semua masalah akan dikembalikan ke urusan individu lantaran tak tau akan adanya sistem yang mengelola situasi tadi, ini yang disebut sebagai kebutaan ontologis, bahwa ketidaktahuan akan keberadaan sistem itu, akan membawa kita pergi dari masalah inti, kemudian kembali kepada individu untuk meletakkan penilaian.

Ambil contoh kasus prostitusi. Bagi orang yang menggebu-gebu mengedepankan kehendak bebas, ia tak akan melihat masalah ketika perempuan atas kehendaknya sendiri berkenan melacurkan tubuhnya. Yang penting atas dasar kemauan sendiri. Kritiknya apa? Ya sudah jelas, prostitusi itu berangkat dari sistem yang membentuk ketimpangan kelas sosial dan gender, itu yang mendorong sebagian dari golongan terdampak untuk mengambil pilihan itu, meskipun golongan tersebut tidak punya kesadaran akan dorongan tersebut, sehingga bagi mereka, ya ini pilihan bebas. Bagi yang sadar dan punya pandangan akan hal ini, tidak jarang dianggap malah merendahkan individu si pelacur, atau menyalahkan individunya. Ini anggapan yang keliru.

Kasus lain lagi. Di kampung saya banyak orang yang masih beranggapan kalau mau sukses, katakanlah menjadi pegawai perusahaan atau jadi PNS, maka harus sekolah sampai sarjana. Ya memang, tindakannya dia ambil sendiri, tapi apa tidak naif kita menganggap itu dorongan murni? Apa iya memang fitrah-nya manusia itu bekerja? Lagi-lagi bukan merendahkan individu, tapi ya karena kurikulum sebagai suatu sistem yang bekerja dengan tujuan demikian. Lapangan perkerjaan meletakkan standard rekrutmen berdasarkan tingkat pendidikan  untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia mereka. Sementara itu, dikonstruk suatu situasi dimana manusia hanya bisa hidup atau diakui kemanusiaanya ketika dia bekerja. Tercipta rantai sistem yang bisa menggiring banyak individu ke dalam situasi itu, apa yang bisa menjalankan itu kalau bukan dikatakan otoritas?

Belum lagi kalau berbicara perihal privilese, dianggap bahwa semua orang atau institusi yang punya pencapaian besar itu atas dasar dorongan murni. Tidak, penjalasannya sama, sistem. Bagi orang yang punya keistimewaan ini, tindakan bisa saja muncul dari dorongan keluarga, kemampuan bisa berhubungan dengan kekuatan silsilahnya. Ini bukan menyalahkan takdir, tapi ya kondisi ini nyata. Bagi industri, kemenangan di pasar bebas sudah ditentukan sejak awal, dari besaran modal, kepemilikan infrastruktur dan alat produksi. Jadi omong kosong lah itu kalau istilah pasar bebas, kompetisi bebas itu menempatkan semua pihak dalam potensi yang sama.

Intinya adalah apapun yang menjadi kecenderungan gerak tubuh kita, adalah memang kita yang mengatur. Apapun pilihan yang dihadapkan pada kita, ya kita lah yang mengambil sikap. Tetapi, apa yang menjadi esensi manusia di belakangnya? Istilah kehendak bebas itu tak lantas menjadi klaim bahwa manusia bebas secara esensi. Sebab nyatanya kecenderungan kita boleh jadi berasal dari dorongan status quo atau beban tradisi, atau ada skenario lain dari luar yang meletakkan esensi pada diri kita sehingga sebagaimana contoh kasus, seolah-olah kehendak bebas kita adalah diri kita yang sejati. Kalau memang itu sebuah keniscayaan, saya tak akan menyangkal. Tapi ketika, kebebasan hanya dimaknai kehendak atau pilihan, saya rasa cukup aman untuk bilang ini omong kosong.

Kategori
Kapital Society

Meneladani Ken Arok untuk Melawan Eksploitasi Digital

Kawan saya, Farizqi Khaldirian, mengajak kita untuk memeriksa ulang makna istilah “technology as salvation“. Menurutnya, pemahaman kita saat ini yang menganggap perkembangan teknologi adalah penyelamat karena memudahkan berbagai hal justru membuat kita, manusia, terancam kehilangan eksistensi. Teknologi, khususnya digital, semakin jauh mengendalikan apa yang kita pikirkan dan rasakan. Teknologi semakin bisa mendefinisikan siapa kita, menandai kita dengan angka-angka, lalu merekomendasikan/merayu kita agar membaca, menonton, dan mendengar konten yang menurutnya cocok bagi kita. Ini kemudian menimbulkan pertanyaan krusial: apakah manusia masih punya kendali atas dirinya sendiri, atas hasratnya?

Omong-omong soal kendali, Farizqi juga menyoal kendali teknologi yang masih berada di tangan sekelompok kecil orang yang punya modal besar. Mereka mengendalikan pemanfaatan teknologi dan mendapatkan keuntungan materi yang luar biasa. Sebagian besar manusia yang tidak punya kendali hanya menjadi objek eksperimen dan pemanfaatan teknologi.

Jika fakta di atas diresapi, sebetulnya kita bisa menantang pemahaman kebanyakan orang yang menganggap teknologi canggih terkini, atau biasa disebut teknologi 4.0, muncul akibat pertemuan ide antara para ahli matematika dengan orang-orang imajinatif. Mungkin mereka ingin terlihat romantis dan puitis.

Jika kita memeriksa secara sungguh-sungguh perjalanan sejarah teknologi yang berhasil diproduksi secara luas dan digunakan secara masif di dunia kerja, maka akan terlihat bahwa teknologi muncul karena keinginan pemodal untuk mengefisienkan kinerja perusahaannya. Faktor produksi utama ada 2, bahan baku dan pekerja. Bahan baku bisa diutak-atik kapan saja. Tetapi faktor manusia selalu menjadi masalah sejak revolusi industri pertama bergulir. Manusia bisa malas, bisa berorganisasi lalu protes, dan bisa mogok kerja. Ulah manusia ini tentu saja membuat perusahaan tidak berproduksi maksimal sehingga penumpukan keuntungan pun jadi berkurang.

Para pemodal yang niat utamanya selalu penumpukan kekayaan, terus mencari cara dan inovasi agar manusia bisa cepat diganti oleh teknologi. Lalu apa yang mereka lakukan? Mereka, dengan bantuan pekerja teknologi tentunya, memodelkan pekerja manusia. Cara manusia melakukan pekerjaan dipelajari, dimodelkan, lalu dibuat replikanya. Bergulirnya revolusi industri pertama ditandai dengan keberhasilan pemodelan cara manusia memintal benang. Setelah mesin pemintal berhasil dibuat, pekerja manusia ditendang ke luar pabrik. Cerita kemunculan teknologi di hari-hari selanjutnya, sampai hari ini, juga melalui cara yang serupa. Misalnya, chat bot yang digunakan untuk costumer care. Bahasa, logika, dan empati yang dimodelkan untuk chat bot tersebut berasal dari inovasi para pekerja call center yang telah mempraktikkannya selama bertahun-tahun.

Bukankah ini ironis? Metode kerja yang bertahun-tahun dijalankan oleh manusia, sembari disempurnakan selama ia bekerja, kemudian dibekukan ke dalam perangkat teknologi. Inovasi metode kerja yang dikembangkan oleh para pekerja selama ini diekstrak kemudian dijadikan benda mati. Manusia kelas pekerja dipisahkan dari keahlian dan inovasinya sendiri. Setelah keahliannya berhasil dimodelkan, ia disuruh pergi dan tidak mendapat apa-apa. Padahal para pekerjalah yang menjadi subjek inovasi teknologi.

Pemahaman ini sungguh penting untuk memperjelas debat tentang kepemilikan teknologi. Teknologi milik siapa? Jika mengikuti logika pembual, yang menebar cerita bahwa teknologi 4.0 muncul akibat pertemuan romantis ahli matematika dengan manusia imajinatif, maka kita akan menyimpulkan bahwa para inovatorlah yang memiliki teknologi. Sebaliknya, jika kita menginsafi sejarah teknologi yang sudah diuraikan di atas, jelas kita akan lantang bilang: teknologi milik pekerja!

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Manusia kelas pekerja dipisahkan dari keahlian dan inovasinya sendiri. Setelah keahliannya berhasil dimodelkan, ia disuruh pergi dan tidak mendapat apa-apa. Padahal para pekerjalah yang menjadi subjek inovasi teknologi.”[/mks_pullquote]

Tentu saja kita tidak bisa hanya berhenti di klaim tersebut. Apabila kita hanya mendengung-dengungkan fakta kepemilikan teknologi ini di jalanan dan media sosial, tanpa punya strategi yang harus dilakukan hari per hari, lalu hanya berharap mereka yang berada di kekuasaan menuruti kemauan kita, naif sekali. Mana mau mereka yang berada di posisi enak melepas kenyamanannya? Tindakan ini umumnya disebabkan dua hal. Pertama, ia malas berpikir sehingga tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. Akibatnya, tidak mampu menyusun strategi. Yang kedua, ia memang muak dengan keadaan, tapi berharap orang lain yang memperbaikinya. Ia tak ingin tangannya kotor dan berdarah-darah.

Agar tidak terjebak dalam mental yang demikian, saya akan mencoba mengurai sedikit hal yang bisa kita lakukan untuk mulai menggembosi kepemilikan teknologi yang semakin sangat sangat timpang ini.

Sebelumnya, izinkan saya sedikit berkisah tentang Ken Arok. Tentu saja berdasarkan versi yang saya percayai. Arok selagi muda menyaksikan eksploitasi yang mengerikan pada orang-orang di sekelilingnya. Penguasa Tumapel merampas hasil pertanian dalam jumlah yang keterlaluan dan ditopang dengan aturan yang dianggap legal. Tentu saja rakyatnya menderita karena hasil kerjanya yang susah payah sebagian besar dijarah.

Tak tahan melihat kondisi tersebut, Arok muda dan kawan-kawannya mencari cara untuk melawan eksploitasi ini. Berteriak-teriak atau membikin keributan di depan istana tentu saja adalah ide yang buruk (kalau bukan misi bunuh diri), karena mereka hanyalah gerombolan pemuda yang kecil jumlahnya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk merampok hasil pertanian itu di tengah jalan, ketika diangkut. Dengan bermodal nyali yang tak tanggung-tanggung, mereka lebih sering berhasil melakukan perampokan. Para prajurit yang mengawal bisa dikalahkan. Hasil rampokan tersebut mereka bawa kembali ke tempat asalnya dan mereka nikmati bersama penduduk.

Kisah perampasan hasil pertanian rakyat Tumapel ini mirip dengan eksploitasi digital hari ini. Jika di Tumapel yang dirampas adalah padi, jagung, dan buah-buahan, maka platform digital menambang data pribadi, film kesukaan, makanan dan minuman favorit, preferensi busana, hingga rasa senang dan sedih yang kita produksi setiap hari. Di Tumapel, hasil penjarahan ditumpuk di pusat kota, tak jauh dari lokasi penjarahan. Sedangkan hari ini data perilaku kita bisa terbang jauh sampai ke Amerika, dan nilai ekonominya diolah tanpa kita mendapatkan bagian yang seimbang.

Kondisi kita hari ini juga mirip Arok muda: tidak punya kekuatan untuk melawan secara langsung pusat kekuasaan yang mengendalikan eksploitasi digital. Sehingga, kita pun bisa meniru cara yang ditempuh Arok. Kita bisa menyusun strategi untuk merampok hasil jarahan di tengah jalan. Arok dan teman-temannya menentukan terlebih dahulu di titik mana mereka bisa merampok dengan mudah. Mereka mengamati setiap titik jalan yang dilalui oleh kereta kuda dan para prajurit penguasa. Kita pun perlu juga pemetaan tersebut, yaitu dengan memahami secara detail bagaimana proses eksploitasi digital berlangsung. Setelah itu, kita bisa menentukan di titik mana kita bisa merampok kembali data-data kita yang dirampas. Ini sungguhlah penting agar kita tidak melulu berharap pada penguasa, yang juga terlibat dan menikmati hasil rampasan, memberikan belas kasihan pada diri kita.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Kita pun bisa meniru cara yang ditempuh Arok. Kita bisa menyusun strategi untuk merampok hasil jarahan di tengah jalan.”[/mks_pullquote]

Untuk bisa memetakan, kita harus tahu dulu struktur digital hari ini seperti apa. Benjamin Bratton, dalam The Stack: On Software and Sovereignty, memodelkan struktur digital seperti gambar berikut:

kredit: arachne.cc

Benjamin Bratton memberi nama The Stack untuk struktur di atas. The Stack secara sederhana bisa dipahami sebagai sebuah struktur komputasi berskala planet yang kemunculannya tidak direncanakan. The Stack punya 6 lapisan: earth, cloud, city, address, interface, dan user.

Ruang artikel ini sangat terbatas untuk menjelaskan keenam lapisan tersebut secara rinci. Oleh karena itu, saya akan menjelaskannya dengan singkat saja. Earth adalah segala materi yang ada di bumi yang digunakan untuk membuat perangkat digital. Misalnya, kobalt yang banyak tersedia di Kongo, yang penambangannya melibatkan anak-anak. Kobalt adalah bahan baku pembuatan baterai litium yang digunakan untuk smartphone dan laptop.

Cloud, walaupun sering dibayangkan sebagai awan, sesungguhnya adalah penyimpanan raksasa yang beberapa di simpan di bawah laut. City adalah tempat saling terhubungnya cloud. Address adalah alamat masing-masing perangkat yang kita gunakan untuk mengakses dunia Stack. Contohnya gampangnya ya IP Address. Walaupun mobilitas badan kita tinggi, jika kita tetap mengunakan IP Address yang sama, bagi The Stack kita tidak ke mana-mana.

Lapisan selanjutnya adalah interface. Ini adalah selaput yang memungkinkan user menikmati apa saja yang berada di dalam cloud. Sedangkan user bisa manusia, bisa juga tidak. Lho, user bisa bukan manusia? Cobalah tengok cara kerja robot saham. Ia membaca pergerakan pasar saham, menganalisisnya, lalu memutuskan menjual atau membeli yang mana.

Sebagian besar manusia hanya bisa mengakses Stack sampai interface. Kita tidak tahu apa yang terjadi di lapisan address, city, cloud, dan earth. Dengan demikian, kita baru bisa melakukan perampokan secara realistis di lapisan interface. Strategi yang harus kita susun ialah merampok kembali nilai ekonomi dari data-data yang kita produksi setiap hari di lapisan ini. Mengapa merampok kembali? Sebab, kita belum bisa mencegah nilai data-data tersebut memasuki cloud. Yang baru bisa kita lakukan adalah ikutan mengolahnya untuk menyusun kekuatan sedikit demi sedikit.

Perampokan kembali nilai ekonomi data-data kita ini penting untuk mempertahankan eksistensi manusia, khususnya kita sebagai kelas pekerja. Sebelum eksistensi ini menguap, seperti yang dikeluhkan oleh Farizqi.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Strategi yang harus kita susun ialah merampok kembali nilai ekonomi dari data-data yang kita produksi setiap hari.”[/mks_pullquote]

Model perampokan kembali yang bisa kita contoh adalah koperasi yang bernama Robin Hood Coop. Koperasi ini berbasis di Finlandia. Kegiatan mereka adalah mengumpulkan uang anggota untuk dimasukkan ke bursa saham Wall Street dengan bantuan robot saham. Keuntungan dari program ini sebagian dibagikan ke anggota, sebagian lainnya digunakan untuk menjalankan program-program yang sesuai dengan visi koperasi. Uniknya, karena berbasis koperasi, pengelolaannya berbeda dengan reksadana. Setiap anggota mempunyai suara, one man one vote. Program yang akan dijalankan oleh koperasi diputuskan dalam rapat seluruh anggota.

Agar lebih jelas, saya akan menceritakan 1 contoh lagi. Beberapa peneliti dan akademisi di Amerika dan Eropa membuat sebuah komunitas bernama Global Center of Advance Studies (GCAS). Komunitas ini bercita-cita membuat sebuah model pendidikan tinggi alternatif. Ini tak lepas dari pengaruh kondisi pendidikan tinggi di Amerika. Seperti kita tahu, di Amerika, karena biaya pendidikan tinggi yang semakin melonjak naik, pemerintah membuat kebijakan yang memungkinkan mahasiswa berutang dulu ke bank. Utang ini nantinya dicicil setelah dia lulus. Akibatnya, banyak sekali mahasiswa yang terlilit utang setelah lulus kuliah. Sebab lapangan pekerjaan semakin sulit, dan jika ada pun, upahnya lebih murah.

GCAS hadir untuk mencoba menyelesaikan masalah ini. Para pemuda yang ingin mengakses pengetahuan di GCAS bisa “membayarnya” dengan berkontribusi di komunitas ini. Bisa dibilang membeli pengetahuan dengan pengetahuan. GCAS memiliki mata uang sendiri, yaitu GCASY yang berupa cryptocurrency. Jadi, strategi yang dipakai memang mengikuti transaksi pendidikan seperti umumnya. Jika kau mampu bayar, kau bisa mengakses pengetahuan yang berkualitas. Bedanya, uang yang dipakai untuk membayar didapatkan dari aktivitas membagi pengetahuan atau berkontribusi memajukan komunitas tersebut.

Yang lebih menarik lagi dari komunitas ini, kontribusi yang dihitung tidak terbatas pada sumbangan ide, desain, mencatat keuangan, atau kerja-kerja organisasi lainnya. Setiap orang bahkan bisa mendapatkan GCASY (mata uang mereka) hanya dengan memberi like, comment, atau share di postingan media sosial GCAS. Ini luar biasa. Mereka berusaha memberikan nilai pada aktivitas kita bermedia sosial.

Mungkin cara yang dilakukan oleh GCAS ini belumlah ideal. Namun, setidaknya mereka sudah berani mencoba model ekonomi digital lain di luar bayangan mainstream yang eksploitatif. Mereka sudah mulai berusaha merampok kembali nilai ekonomi aktivitas digital mereka yang dicuri dan menggunakannya untuk membangun komunitas pendidikan yang lebih adil. Agar tak ada lagi orang yang harus terjerat utang karena ingin belajar.

Hidup semakin berat, melelahkan, dan bikin frustasi. Namun kondisi ini jangan sampai membuat kita terlalu terbuai pada janji-janji dunia ideal yang tidak realistis. Perlawanan pada sistem yang menindas ini tetap perlu cara-cara yang realistis, tapi tak meninggalkan kemampuan berpikir abstrak/imajinasi, seperti 2 contoh di atas tadi. Kelak, jika modal yang kita punya sudah lebih kuat, maka perlawanan yang dijalankan bisa lebih besar. Seperti Arok dewasa yang sudah memiliki pasukan, strategi, dan modal, ia menumbangkan Tunggul Ametung melalui tangan orang lain.

Kategori
Kapital Society

Balada Menjadi Sandwich Generation: Anak Berbakti vs Durhaka

Jika masih menyisihkan sebagian gajimu untuk kebutuhan orang tua atau saudara kandungmu, percayalah kamu adalah bagian dari sandwich generation.

Bicara soal sandwich generation seolah tak ada habisnya. Yah, emang susah sih kalau mau dikelarin, wong fenomena ini banyak diamini oleh orang-orang kok! Bahkan saya sendiri pernah dan (mungkin) masih mengalaminya.

Secara umum, sandwich generation adalah mereka yang memiliki beban ganda finansial. Dinamakan sandwich generation karena fenonema ini bagaikan roti sandwich yang membuat posisi seseorang “terhimpit” akibat dua kewajiban tersebut. Kondisi ini umumnya dialami oleh generasi milenial, tidak peduli statusnya sudah menikah atau belum dan sudah memiliki anak atau belum. Intinya, kaum milenial dihadapkan pada beban finansial ganda, sebab ia tidak lagi membiayai dirinya sendiri melainkan juga orang lain (terutama orang tua dan saudara kandungnya).

Sandwich generation nggak ujug-ujug muncul seolah-olah mereka gagal mengatur keuangan. Menurut penelitian, fenomena ini muncul karena kegagalan orang tua sandwich generation dalam mengatur keuangan dan persiapan hari tua. Banyak orang tua masih menganggap bahwa “anak adalah investasi masa depan”, sehingga mereka pun abai pada perencanaan keuangan atau mungkin sengaja bergantung kepada anaknya untuk bertahan hidup.

Sayangnya di Indonesia, kondisi demikian masih dianggap lumrah. Apalagi kebanyakan orang masih beranggapan bahwa menyokong orang tua adalah kewajiban anak ketika dewasa. Anak wajib berbakti kepada orang tua dan salah satu tanda baktinya adalah dengan mengurusnya secara finansial.

Anggapan soal konsep “durhaka” semakin melanggengkan kebiasaan toxic ini. Sebab, seseorang yang sudah mandiri finansial a.k.a bekerja seolah-olah diharuskan untuk ikut membantu finansial keluarganya. Tak peduli apakah gajinya layak atau tidak, cukup atau tidak untuk bertahan di perantuan, yang penting jatah kiriman ke kampung selalu tersedia.

Saya pun pernah menjadi bagian dari sandwich generation. Meski orang tua (re: mama) sering mewanti-wanti saya bahwa perempuan itu harus mandiri secara finansial, tapi toh pada akhirnya saya tetap merasa bertanggung jawab dengan kondisi keuangan olahraga. Saya nggak bisa terima aja kalau nasihat itu datang dari mama, apalagi mengingat mama saya adalah full time ibu rumah tangga dan tidak memiliki pemasukan apa pun. Hampir seratus persen, beliau bergantung pada pensiunan papa saya yang tentu saja nggak seberapa.

Karena kenyataan itulah, saya meniatkan diri saya, entah gimana pun caranya saya harus bisa mandiri secara finansial. Sayangnya, meski sudah merasa mandiri dan berharap bisa mewujudkan mimpi-mimpi yang hendak digapai, saya tetap saja dilibatkan dalam urusan-urusan finansial di rumah. Ketika masih bekerja di ibu kota, setiap bulan saya berusaha menyisihkan 10% penghasilan saya untuk dikirimkan ke orang rumah. Meski sebenernya gapapa karena toh saya juga pengen ngasih, lama-lama saya menyadari bahwa kebiasaan ini justru membuat keluarga jadi “berharap lebih” kepada saya. Sebenarnya sih nggak masalah, selama uangnya ada, tapi saya nggak suka dijadikan tempat bergantung.

Ketika saya pindah kantor dan penghasilan saya menurun drastis karena perbedaan UMR, saya pun mulai berhenti menganggarkan sebagian kecil gaji saya untuk orang rumah. Bukannya saya pelit atau durhaka seperti yang sering dituduhkan orang-orang, saya berusaha sadar diri bahwa sekarang pemasukan saya terbatas, sementara saya juga sedang getol menabung demi rencana-rencana masa depan.

Perlu diakui juga, dalam beberapa kondisi, menjadi “penyokong keuangan keluarga” itu stressful banget. Mengutip dari Tirto.id, generasi sandwich rentan mengalami tekanan karena beban ganda yang dipikulnya. Tekanan psikologis seperti stres bisa mengakibatkan terganggunya pekerjaan, hubungan dengan pasangan atau rumah tangga hingga ke pergaulan. Bukan nggak mungkin, tekanan ini akan memicu mereka melakukan hal yang tidak diinginkan.

Bayangin aja deh ya, bosmu udah rese di kantor, gaji nggak naik-naik, masih harus bayar iuran BPJS, bayar cicilan ini itu, harga cabai dan gula kok lagi naik drastis, nggak punya temen ngobrol dan berbagi karena kamu introvert, eh kamu tetap harus punya jatah untuk orang tua dan keluargamu. Hadeeeh saya sih nggak sanggup ya shay, apalagi Dilan~

Saya pun sempat tertekan karena pengeluaran mendadak melonjak tinggi dibanding sebelumnya. Saya overthinking tiap hari karena memikirkan saldo tabungan aktif yang mendadak menipis. Padahal baru aja gajian 😦

Karena sudah nggak tahan dengan kondisi ini, saya berusaha mengungkapkan keresahan ini kepada mama. Saya bilang, saya nggak sanggup karena sedang banyak kebutuhan, sementara saya juga sedang ingin menabung lebih banyak. Syukurlah, mama saya mengerti dan memaklumi. Toh, meskipun saya mulai membatasi keuangan, bukan berarti saya nggak ngasih sesuatu sama sekali ke orang tua. Kadang-kadang kalau lagi pengen dan punya rezeki lebih, saya suka membelikan sebagian kebutuhan rumah tangga untuk mengurangi pengeluaran orang tua saya. Intinya sih, tahu diri dan tahu batasnya aja.

Karena pengalaman tersebut, saya jadi belajar bahwa cara utama untuk memutus rantai ini adalah terbuka dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya. Manusia kan punya keterbatasan ya, wajar aja sih kalau dalam beberapa kondisi merasa nggak mampu. Makanya, penting banget untuk mengkomunikasikan keterbatasan tersebut kepada orang tua, beri mereka pengertian bahwa nggak selamanya uang yang kita miliki semata digunakan memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, cobalah minta bantuan kepada saudara kandung seperti adik supaya mereka juga bisa ikut berpartisipasi dalam keuangan keluarga.

Kalau anak tunggal bagaimana? Hmmm kalau saya bisa ngasih saran sih, mau nggak mau, harus cari income lain selain gaji tiap bulan. Emang nggak gampang keluar dari jeratan sandwich generation, jadi sebisa mungkin harus  untuk menambah penghasilan sampingan supaya nggak terlalu terbebani. Plus, kamu yang anak tunggal jadi punya ‘uang sisa’ untuk menabung dan berinvestasi.

Terlepas dari status generasi sandwich atau tidak, langkah paling dasar untuk keluar dari mimpi buruk ini adalah dengan belajar investasi. I know this may be hard and seems impossible. Namun, mengingat fakta bahwa generasi sandwich menganggung beban ganda finansial, maka akan lebih baik jika kita rutin menyisihkan 20% dari penghasilan untuk berinvestasi. Selain itu, penting banget lntuk memiliki proteksi diri. Misalnya, asuransi kesehatan seperti BPJS dan asuransi jiwa agar nggak menanggung biaya mahal ketika tiba-tiba sakit atau terkena musibah.

Nah, kalau kamu emang nggak pengen membebani keuangan anak-anakmu kelak, makanya dari sekarang kamu juga harus mulai mempersiapkan dana pensiun dan dana darurat. Sisihkan saja minimal 10% dari total penghasilanmu. Mungkin awalnya terasa berat banget dan susah, tapi bukan berarti nggak bisa lho! Toh, demi kebaikan bersama. Biar kondisi toxic begini nggak terus-terusan berulang dan nyusahin banyak orang.

Kategori
Politik Society

Dulu Pelacur Punya Peran dalam Perjuangan Kemerdekaan, Kini Mereka Hanya Jadi Korban Politik

Apa yang akan kita ucapkan ketika ditanyai siapa yang berperan dalam Kemerdekaan Indonesia? Kebanyakan dari kita pasti akan menyebut Sukarno, Hatta dan tokoh-tokoh dalam struktur PPKI dan BPUPKI. Sedikit dari kita mungkin akan bercerita perjuangan tokoh lainnya yang berhasil melahirkan embrio-embrio revolusi seperti Pangeran Diponegoro, Budi Utomo, Umar Said Cokroaminoto. Tetapi untuk kali ini mari bersepakat bahwa Kemerdekaan Indonesia didapatkan karena peran dari semua warganya yang punya kemauan tulus untuk merdeka. Tak terkecuali dari seorang pelacur.

Pelacur dalam masa perjuangan kemerdekaan yang dimotori oleh Sukarno mempunyai peran sangat penting. Seperti yang telah diuraikan dalam buku autobiografi Sukarno berjudul ‘BUNG KARNO – Penyambung Lidah Rakyat’ (penulis Cindy Adams), pada awalnya Sukarno sangat kesulitan untuk menghimpun kekuatan untuk bergabung dalam PNI partai yang didirikannya pada tahun 1928. Pergerakannya sangat dibatasi dan terus-menerus diawasi oleh Belanda. Sangat sulit mengadakan pertemuan dan diskusi. Apalagi menghimpun dana untuk berbagai kegiatan partai. Disaat itulah kekuatan dahsyat dari 670 pelacur secara tulus membantu perjuangan Sukarno di Bandung.

Meski awalnya ditentang oleh rekan-rekannya karena dianggap memalukan dan tidak bermoral, Sukarno dengan tegas menentang dengan mengatakan, “Apakah Bung, pernah menanyakan alasanku untuk mengumpulkan 670 perempuan yang dianggap sampah masyarakat ini? Itu karena aku tahu bahwa aku tidak akan pernah dapat maju tanpa suatu kekuatan. Aku memerlukan sumber daya manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagiku persoalannya bukan bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang dahsyat itulah yang satu-satunya yang kuperlukan.”

Peran pelacur menurut Sukarno sangat penting, bahkan ia mengatakan, “Anggota lain dapat kutinggalkan. Tetapi meninggalkan perempuan macam mereka, tunggu dulu.” Pernyataan Sukarno bukan tak berdasar. Jika Anda pernah membaca tentang kisah Madame Pompadour, seorang pelacur yang sangat tersohor dalam sejarah. Theroigne de Merricourt pemimpin perempuan yang terkenal di Perancis. Perjuangan revolusi yang terkenal sebagai barisan roti di Versailles. Siapa yang memulai? Ya kupu-kupu malam ini.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]” Aku memerlukan sumber daya manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagiku persoalannya bukan bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang dahsyat itulah yang satu-satunya yang kuperlukan.” -Sukarno- [/mks_pullquote]

Dan memang benar, para pelacur ternyata memperlihatkan hasil yang hebat. Awalnya mereka hanya dimintai tolong untuk memberikan tempat untuk agenda pertemuan dan rapat, sekaligus sebagai pengawas. Otak siapa yang akan mengira di tempat prostitusi akan dijadikan tempat berdiskusi secara serius. Di tempat ini siapapun bisa datang, kolega-kolega partai bisa aman menyusun strategi dan ketika pergi bisa mengaku ‘cuma melampiaskan hasrat seks’ tanpa siapapun yang curiga.

Kemudian tugas pelacur mulai ditambah sebagai informan karena tidak ada satupun laki-laki anggota partai yang terhormat dan sopan itu dapat mengerjakan tugas itu. Para pelacur membuai aparat Belanda dan cecunguk-cecunguknya untuk melalaikan tugasnya. Memuaskan birahinya tetapi mengambil semua informasi dari mereka. Tentu saja sangat berhasil. Siapapun akan setuju dengan penyataan, “Jika kau memerlukan mata-mata, pelacurlah orang yang tepat. Mereka adalah mata-mata terbaik sejagat raya.” Bahkan di penjara pun para pelacur tentara Sukarno ini masih bisa menunaikan tugasnya dengan baik.

Tidak bisa dipungkiri, karena profesi mereka sebagai perempuan jalanan, seringkali mereka harus berurusan dengan hukum dan diancam dengan hukuman penjara. Suatu kali seluruh pasukan pelacur ini terjaring oleh razia. Dalam hal ini Sukarno mendorong mereka agar memilih menjalani hukuman kurungan saja. Mereka tetap patuh dan setia kepada pemimpinnya, sehingga ketika hakim meminta mereka membayar denda, mereka menolak, “Tidak, kami tidak bersedia membayar.” Lagi-lagi hal ini mempunyai alasan khusus, agar para pelacur dapat menunaikan tugas selanjutnya yaitu perang urat syaraf. Dengan menggoda aparat penjara, istri mana yang tidak menjadi gila menghadapi keadaan ini?

Kisah peran pelacur selanjutnya ada pada saat pasukan Jepang menyerbu Kota Padang. Singkat cerita, Sukarno yang direncanakan akan dilarikan kembali ke Jawa oleh Belanda dari tempat pengasingannya di Bengkulu, harus berlayar melalui Pelabuhan Padang karena saat itu Pelabuhan Palembang sudah diserbu oleh Jepang. Sialnya, setelah sampai Padang, Jepang telah memporak porandakan Kota Padang. Belanda kocar-kacir dan pasukan pengawal Sukarno kabur. Gantian pasukan Jepang yang menangkap Sukarno. Di Padang Sukarno dipekerjakan oleh Jepang sebagai kolabolator -penyambung mulut dari orang Jepang kepada pribumi- untuk memenuhi semua kebutuhan pemerintah Jepang. Sukarno dijanjikan akan diberikan kebebasan untuk menghimpun kekuatan untuk menyusun komite pelaksana kemerdekaan Indonesia dan diberikan berbagai fasilitas untuk itu. Berbagai keluhan Jepang dapat dipenuhi oleh Sukarno termasuk untuk pemenuhan paksa pasokan beras kepada Jepang. Ia memperoleh beberapa ton beras dari para petani, pengikut setianya.

Suatu hari, Jepang dengan nada mengancam, menekan Sukarno untuk mengatasi krisis yang sangat krusial. Yakni, krisis kehidupan seks prajurit Jepang. Suku Minangkabau terkenal sangat beragama. Kaum perempuan dibesarkan sangat ketat. Saat itu Sukarno memperingatkan, “Kalau anak buah Anda mencoba berbuat sesuatu dengan gadis-gadis kami, rakyat akan berontak. Anda akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatera.” Namun Sukarno juga berpikir jika masalah ini tidak terleselasikan, bangsa ini akan mengalami dihadapkan kepada persoalan yang lebih besar lagi.

Sukarno sempat berdikusi sengit dengan ulama Padang dengan kesimpulan harus melindungi gadis-gadis Padang sekaligus menjaga nama baik bangsa. Kesimpulan itu segera ditafsirkan Sukarno dengan mendatangkan 120 pelacur dari daerah sekitar Kota Padang dan menempatkan mereka pada suatu kamp di suatu daerah terpencil dengan pagar yang tinggi di sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam autobiografinya, Sukarno mengutarakan, ” Maksudku, mungkin tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu istilah untuk jenis manusia seperti itu. Tetapi ini merupakan kesulitan yang serius untuk mencegah bencana yang hebat. Karena itu aku mengatasinya dengan cara yang kutahu paling baik. Hasilnya pun sangat baik. Setiap orang merasa senang dengan rencanaku itu.”

Dengan bantuan para pelacur tersebut Sukarno diperbolehkan kembali ke Jakarta. Berjuang kembali dengan kolega-koleganya untuk membangun siasat memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia.

Itulah beberapa peran pelacur dalam perjuangan kemerdekaan yang sempat tertuliskan, dan yakinlah di berbagai penjuru bangsa masih banyak kisah heroik yang dilakukan para perempuan yang selalu dihina ini untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsa yang dicintainya. Siapa yang berharap seseorang perempuan mau menjadi pelacur, semua orang pasti tidak mau. Namun, keadaan bisa memaksa seseorang untuk tenggelam dalam pekerjaan tersebut. Mari kita buka mata kita lebih lebar lagi dan membiarkan tulisan ini lebih panjang lagi.

Awal bulan Februari tahun 2020, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan skandal penggerebekan pekerja seks yang diduga dilakukan oleh politisi Partai Gerindra, Andre Rosiade. Berlokasi salah satu hotel di Padang, sebuah daerah yang disebutkan di tulisan ini menjadi saksi bagaimana peran para pelacur sangat membatu Sukarno untuk dapat kembali ke Jakarta. Lebih tragisnya lagi, korban penggerebekan berinisial, NN, ini mengaku ia dipesan terlebih dahulu, dipesankan kamar, dibiarkan telanjang untuk ditangkap dan disorot kamera.

Sebagian orang mungkin setuju, razia pekerja seks seperti itu dikatakan sebagai “memberantas maksiat”. Tetapi semua berhak setuju, sekenario yang dilakukan oleh ‘terduga’ Andre Rosiade tersebut sangatlah tidak pantas dilakukan. Alih-alih ingin mendapatkan simpati dan keuntungan politik, yang datang hanyalah kutukan terhadap perbuatan tersebut sebagai perlakukan yang tidak manusiawi.

Bagaimanapun pelacur tetaplah manusia. Walaupun pekerjaannya dipandang hina, ia pasti masih mempunyai harga diri. Dan negara masih punya kewajiban melindunginya. Dengan model rekayasa penggerebekan seperti itu Anda tidak hanya menangkap seseorang, tapi Anda telah menghancurkan harga diri seseorang, menikam hak asasinya, dan membunuhnya. Tentu saja banyak yang berdiri bersama NN saat ini, bukan tentang ia mendukung maksiat, tetapi berdiri demi kemanusiaan.

Mari kita renungkan dan mencoba memposisikan perempuan-perempuan seperti NN ini sebagai korban. Apa dasarnya? Tidak ada satu perempuan pun yang ingin terlahir sebagai pelacur, namun keadaan bisa memaksa seseorang untuk tenggelam dalam pekerjaan tersebut. Jika ditanyai alasannya mengapa ia terpaksa menjalani pekerjaan tersebut, pasti hulunya adalah pada masalah ekonomi.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Bagaimanapun pelacur tetaplah manusia. Walaupun pekerjaannya dipandang hina, ia pasti masih mempunyai harga diri. Dan negara masih punya kewajiban melindunginya.”[/mks_pullquote]

Harusnya negara belajar dari masih banyaknya kasus prostitusi ini. Bisa jadi jaminan sosial yang selalu dijanjikan tiap kampanye hanya agenda politik semata dan tidak pernah nyata terlaksana. Bisa jadi pendidikan yang pincang tidak dapat menyaring arus globalisasi membiarkan saja rantai kapitalisme global masuk. Menjadikan warga negara hanya menjadi konsumen, tanpa ada transfer teknologi dan penyerapan tenaga kerja.  Tentu saja perempuanlah yang paling dirugikan. Lihat di TV Anda berapa menit prosentase iklan tayang dibanding acaranya. Jika dicermati sebagian besar iklan dan acara TV tersebut menyasar konsumen perempuan. Mereka menciptakan sebuah tren baru seolah-olah setiap perempuan harus mengikuti itu. Ketika semua kebutuhan dan keinginan memuncak tetapi tidak punya uang untuk membeli, akhirnya melacur dijadikan solusi.

Tidak hanya itu, perempuan-perempuan seperti NN ini juga rentan menjadi korban politik praktis. Siapapun yang ingin dapat simpati masyarakat dan mendapatkan keuntungan politik (elektabilitas) berusaha menutup semua tempat prostitusi. Apalagi sekarang ditambah lagi dengan sentimen agama bahwa mereka ini adalah orang-orang maksiat yang menyebabkan bencana.  Terkadang perlu juga kita lempar pertanyaan kepada orang ini, apakah maksiat hanya terdiri dari kegiatan pelacuran? Bagaimana dengan korupsi yang nyata-nyata menyebabkan bencana kepada semua orang? Bagaimana dengan money politics? Bagaimana dengan black campaign? yang sering memecah belah masyarakat. Tidakkah itu tindakan yang lebih terkutuk dan menjijikan?

Tragisnya lagi penutupan daerah prostitusi tersebut tidak pernah disertai penanganan lebih serius. Para pelacur kadung dicap sebagai orang tidak bermoral dan tidak pantas bekerja dimanapun.  Akhirnya mereka yang perlu uang untuk memenuhi kebutuhannya terpaksa menjalani pekerjaan itu lagi dengan menyebar menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga susah untuk dikendalikan. Beberapa kelompok mereka yang menyebar secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi lingkungan kecil mereka untuk bekerja dengan hal yang sama. Praktik pelacuran semakin parah dan penyelesaian penanganannya semakin rumit. Niat awal yang ingin memberantas maksiat, justru menambah permasalahan maksiat baru. Pelacur tetap yang disalahkan.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Disaat mereka merazia para pelacur. Hutan-hutan digunduli, gunung-gunung dijadikan komplek vila, tambang-tambang yang menyiksa warga dilanggengkan, aktivis lingkungan digebuki, dan pendirian pabrik dengan limbah membahayakan dilegalkan. Ketika ada bencana, pelacur tetap nomor satu yang dituduh menjadi biang keladinya.“[/mks_pullquote]

Pada akhirnya kita perlu menguji pernyataan politisi-politisi yang menjadikan pelacur sebagai obyek kegiatan politiknya. Mereka seringkali mengatakan, “Kita mememerangi maksiat agar tidak terjadi bencana pada bangsa.” Disaat mereka merazia para pelacur. Hutan-hutan digunduli, gunung-gunung dijadikan komplek vila, tambang-tambang yang menyiksa warga dilanggengkan, aktivis lingkungan digebuki, dan pendirian pabrik dengan limbah membahayakan dilegalkan. Ketika ada bencana, pelacur tetap nomor satu yang dituduh menjadi biang keladinya.

Tentu lucu mendengar hal demikian, namun harus kita terima bahwa itulah faktanya, politisi kita kadangkala ada yang berkata seperti itu. Apakah mereka pura-pura bodoh? Kita tidak tahu. Yang Jelas Sukarno dengan pasukan 670 pelacur di Bandung dan 120 pelacur di Padang dapat bergotong royong untuk meraih kemerdekaan.

Atau jangan-jangan intisari dari kata ‘maksiat’ yang sebenarnya adalah orang dengan rasa kemanusiaan yang hilang. Nah, kalau itu jelas akan membawa bencana.

Kategori
Kapital Society

Kabar Duka: Kita Tidak Akan Pernah Pensiun

Seorang anak bertanya kepada ayahnya, “Apa rencana Ayah saat pensiun nanti?”
“Kau lah rencana pensiun Ayah,” jawab sang ayah.

Percakapan itu adalah sebuah kejadian yang diceritakan oleh Hasan Minhaj, seorang Indian-American komedian dalam acaranya di Netflix berjudul Patriot Act. Pada episode tersebut ia membahas tentang fenomena Silver Tsunami. Sebuah istilah yang diberikan pada keadaan di mana jumlah penduduk lansia di atas 65 tahun meningkat dengan pesat. Menurut data yang ia paparkan diperkirakan jumlah penduduk dengan usia di atas 65 tahun, meningkat dari 47 juta jiwa pada 2015 menjadi 88 juta jiwa pada 2050.
 
Kondisi ini dibarengi dengan kenyataan bahwa warga Amerika yang mencapai usia pensiun memiliki perencanaan finansial yang buruk. Diperkirakan 10 juta orang di atas usia 65 tahun masih bekerja untuk menyambung hidup. Sedangkan mereka yang sudah tidak bekerja menjalani hidup yang kurang layak karena tidak ada dana pensiun yang cukup. Padahal 48 persen orang dewasa dengan usia di atas 55 tahun tidak memiliki tabungan pensiun sama sekali.
 
Keadaan ini sangat menjadi beban bagi Baby Boomer, generasi dengan jumlah populasi terbanyak di Amerika, akan memasuki usia pensiun. Dengan tanpa memiliki tabungan yang memadai, mereka harus bersiap membayar segala biaya perawatan jangka panjang, serta menanggung segala beban keuangan, fisik, dan emosi. Keadaan ini akan mewariskan beban ke generasi berikutnya, millennial.
 
Dahulu di Amerika terdapat tiga tiang utama yang mendukung masa pensiun; jaminan sosial yang didapat dari pemerintah, tabungan pensiun, dan tunjangan pensiun yang didapat dari tempat kerja. Namun di Amerika, sejak tahun 80an tunjangan pensiunan sudah tidak wajib diterapkan secara umum oleh semua perusahaan. Sebagai penggantinya perusahaan bisa menerapkan 401(k)s, yang mana tingkat risiko finansial lebih tinggi sehingga tidak banyak diminati oleh pekerjanya. Bersamaan dengan hal tersebut, juga sangat sulit bagi kelas menengah untuk bisa mempersiapkan pensiun dengan tabungan ketika pendapatan mereka sudah habis untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga mereka hanya bergantung pada jaminan sosial, yang mana nilai yang didapat perbulan sangat kecil dan tidak dapat mencukupi seluruh kebutuhan di masa pensiun.
 
Keadaan di atas tentu terdengar familiar bagi kita sebagai warga Indonesia bukan? Nampaknya kita bahkan sudah mengalami keadaan itu sejak pada generasi-generasi sebelumnya. Lalu bagaimanakah dengan keadaan di Indonesia?
 
Di Indonesia, usia yang tergolong lanjut usia ditetapkan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah 60 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) persentase lansia di Indonesia sekarang mencapai sekitar 9,6 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, meningkat sekitar dua kali lipat dibandingkan 5 dekade terakhir. Dimana provinsi dengan jumlah penduduk lansia tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (14,50 persen).
 
Dari sekian jumlah lansia, hampir separuh di antaranya masih bekerja. Pada tahun 2019, persentasenya mencapai 49,39 persen. Jumlah ini didominasi oleh mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Sebagian besar lansia yang masih bekerja ini berpendidikan SD ke bawah, karenanya kebanyakan dari mereka bekerja di sektor pertanian yang mana tidak memerlukan ketearmpilan khusus. Malangnya, meskipun masih bekerja di usia renta, 46,22 persen dari mereka berpenghasilan kurang dari satu juta per bulan. Secara umum, sebagian besar lansia yang masih bekerja tersebut merupakan pekerja informal (84,29 persen) yang tidak memiliki perlindungan sosial, dasar hukum pekerjaan, dan imbalan hidup yang layak.
 
Mengutip dari BPS, jumlah lansia yang memiliki jaminan sosial (di Indonesia termasuk juga tunjangan pensiun) hanya sekitar 12,91 persen. Yang mana kebanyakan dari mereka berasal dari wilayah perkotaan. Sementara sekitar separuh dari lansia mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir pada saat sensus dilakukan. Kenyataan tersebut menunjukkan kebanyakan lansia membebankan biaya kebutuhan sehari-hari dan perawatan kesehatan kepada anak, cucu, atau kerabat di sekitarnya.
 
Permasalahan persiapan pensiun nampaknya hampir sama antara di Amerika dan Indonesia. Atau bahkan di negara-negara lain di dunia. Ketidaksiapan tabungan untuk menyambut masa senja menjadi masalah utama Baby Boomer kebanyakan. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan mereka bergantung pada generasi setelahnya.  Entah untuk membayar biaya perawatan saja atau bahkan sampai menyediakan waktu khusus untuk membantu melakukan kegiatan sehari-hari. Atau lebih mengenaskan lagi, masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
 
Sebagai masyarakat dengan budaya timur yang kental, membiayai dan merawat orang tua di masa senja tentu menjadi hal yang hampir bisa dikatakan wajib. Terlebih dalam ikatan norma-norma agama dan sosial. Kalau tidak mau akan dibilang durhaka. Akankah kita akan seperti itu saat tua nanti? Segala keterbatasan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari di saat usia lanjut merupakan hal yang niscaya dan tidak bisa dihindari. Namun investasi untuk menyambut masa pensiun bisa diupayakan. Karena tentu kita tidak ingin bekerja seumur hidup maupun menjadi beban di masa pensiun.